Senin, 30 Desember 2013

Asmara Angin Mamiri





Hembusan angin mamiri turut membawaku jatuh pada lubang masa lalu yang sejatinya tak ingin ku ingat lagi, namun gravitasi galau di pikiran ini berhasil membuatku larut ke dalamnya. Pijakanku ada di tanggul pinggir pantai Losari, tempat wisata di kota AnginMamiri, Makassar. Disini aku kembali meneteskan buliran air mata kesedihanku, tepat enam  bulan yang lalu aku ada pada puncak kesedihan karena kepergian Annisa. Wanita yang berhasil merebut separuh jiwaku dan membuatku merasa kehilangan semangat hidup. Bagaimana tidak, dia membawa lari semua cinta dan kasih sayangku, serta tak membiarkanku tuk membaginya dengan wanita lain.

“fauzan…” teriak ibu dari halaman belakang .Aku segera berlari menuju halaman belakang dengan cangkul warisan ayah.
“iya bu, ada apa?” jawabku sambil menunduk.
“ada apa katamu? Lihat ini rumput di halaman ini belum kamu bersihkan !” suara ibu melengking mengalahkan suara agnes monica saat berada pada klimaks lagunya.
“iya bu, akan segera ku bersihkan” jawabku sambil mengambil alat-alat pemotong rumput.
Aku terkadang lelah dengan omelan ibu, dia bukan ibu kandungku. Istri kedua dari almarhum ayahku ini sangat gemar menghakimiku, entah apa salah dan dosaku. Tanggal 22 desember, baru-baru ini aku sengaja mempersiapkan kejutan hari ibu untuk ibu Riani, istri kedua ayahku, tepatnya ibu tiriku. Tapi sebelum itu aku berkunjung ke makam ibu kandungku.
“bu, berapa harga bunganya?” tanyaku pada penjual bunga depan taman.
“sekantongnya sepuluh ribu.” Jawabnya dengan senyum.
“aku beli dua kantong, jadi dua puluh ribu.” Kataku sambil menyodorkan uang.

Aku segera beranjak ke makam ibu yang bersebelahan dengan makam ayah, disana ku bersihkan semua rumput yang merusak keindahan makam mereka. Lalu ku taburkan bunga di pusaranya seraya berkata, “selamat hari ibu, Bu. Semoga ibu di surga baik-baik saja. Aku bangga menjadi anak dari ibu, love you.” Lalu ku cium pusaranya.
Aku berbalik melihat makam ayah, “Yah, aku tak pernah menyalahkan ayah karena telah salah memilih wanita pengganti ibu, aku hanya minta ayah jaga ibu yah di surga, jangan sakiti ibu lagi, love you ayah” kataku sambil menatap pusara ayah.
love you too..” tiba-tiba suara itu mengagetkanku. Aku berbalik dengan rasa penasaran yang memuncak.
“hai, Yuna..kamu sedang apa di sini?”
“sama seperti kamu, aku juga mengunjungi ibuku, Zan.”
“oh gitu, ya udah aku duluan yah, lagi banyak urusan” jawabku dengan senyum yang pelit.
“bukan sibuk mikirin Annisa lagi kan?”
pandanganku terpusat ke mata Yuna, sangat tajam dan aku tak tahu seketika aku mengalihkan perhatianku ke  satu nama yang dia sebutkan, Annisa ! aku tak ingin terlalu lama disini, ku putuskan tuk melangkahkan kakiku kea rah motor vespa warisan ayah.

“apa maksud perkataan Yuna? Kenapa tiba-tiba saja dia membahas Annisa. Dia sahabat karib Annisa, siapa tahu ada kabar yang dia tahu tentangnya.” Pikirku dalam hati sambil mengendarai vespaku. Sewaktu SMA Annisa dan Yuna adalah sahabat yang sangat dekat, bisa disebut saudara. Aku melabuhkan hatiku pada Annisa sahabatnya, karena aku merasa hanya dia dermaga yang pantas untuk hatiku bersandar. Tempatku mencurahkan segala perasaan selama setahun ini. Aku sempat memperkenalkan Annisa kepada ayah dan ibu, sebelum mereka meninggal. Aku lihat ibu sangat menyayangi Annisa. Aku bahagia saat itu, walaupun Annisa kuperkenalkan sebagai teman bukan sebagai pacar. Aku takut menyebut Annisa sebagai pacarku di depan ayah dan ibu, mereka merasa aku masih kecil untuk mengurusi rasa yang membingungkan yang biasa orang sok dewasa bilang “Cinta”.
Sebelum pulang kerumah, aku memacu vespaku menuju Pantai Losari, pantai yang menjadi saksi cinta saat Annisa berkata dia juga mencintaiku. Saat itu aku berada pada ambang kebahagiaan yang tiada berujung, aku sempat meneteskan air mata karena telah berhasil mendapatkan gadis yang kelak kan menjadi calon tempat rusukku melekat. Losari terkenal dengan sunset yang menghipnotis mata wisatawan, rayuan angin mamiri seakan menahanku agar tetap berlama-lama di tanggul pantai bersama Annisa.
http://abughalib.files.wordpress.com/2010/05/pantai-losari-senja.jpg 


 Ku tarik Annisa ke pinggir pantai, “Nurannisa binti Faidan Nur, hari ini Minggu, 22 Juni 2012, aku mengikrarkan janjiku untuk selalu membahagiakanmu, menjadikanmu sebagai pelengkap doa utamaku setelah ayah dan ibuku, menjadikanmu wanita yang sangat berbahagia di dunia, tidak hanya hari ini, aku siap membahagiakanmu esok, dan seribu tahun yang akan datang hingga takdir Tuhan memisahkan.” Kataku sambil menggenggam tangan Annisa dengan sangat erat.

“Fauzan Ramdana Binti Hairullah, hari ini Minggu, 22 Juni 2012, aku berjanji menjadi kekasih yang terbaik untukmu, menggenggam kesetiaan hingga Tuhan memisahkan kita, meneduhkan  segala kepercayaan dan kejujuran di atas hubungan ini, aku siap dibahagiakan olehmu.” Jawab Annisa dengan lantang.
Aku kembali mengulang masa-masa itu, betapa bahagianya aku saat itu. Namun sekarang Annisa seperti telah lupa akan janjinya, ”kemana janji setiamu dulu, Nisa?” teriakku dalam hati. Dia pergi dan tak kembali, membawa separuh semangat hidupyang  menjadi oksigen kedua dalam hidupku,
“aku tak tahu kemana ragamu kini, tapi yang aku tahu jiwamu dan hatimu masih berada di relung hatiku.” Kataku.

“tuhan sangat sayang padaku, mengujiku dengan menyembunyikanmu dari pandanganku. Adakah sedikit iba yang ada di hatimu? Tak kau pikirkah aku dalam penantian yang tak berujung ini?” tanyaku dalam sedihnya hati.
Yuna…aku melihatnya di tamani ini. “Apakah dia mengikutiku?” aku bergumam.
“Yuna, Yuna, Yuna.” Aku memanggilnya dengan nada yang lantang.
“eh Fauzan, ketemu lagi. Kamu ngapain lagi disini?” Tanya Yuna.
“justru aku mau Tanya sama kamu, kamu lagi apa di sini?” jawabku dengan sinis.
“tadi aku singgah beli Coto Makassar dekat pantai, kebetulan aku lapar sehabis dari makam tadi.
“Coto Makassar katamu?”
“iya, nyantai aja  Zan, gak pake muncrat juga kali.” Balas Yuna.
“udalah aku pulang dulu, sampai jumpa.” Aku menghindari Yuna.
Coto Makassar, itu kata Yuna tadi. Itukan makanan kesukaan Annisa. “apa Annisa ada di sana?” tanyaku sembari menerka-nerka dalam hati. Tak ada satupun celah yang Annisa berikan padaku untuk sejenak lepas dari dirinya. Meskipun dia meninggalkanku tanpa kabar dan alasan tapi bayangannya selalu mampu merebut separuhperhatianku.
“astaga, kejutan untuk ibu Riana ! aku lupa untuk itu, sesampai di rumah nanti aku pasti kena marah karena pulang terlambat. Annisa..ku mohon pergilah sejenak dari alam perasaanku.”
aku memacu kendaraanku, melewati pantai dan berbalik pada benteng Rotterdam, benteng peninggalan zaman Belanda.
“Nisa, penjajah saja pergi meninggalkan jejak, masa kamu nggak? Kamukan  sudah berhasil menjajah hatiku hingga semuanya terkudeta ! Ya Tuhan, inikah namanya Galaunisasi?” pikirku.
Rumahku masih jauh dari sini, segera ku percepat laju kendaraku, tak peduli hujan dan badai, yang jelas kejutan Hari ibu untuk ibu harus ku berikan.

Aku melewati toko kue depan Rumah sakit, aku singgah mengambil kue pesananku kemarin.
“ini dek pesanannya” suara ibu penjualnya mengagetkanku.
“iya bu, tadi udah dibayar di kasir yah.” Jawabku sambil tersenyum.
aku berbalik ke arah motorku, dan segera melaju ke rumah.
“tok..tok..tok, ibu…” aku mengetuk pintu dan tiba-tiba..
“kemana saja kamu? Besok kamu kuliah, cepat masuk dan cuci bajumu yang kotor itu !”
“tapi bu..” ucapku sebelum ibu memotongnya.
“tak ada kata tapi, cepat masuk ! ibu membentak.
Aku pun masuk ke kamar, aku belum sempat berkata selamat hari ibu kepadanya, namun bentakannya seakan merobohkan niatku semula. Aku memutuskan untuk menyimpan kue ini di kulkas kamarku saja. Aku telah terbiasa dengan bentakan ibu setelah ayah meninggal, aku selalu berkeyakinan bahwa ibu tiri tak sejahat di sinetron namun realita di lingkunganku tak sehubung dengan keyakinanku itu. Aku merasa Tuhan tak adil, belum kering lukaku kehilangan ibu yang meninggal karena sakit tumor yang dideritanya, sementara ayah sibuk mencari pengganti ibu yang baru, tak lepas dari itu saja beberapa bulan selang pernikahannya, ayah meninggal karena sakit jantung yang mendadak menyerangnya, waktu itu aku berada pada malam perpisahan sekolah bersama Annisa, namun tiba-tiba ibu Riana menelponku dan menawarkan berita pilu yang membuka luka kehilanganku semakin meluas. Aku melepaskan tangan Annisa dan segera pulang, Annisa memanggilku dari kejauhan namun tak ku hiraukan.pikiranku terpusat pada ayah. “ayah, tunggu aku.. !” hujan dan petir semakin menambah kepiluanku.

“Tuhan, Engkau tak adil,  tak cukupkah ibuku engkau rebut dari hidupku? Kenapa harus ayahku lagi?” berontakku dalam perjalanan menuju ke rumah.
Hujan telah reda, aku melihat bendera putih di depan lorong rumahku, aku seolah tak percaya. Kursi-kursi hijau itu, warga atur untuk menyambut para pelayat. Malam menambah luka, membuatku bermain dalam tangis yang tak kunjung reda, tak cukupkah malaikat pencabut nyawa mengambil sendi kehidupanku selama setahun ini?, pilu semakin meluap, suara tangisan ibu Riani mengantarkanku pada tangisan yang meluap, kenapa bukan aku, Tuhan? Kenapa?
“Fauzan, kamu yang sabar sayang. Masih ada aku di sini.” Annisa memberikanku semangat, entah siapa yang mengantarkannya ke rumahku.
“kenapa harus ayah Nis? Tuhan tak puas mengambil semuanya dariku. Kemarin ibuku, hari ini ayahku, esok atau lusa? Siapa lagi yang ingin Dia ambil Nis?” aku merontak.
“percayalah, Tuhan tidak akan mengambil sesuatu pun di dunia ini, kecuali dia telah menyiapkan penggantinya yang lebih baik. Kamu yang sabar !” Annisa berusaha menyemangatiku.
Semenjak kepergian ayah, ibu Riani yang telah merawatku hingga seperti sekarang, aku belajar kesabaran dari ini, sabar dan lebih sabar lagi, Tuhan itu baik karena telah menyatukan ayah dan ibu di surga. Aku mengingat masa pedih itu, dan tak terasa tidur melelapkanku.

Seminggu telah berlalu, hari ibu telah meninggalkan nuansa yang bahagia untuk para anak dan ibu yang saling berkasih sayang dalam satu tujuan, yaitu bahagia. Aku berangkat kuliah, matahari Makassar memberikan semangat yang membara pagi ini, ku harap tak ada lagi kesedihan dan juga tangisan. Aku merasa telah menjadi lelaki tercengeng semenjak setahun ini, tak ada sedikitpun rona bahagia yang terpancar.
“Fauzan, mata kuliah apa kamu hari ini?” Suara Yuna mengagetkanku dari balik punggung.
“Linguistik, Yun. Kamu sendiri?” tanyaku.
“aku kuliah Filsafat, dosennya lagi alpa.” Yuna tertawa.
“kamu bisa aja Yun, terus sekarang mau kemana?”
“aku mau ke Pantai Losari, mau ikut?, ayolah !” paksa Yuna.
“Iya, tunggu bentar, aku titip tugas dulu.” Akupun beranjak.
Sepanjang jalan, Yuna berceloteh tak ada rem, aku sampai tak menyangka, secerewet inikah Yuna?
“Fauzan, kita berhenti di tanggul dekat pantai yah !” perintah Yuna padaku.
“apa maksudnya? kenapa harus berhenti di tempat jadianku dengan Annisa?” aku melamun.
“hei, kok ngelamun, itu tanggulnya. Cepat belok !” aku seperti tukang ojeknya.
“Iya, Nyonya !” Yuna terdiam.

Rasanya baru saja aku meninggalkan pantai ini bersama Annisa, dan sekarang Yuna membawaku kembali ke tempat ini lagi.
“aku ingin pulang !” kataku pada Yuna.
“kita baru aja sampai, Fauzan. Ayolah jangan pulang dulu. Kita nunggu sunset Losari dulu yah” kata Yuna sambil tersenyum.
“aku mau pulang, Yuna. Titik !” aku memaksa.
“kenapa Fauzan? Apa karena Annisa? Aku tahu kamu masih sayang dengan dia, kamu masih cinta. Tapi kamu harus menyadari kalau Annisa pergi karena dia tak lagi ingin bersama kamu. Buka mata kamu Zan, Buka !” Yuna menatapku tanpa kedipan.
“Diam, Yuna ! kamu tak tahu apa-apa tentang Annisa dan aku.” Aku menantang tatapannya.
“aku tahu Zan, sangat tahu !”
“maksudmu?” tanyaku.
“ah, sudahlah ! aku ingin pulang. Tanggal 31 nanti aku tunggu kamu di sini, Fauzan. Ingat !” tegas Yuna dalam langkah kakinya yang menjauh pergi.
Aku masih bingung dengan pernyataan Yuna tadi, ada sejuta rahasia yang seakan dia sembunyikan. Entah mengapa aku berinisiatif untuk mendatangi rumah Annisa untuk kesekian kalinya sejak ia pergi tanpa pesan.

“permisi bu, yang punya rumah sudah datang?” tanyaku.
“iya, saya yang punya rumah ini.” Jawabnya.
“Pak Faidan Nur, ada?” aku mebalasnya lagi.
“oh pak Faidan, dia sudah menjual rumahnya kepada suami saya, bulan kemarin.”
“apa ibu tahu rumah pak Faidan yang baru?”
“maaf dek. Kalau itu saya kurang tahu.”
Dalam pencarianku mencari nisa tak pernah berujung  pertemuan, “apakah Nisa yang menjadi orang yang Tuhan rebut setelah ibu dan ayahku?” aku memendam Tanya.
aku beranjak pulang ke rumah, tapi pikiranku masih menyelimuti pernyataan Yuna di pantai tadi. Apa maksudnya, entahlah !

***
“bu,aku pulang !” kataku sambil mengetuk pintu.
 “masuk saja, pintunya tidak ku kunci.” Jawabnya dari dalam rumah.
aku kaget melihat keadaan rumah, seisi rumah seperti dihantam tsunami yang lebih dahsyat dari tsunami Jepang. Aku membersihkan sudut demi sudut yang ada di rumah ini. Aku jadi berpikir, apakah ibu Riani semalas ini? Hampir setiap hari aku menjelma sebagai ibu rumah tangga.
Tiba-tiba perutku keroncongan sehabis membersihkan rumah, aku beranjak ke dapur, “Astaga Tuahn” aku kaget melihat dapur, tak ada makanan sedikitpun. “aku pasrah, aku ingin tidur, aku letih hari ini Tuhan” kataku sambil  menghembuskan nafas.
Rintikan hujan yang berdendang di atas genteng kamarku semakin menambah riuh kelaparan yang berkoar dalam lambung, aku melihat Euforia petasan dari balik jendela, Malam pergantian tahun baru yang lalu, aku menikmatinya bersama Annisa, wanita yang selalu membuatku di mabuk cinta setiap saat di dekatnya. Namun sekarang? Apa masih mungkin aku bisa menikmati tahun baru bersamanya. Aku melihat kalender, besok sudah tanggal 31. Aku akan datang memenuhi panggilan Yuna di Pantai Losari. Aku menyimpan ragu, apakah aku harus datang? Tapi aku sangat penasaran dengan maksud perkataan Yuna beberapa hari yang lalu di sana. Ku kumpulkan segala upayaku, niatku ,dan tak ada keraguan lagi. “Besok aku akan pergi.” Kataku dengan lantang.

***
Matahari pagi menyapa kota Makassar, tanah ibu pertiwi ini semakin bersahaja. Selamat pagi cintaku yang tak tahu di mana, aku masih menantimu di pergantian tahun ini. Ku mohon jangan sembunyi, jika kau sedang ada masalah, berbagilah denganku, jangan kau pendam sendiri. Aku tak tahu apa salahku, hingga saat ini aku masih bermain dengan teka-teki yang engkau tinggalkan.

“hoaamm..”
aku beranjak meninggalkan tempat tidurku.
“Fauzan, bangun anak malas !” ibu memanggilku dari balik pintu kamar.
“aku udah bangun bu.” Aku menjawab, agar amarahnya tak berkoar lagi.
Suara terompet semakin menambah keriuhan kota dalam pergantian tahun baru di tahun ini, aku merindukan ayah dan ibu. Sebelum menemui Yuna, aku berkunjung ke makam ayah dan ibu. Seperti biasanya aku membeli kembang untuk menghias makam ayah dan ibu agar lebih terlihat indah.
“ibu, apa kabar? Apakah Tuhan menjaga ibu di surga? Bu..sebentar lagi tahun baru, doakan yang terbaik buat aku yang bu, semoga Fauzan selalu menjadi anak yang Bisa membanggakan ibu di dunia maupun akhirat.”
“Ayah apa kabar? Ayah nggak nakal kan di surga? Ibu aman kan yah?” aku berbicara dalam candaku. “Tuhan, aku titip ayah dan ibuku” kataku lalu beranjak meninggalkan rumah abadi orang tuaku.
Janjiku pada Yuna hampir saja  terabaikan,  aku menuju parkiran dan melaju ke arah pantai. Aku menanti Yuna sebelum Shalat Ashar waktu bagian tengah di Indonesia.

“udah lama,Zan?” Tanya Yuna.
“nggak, baru juga lima menitan” jawabku.
“aku ingin cerita, Zan. Ini tentang  Annisa yang meninggalkanmu tanpa sebab.”
“apa maksudmu Yun, jadi selama ini?”
“iya, Zan. Aku tahu penyebab Annisa dan keluarganya tiba-tiba menghilang.”
“apa Yun, apa?” aku memegang pundak Yuna.
“Aku tahu apa yang ku lakukan ini telah melanggar janjiku pada Annisa, semoga saja Annisa tak marah denganku, walaupun ia telah menghadap sang Pencipta sejak enam bulan yang lalu.” Kata Yuna sambil tertunduk.
“apa katamu? Annisa meninggal?” aku seakan tak percaya. Tuhan mengambil ibu, ayah, dan kekasihku secara bergiliran !
“aku salah apa Tuhan?” aku memukul tanggul pantai.
“tak ada yang salah, Zan.  Menjelang pergantian tahun ini, aku ingin kamu tahu tentang Annisa dan penyakitnya, Nisa meninggal karena kanker ganas yang menyerang kelenjarnya. Dia bilang, sakit itu kanker kelenjar gentah bening.” Jawab Yuna.
“dimana makam Nisa, Yun. Cepat beritahu aku.”
“makamnya berada persis di seberang makam ayah dan ibumu.” Jawab Yuna.
“Jadi waktu itu? Kamu?”
“yah, aku ziarah ke makam Nisa.”
“kenapa kamu baru bilang sekarang, Yun? Aku sudah janji untuk membahagiakan Nisa, tapi sewaktu dia sakit saja aku tak ada di dekatnya ! kekasih macam apa aku ini?”
“Nisa memintaku untuk mengawasimu dari jauh, makanya setiap saat kamu berada di tempat yang penuh kenangan selama dengan Nisa dulu, aku pasti bertemu denganmu.”
“aku ingin ke makamnya, Yun !”
Aku semakin tak bisa membendung air mataku, dalam hitungan detik angin Pantai Losari membiarkannya jatuh perlahan. Tak ada yang bisa ku lakukan, gadis yang aku cintai berjuang sendiri melawan kanker  tapi Tuhan tak mengijinkan untukku menemaninya.
“ini makamnya” kata Yuna setelah sampai.
tak ada kata yang bisa terucap, ku luapkan segala kesalahanku.
“Maaf, janjiku tak dapat ku tepati.” Kataku sambil menangis tersedu-sedu.
aku mecium nisan Annisa dengan penuh kesedihan, aku tak menyangka. Tuhan mempertemukan kita di Detik pergantian tahun baru, di sore hari ini. Makassar memberikanku sebuah cinta dan arti pertemuan yang sangat memilukan. Ini mimpi burukku sangat buruk dari mimpi yang lainnya. Aku tak sempat menggenggam tanganmu seperti malam pergantian tahun barun yang kita lewati dulu, aku tak sempat menyandarkan kepalamu di pundakku ketika kamu sedang merasa kesakitan.
“aku minta maaf, Nis.”

apalah daya, Tuhan lebih membutuhkanmu dari pada aku. Mengikhlaskanmu meski sangat terpukul menerima kenyataan di akhir tahun yang sangat memilukan.
“Zan, ada surat dari Nisa. Dia bilang surat ini boleh kamu baca ketika kamu telah ikhlas melepasnya.”
aku mengambil surat beramplop pink itu dari tangan Yuna. Aku perlahan membuka surat itu.

“hai, Fauzan. Kamu apa kabar? Baik saja kan?. Maaf aku pergi tanpa sebab yang tak kamu ketahui. Maafkan ketidakjujuranku ini, mungkin pada saat kamu membaca suratku, ragaku tak lagi bisa kau dekap. Maaf, aku pergi membawa luka mendalam untukmu. Aku hanya tak ingin menambah kesedihanmu Karena kehilangan ibu dan ayahmu, aku tak sanggup melihatmu menerima kenyataan bahwa kamu harus siap untuk kehilanganku. Kamu harus tetap sabar, Tuhan tak jahat. Tuhan selalu memberikan kita yang terbaik. Aku yakin sayang, Tuhan mengambil orang-orang yang kamu cintai karena Tuhan mempunyai pengganti yang lebih baik lagi. Aku memilih Yuna untuk menggantikanku, menggantikanku untuk menemanimu ke tempat yang selalu punya kenangan tentang kita. Jangan pernah membenci wanita, wanita adalah makhluk Tuhan yang diciptakan agar lelaki bisa melindunginya. Lindungi ibumu dan Sahabatku. Salam dari surga Nurannisa, Aku mencintaimu hingga bumi tak bermentari lagi, ku tunggu kamu di surga, namun kau harus bahagia di kota yang penuh cinta, dan kenangan kita, Makassar. I love you!”
 
Entah apa yang terjadi, ku rasa arah selatan akan berganti ke arah timur, aku hanya bisa menangis di depan pusaranya. 

“Nurannisa, 31 desember 2013 aku berjanji segenap hatiku telah ku ikhlaskan untuk kepergianmu, namun cintaku akan terus bersinar mengalahkan mentari bumi.” Ucapku.

“Fauzan Ramdana, 31 Desember 2013. Aku berjanji akan menjadi pengganti Annisa sepanjang hidup hingga bulan meninggalkan malamnya. Aku setia menunggumu hingga ada ruang di hatimu untukku.” Ucap Yuna.

Aku kaget mendengar pernyataan Yuna, Suara azan magrib mulai berkumandang. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Suasana macet ibu kota mulai berkepanjangan.
“Yuna, pukul 9 nanti, aku tunggu kamu di Pantai Losari.” Aku menatap Yuna.
“Iya, aku pasti datang !” jawab Yuna.
Aku kembali ke rumah, bayangan Annisa sepertinya selalu menemani setiap langkahku.
sesampainya di rumah, aku menuju dapur dan membuka kulkas.
“astaga, kue ibu” kataku sambil panik  kesana kemari.
aku tak mungkin membiarkan kue ini hancur begitu saja,biar bagaimana pun kue ini milik ibu, dan harus ku berikan pada ibu.
“tok tok tok” aku mengetuk pintu kamar ibu.
“tunggu”
“selamat hari ibu, selamat hari ibu, I love you Bu.”
“Fauzan” kata ibu sambil meneteskan air mata.
aku tak menyangka ibu akan menerima semuanya, ibu terlihat terharu. Saat itu aku tak melihat sosok ibu yang gemar menghakimi. Rasanya aku menemukan kasih sayang ibu yang telah lama tak singgah di hidupku. Tiba-tiba ibu memelukku dengan erat dan berkata..
“maafkan atas sikap ibu selama ini, ibu seperti itu karena merasa sangat terpukul dengan kematian ayahmu di beberapa bulan pernikahan kami”
“iya bu, Fauzan tahu ibu adalah wanita terbaik kedua setelah ibuku kandungku.”

Tuhan, aku baru mengerti sekarang, ayahku tak salah memilih wanita. Wanita ini sangat baik. Terima kasih untuk kado terindahmu menjelang pergantian tahun ini, aku telah bertemu dengan Annisa dan memperbaiki hubunganku dengan ibu.

***

Pukul 08.30 Wita
Aku bergegas menuju pantai Losari, saat sampai di sana, aku melihat Yuna menunggu dengan sabarnya. Riuh petasan dan kembang api menambah keriangan masyarakat kota ini, terompet di sana sini seakan membuat bising kota, cahaya bulan terakhir di kota Makassar. Aku datang menjemput cahaya baru.
“udah lama nunggu, Yun?” aku menghampiri Yuna.
“sejam yang lalu.” Jawab Yuna dengan senyum tipis.
“lumayan lama yah”
“iya..”
seketika percakapan kami terhenti beberapa menit. “Ada apa ini? Kenapa aku mendadak kaku. Maklum aku sudah lama tak duduk sedekat ini di samping cewek.” Cakapku dalam hati.
“Yun, aku tak tahu ada angin apa yang membuatku berani bertemu denganmu di sini. Aku tahu Annisa memilihmu untuk menggantikannya, tapi..”
“aku mengerti, Zan. Aku tahu posisi Nisa takkan pernah tergeser olehku.” Jawab Yuna.

Aku menggenggam tangannya, “Yuna Amelia, 31 Desember 2013, aku ingin menjemput cerita yang baru, dengan cinta yang baru, kisah yang baru, dan itu denganmu. Tak ada sesal yang ku keluhkan. Aku mencintaimu, karena aku percaya Annisa takkan salah memilih wanita, apakah kamu bersedia untuk kubahagiakan?” kataku.

“Fauzan Ramdana, 31 Desember 2013, aku ingin menjemput cahaya yang baru, menggantikan cinta yang telah layu itu agar mekar kembali, dan aku bersedia untuk dibahagiakan olehmu.” Yuna menjawabku.

Aku menggandengnya, keliling pantai Losari. “Terima kasih Tuhan, Ayah, ibu, dan kamu Nisa. Kalian luar biasa dalam mengatur scenario hidupku. Aku siap menyonsong tahun baru 2014 bersama semangat yang baru, wanita yang baru, serta ibu yang baru. Makassar mempertemukanku dengan jodoh yang akan menjadi pelengkap hidupku” syukurku. Tiba-tiba ada petasan yang meledak di bawah kaki Yuna, seketika Yuna memelukku seakan berharap perlindungan. Aku sangat bahagia.
Bahagia itu dicari,
ditemukan,
lalu dijemput.
Kalau tidak, kapan kamu bisa bahagia !

Selasa, 10 Desember 2013

Kerikil Pilu




kerikil tajam telah menembus lapisan kakiku
namun aku masih mencoba berjalan
melewati ribuan kerikil yang kan terlewati
adakah kau sadar, kau kerikil yang memilukan itu
seorang gadis yang bermandikan air mata
menyisakan duka
dirundung nestapa
namun harapnya kau acuhkan
rindu, dia berkecamuk di dalam dada
memaksa untuk berkaca
adakah aku pastas untuk kau sapa?
diam, aku hanya diam di bawah hujan berpayung cinta
terselimuti oleh awan mendung
perlahan merangkai bait demi bait
hanya untuk menunggumu berkata
kau pastas untukku.


dari lubang yang kecil meronta merana
aku berdiri disini berharap sapa,
dan itu darimu !