Chapter 1
Pagi yang terbujur kaku, entah mengapa panorama alam
pagi ini menambah serdadu pilu di ujung kakiku, aku sulit melangkah, semenjak
kepergian Angki yang tiba-tiba membuat jantungku terasa berhenti berdetak
beberapa menit setelah ku dengar kabar itu, ku pikir aku telah mati, ku coba
tenangkan hati, perlahan mulai ku atur nafasku hingga semuanya bisa kembali.
Angki, lelaki yang menemaniku hingga hampir tiga tahun ini perlahan tak ku
ketahui dimana rimbanya, menghilang bersama senja di batas kota. Aku tak tahu
kemana langkah ini akan membawaku tuk mencarinya di daratan kota Anging Mammiri
ini. Kota yang kental dengan budaya bahkan pertentangan tentang seseorang yang
beda agama.
Minggu sore, ku kumpulkan semua nyaliku untuk
menemui di perbatasan gereja dan mesjid yang menjadi tempat beribadah kita
berdua. Aku menunggu seperempat hari di sana, namun jejak kakimu tak kunjung ku
temukan. Angin kadangkala meluluhkan hasratku untuk menemuimu, namun hati ini ku
kuatkan, agar mataku segera menangkap cinta di matamu sore itu.
“Itukan adiknya” teriakku dalam hati.
Aku tak melihatmu di antara puluhan orang yang
berbaris keluar dari gereja, hanya adikmu yang kulihat memakai dress biru selutut yang keluar dengan
sendirinya, aku ingin sekali menghampirinya, lalu akan kutanyakan dimana kamu
saat ini. Namun, keberanianku belum berhasil ku kumpulkan, aku masih takut
menyapa keluargamu, setelah keputusan kita untuk backstreet beberapa tahun yang lalu. Aku tak mengerti, kabarmu
hilang bagai tertutup abu vulkanik kelud, aku tak dapat mencarimu. Aku tak tahu
kemana Tuhan menyembunyikanmu di atas kota ini, kadangkala dalam sujudku, aku
bertanya pada Tuhanku, “ Ya Allah, mohon bujuk Tuhannya agar keberadaannya
segera aku ketahui” namun Tuhanku tak kunjung memberi jawab, apakah mungkin
Tuhanmu dan Tuhanku sedang memendam dendam sehingga umat-Nya tak ada Dia
izinkan untuk bersatu layaknya umat yang lain. Entahlah, aku sendiri juga
bingung. Sudah hampir habis manusia yang suka melipat tangannya saat berdoa di
dalam gereja itu, aku melihat dari jauh hanya ada deretan kursi dan juga bekas
hiasan natal di dalamnya. Aku beranjak pergi membuang harapku jauh-jauh agar
dapat bertemu dengan mata yang memberiku semangat di sore ini.
Senja di kota Daeng,
Suara azan telah dikumandangkan di mesjid aku selalu shalat, ini sudah menjadi
rutinitasku, lima kali dalam sehari aku harus bersujud menyanjung Tuhanku agar
kelak Ia memberikan surga jika sewaktu-waktu bumi ini telah ia hancurkan,
Tuhanku tak jahat, ini sudah menjadi suratan dari kitab yang selalu ku bawa
setiap kali pertemuan kita, Alquran. Jika
boleh kau baca, aku ingin sekali memperlihatkan bahwa Tuhanku sangat baik dalam
mengatur kehidupan umatnya. “terus bagaimana dengan Tuhanmu, apakah sebaik
Tuhanku?” aku selalu bertanya hal itu, dan seketika kau elus jilbab ku hingga
tak kutahui bentuk apa yang telah kau ciptakan. Kamu selalu menungguku hingga
sujudku yang terakhir di taman cinta kita.
Tepat dua bulan aku, aku menjelma menjadi ditektif
yang mencarimu kemana-mana, hampir setiap minggu aku menunggu di batas tempat
beribadah kita berdua, namun hasil yang kudapatkan hampir sama dengan yang
lalu. Sampai pada akhirnya aku beranjak ke rumahmu, mengintai dari jauh. Aku memang
laksana pencuri yang memata-matai rumahmu, tapi bukan itu tujuanku, aku ingin
mencarimu di tempat kau selalu pulang usai bertemu denganku.
Saat itu aku melihat, ayah dan ibumu keluar dari
pintu rumah. Mereka seakan terburu-buru ke suatu tempat. Maaf, kali itu aku
mengikuti ibumu, namun itu satu-satunya jalan agar aku dapat menatapmu lagi setelah
sekian lama kau menghilang dengan ponsel yang tak pernah kau aktifkan hingga
saat ini.
Rumah sakit umum daerah,
Aku melihat mereka masuk ke dalam rumah sakit itu,
pikiranku sudah melayang entah kemana ia berpetualang mencoba menerka maksud
mereka datang kesana. Aku lihat mereka memasuki sebuah kamar , aku
menghembuskan nafas seakan merasa puas dengan semuanya, aku pikir itu kamu,
Angki ku. Ternyata hanya seorang pasien tua yang berhasil mataku tangkap.
“ah, kamana aku harus bersembunyi” kataku dengan
tergesa-gesa mengambil tempat persembunyian.
Aku lihat ayah dan ibumu memasuki ruangan lain,
aku mengikutinya.
Kau tahu betapa terkejutnya aku, ketika melihat
namamu di depan pintu itu, jemariku seakan tak bisa berkuat lagi, aku duduk
seakan berusaha mengajak hatiku berdamai dalam sedih yang memuncak, Tanya ku
sudah membeludak, entah siapa yang akan menjawabnya. Sejak dua bulan yang lalu,
rumah sakit ini menjadi rumah keduamu. Yang aku tak suka, kau tak pernah
berkata yang sebenarnya kepadaku.
Aku mencoba masuk ke ruangan itu, namun belum sempat
kakiku melangkah hingga kedua kalinya, ayahmu menegurku. Ia melihat jilbabku,
aku tak mengerti, apakah rumah sakit ini hanya diperuntukkan untuk umat yang
bertuhan Yesus saja?,
“ada keperluan apa?” tanyanya.
“aku ingin bertemu Angki” jawabku dengan tetesan air
mata.
“ suruh dia keluar” Angki menyeru ke arahku.
Sontak aku kaget, entah mengapa kau melemahkan sendiku
dengan perkataan itu, benar-benar tak habis pikir olehku. Kau hanya membalikkan
badan setelah kau katakan itu, aku tahu kau menangis, aku bisa merasakan pilu
itu di dalam hati ini, aku tak tahu apa alasanmu melakukan itu. Aku keluar
dengan kesedihan, tak ada seorangpun
yang menyeru agar aku tetap berada di ruangan ini.
Aku menjagamu dari balik ruangan, menidurkan diriku
diantara lelah yang berkecamuk tak ingin memberi ampun padaku. Diantara hitungan
jari orang yang menjengukmu, entah mengapa hanya aku yang tak dapat
menginjakkan kaki di ruangan itu.
Hingga hari itu tiba,
Aku masuk menyusup masuk ke ruanganmu, dengan baju
yang tak pernah berganti dari malam kemarin. Aku memegang tanganmu, saat itu
kau sedang tidur. Ku rasakan betapa berat sakit yang kau rasakan, aku tak
hiraukan seberapa keras keluargamu padaku, aku tak peduli seberapa kuat Tuhan
kita berusaha memisahkan, yang aku peduli, kau harus tetap hidup hingga janji
kita untuk menyatu dapat kau tepati.
“apa yang kau lakukan di sini, keluar cepat sebelum
ayah dan ibuku melihatmu !” Angki berkata dengan genggaman tangan yang ia
lepaskan seketika.
“aku..aku… hanya ingin berada di sini, apakah itu
salah” jawabku.
“jelas salah, cepat pergi !”
“ku mohon jangan dustai hatimu, aku tahu kau masih
ingin melihatku di sini, bahkan kau selalu berharap aku ada diantara orang yang
selalu menyumbangkan doa setiap kali bertemu denganmu, ku mohon !” kataku
“aku tahu itu, kau pikir aku tak tersiksa dengan
ini. Berusaha dingin setiap kali kau berada di dekatku. Berusaha mengacuhkanmu,
sementara hatiku ingin selalu mendekapmu. Namun kau tahukan, bahwa ada benteng
yang tinggi berada di tengah-tengah kita, aku tak bisa bercerita banyak lagi,
aku jika aku masih diberi hidup sejam oleh Tuhanku, kau tahu apa inginku?”
“apa” jawabku
‘‘aku hanya ingin merasakan bagaimana menjadi
pasangan yang direstui oleh Tuhan, keluarga, dan dunia ini. Aku hanya ingin
merasakan bagaimana mencintai yang sesungguhnya, jika Tuhan mengijinkan, ku
hanya ingin itu” jawabnya sesekali ia batuk.
Kutub utara dan selatan seakan bertukar, aku tak
kuasa menahan buliran air mata yang dari tadi ingin kutumpahkan, aku memeluknya
diatas ranjang pasien. Ku teteskan air mataku tepat di dadanya,berharap ia
merasakan keinginanku juga sama dengannya.
“kami mengijinkanmu, Angki. Rasakanlah bahagiamu sebelum
itu tak bisa kau rasakan lagi.” Jawab orang tua Angki dari balik pintu masuk
ruangan.
“tidak Bu, aku tahu ini menyalahi aturan Tuhan.”
Angki menjawab.
“ tapi apakah Tuhan tak menginginkan bahagia untuk
setiap pengikutnya?”
Aku tahu orang tua Angki berkata seperti itu karena
umur angki terbatas lagi, aku tahu hasil diagnosa dokter itu, dia memvonis
Angki menderita kanker Tulang. Pantas saja dari dulu ia selalu mengeluh ngilu
disekujur tubuhnya. Semuanya terjawab.
“aku permisi pulang” aku mengarah ke arah pintu
keluar.
“kau mau kemana nak, tak maukah kau menemani Angki malam
ini?”
“tapi…”
“sudahlah, tetap disini. Kami pamit pulang dulu”
mereka beranjak pergi.
Entah apa yang kurasakan, apakah aku bahagia atau merasa
sedih dengan situasi ini. Aku telah mendapat restu. Tuhan, jika aku engkau
takdirkan dengan Angki, ku mohon dengan segala kuatku, bahagiakan kami dengan
segala waktu yang tersisa.
“sini sayang” Angki memanggilku.
Dia memanggilku sayang, untuk pertama dan kuharap
ini bukan terakhir kalinya dia menyapaku dengan panggilan mesra itu.
“malam yang indah, ku harap malam ini menjadi saksi
bisu kebahagiaanku. Sayang, kau tahu Tuhanku berbisik padaku jika malam ini
akan menjadi malam yang menyatukan kita berdua. Mohon bawa aku ke taman dekat
tempat beribadah kita berdua.
“aku menolaknya” jawabku dengan tegas.
“ini terakhir kalinya” jawabnya
Mendengar perkataan itu sontak membuat aku untuk
mengaminkan permintaan dari Angki. Malam itu ku bawa dia kesana tanpa
sepengetahuan ayah dan ibunya. Aku takut dosa, namun entah mengapa aku lebih
takut kehilangannya, aku tahu ini salah, bahkan sangat salah.
“aku ingin menghabiskan malam ini disini, bersama
genggaman tangan yang selalu memberiku kehidupan setiap kali aku berada di
dekatnya , itu kamu” dia menunjuk ke arahku.
Aku selalu tersenyum, bahkan sesekali menyandarkan
kepalaku di pundaknya, aku tahu pundaknya tak sekuat dulu. Aku ingin selalu
seperti ini, dua bulan yang lalu, waktu kebersamaan kami seakan terbuang
percuma dan saat ini Angki membayarnya.
“terima kasih, Angki” kataku
“untuk apa?”
“untuk semua keindahan cinta yang selalu kau
suguhkan hingga malam ini, terima kasih untuk semua cinta dan pengorbanan yang
selalu kau lakukan, aku ingin sekali meminta kepada Tuhanmu agar aku dan kamu
dapat Dia restui”
‘‘tenanglah sayang, kau tahu, Tuhan kita sedang
rapat besar-besaran bersama malaikat dan yang lainnya untuk membicarakan nasib
kita berdua. Lihatlah betapa istimewanya cinta kita” dia mencoba menenangkanku
dalam dekapnya.
“semoga saja” jawabku.
Aku bersandar agak lama, aku tak merasakan detak
jantung Angki lagi. Entah siapa yang mencurinya. Ku coba membangunkannya namun
tak ada perlawanan dalam dirinya. Dengan sekuat tenaga kubawa Angki ke rumah sakit, lagi dan lagi dokter itu yang
memeriksanya. Aku menunggu di ruang tunggu diantara orang yang lalulalang
mencari ruangan sanak saudaranya yang sakit.
“ apa yang terjadi” Tanya orang tua Angki.
“Angki tak sadarkan diri, di taman tante.”
‘‘kau membawanya keluar tanpa izin kami?”
“ tapi itu permintaan Angki, tan !”
“dasar bodoh, kau tahu Angki tak boleh kena angin
malam, itu berpengaruh pada kesehatannya”
Aku terdiam, aku seperti dihakimi karena kasus
berat, seakan aku melakukan percobaan pembunuhan pada kekasihku sendiri. Dokter
keluar dari ruangan, seakan menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa. “Angki
sudah pergi” katanya.
Orang tua Angki melangkah masuk ruangan, sementara
aku tak ada yang mempedulikan. Aku hanya menangis terisak di atas kursi tunggu.
Tak ada yang bisa ku lakukan, bahkan saat jasad Angki tak bisa ku sentuh lagi,
orang tuanya melarangku, mereka menerka bahwa aku penyebabnya.
Malam yang mencekam, jariku tak dapat menyentuhmu
lagi malam itu, Angki. Bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal itu tak dapat
tersampaikan lagi.
|
angki, selamat jalan sayang :) |
Pagi yang mendung, aku merasa alam juga bersedih
karena kau tinggalkan. Angki aku ingin menyampaikan rasa belasungkawa Tuhanku
padamu. Ku ikuti rombongan pelayatmu menuju singgasana terakhir, tempatmu
tertidur hingga surga untukmu selesai dibangun. Aku menunggu hingga semuanya
sepi, hanya ada fotomu di atas pusara.
Aku tahu jiwamu telah tenang, namun aku merasa kau
selalu mengikutiku kemana pun langkahku beranjak. Angki ,
“kekasihku tenanglah disana, maafkan aku tak bisa
menciptakan malam yang indah untukmu” jawabku seraya menciumi pusaranya.
Sayang, aku titipkan surat untukmu semoga angin senantiasa menyampaikannya
padamu ketika kau telah berada di surga.
Teruntuk
kekasihku, Angki.
sosok yang paling kusayangi, semoga kau membacanya dengan senyum di surga.
Kekasihku
yang terhebat, terima kasih untuk tiga setengah tahun ini. Terima kasih telah
mengajariku bahagia di atas perbedaan yang ada. Ketika kau baca surat ini, ku
yakin kau telah duduk manis di surga yang
Tuhanmu selalu janjikan. Kekasihku yang kucintai, maaf aku tak bisa mengantarmu
ke pusara terakhirmu, itu karena orang tuamu mengira aku penyebab kau menghadap
Tuhanmu secepat ini. Kekasihku, aku tahu saat dalam peti kau merasa sangat
sempit, kau yang selalu mengajariku bahwa dunia sangatlah luas, mungkin kini
teorimu itu telah berubah. Ku harap kau tak tersiksa di dalam peti itu,
untunglah kau agak kurus jadi kau agak leluasa di dalamnya, sayang.
Kekasihku
yang berbaik, aku berharap Tuhanmu dan Tuhanku sedang bekerja sama menjadi
arsitek untuk menciptakan surga untuk kita dapat menyatu nanti, walau aku masih
bertanya, akankah Tuhanmu dan Tuhanku menjanjikan surga yang sama untuk kita?. Sayangku,
sampai saat ini aku masih belum percaya akan kepergianmu, aku begitu berat melepasmu
saat ini. Bahkan aku butuh waktu seumur hidup untuk melupakanmu.
Kekasih,
kau tahu..semenjak kepergianmu, aku sudah tak takut mati, karena aku tahu kau
sedang menungguku di surga itu. Aku tak ingin membenci dunia dan isinya, karena
tak pernah mengizinkan orang yang melipat tangan dan menadahkan tangan saat
berdoa menyatu dalam ikatan cinta yang suci.
Sayangku,
kau perlu tahu, sejauh apapun surga dan dunia itu, aku tak pernah peduli. Aku selalu
menjagamu dari jauh, mengirimkan setiap kata sayang bersama angin dan ku harap
semoga angin itu menyampaikannya.
Tenanglah
sayangku, kekasihku, aku selalu mencintaimu hingga bumi tak bermentari lagi,
hingga malam tak berbintang lagi, atau bahkan ketika aku telah dimiliki orang
lain, aku akan selalu menyimpan rasa cintaku padamu di sudut hatiku, lalu akan
ku kunci agar tak ada yang bisa mengganggumu.
Surat
dari kota cinta, aku dan bersama kenangan kita. Hati-hati dalam perjalananmu
menuju surga, kelak jika kau telah sampai, Tuhanmu akan memberikan surat cinta
ini. Aku mencintaimu sayangku.
Dari
yang terkasih dan selalu mencinta, Aku.
Tuhanku Yang Maha Pencipta cinta, mohon bujuk
Tuhannya agar Cinta kami bisa menyatu, walau engkau tak izinkan raga kami untuk
bersatu, aku mohon !
kekasih, senyummu akan terus terbayang,
dari wanita yang selalu menadahkan tangannya
berdoa agar kau cepat sampai di surga kita, aku !