Minggu, 30 Maret 2014

Surat Penghujung Maret

Chapter 2

Udara yang memaksa raga tuk berselimut dalam kehangatan hati yang sedang merindu, aku menulisnya untukmu.
Ku lihat senja berdamai dalam langkah menuju malam, ketika kedudukan mentari direbut paksa oleh rembulan yang kadang purnama dan kadang juga sabit. Entah dimana angin membawa senja, kutengok ufuk barat yang konon tempat  mentari bersembunyi, sayang seribu sayang yang kudapatkan hanyalah batas laut sepanjang mata memandang. Bukan hanya mata ini yang mencari, senja itu pergi tanpa pesan mengirim rembulan sebagai gantinya. Jangan kau kira rembulan itu baik untukku, bisa saja cahayanya itu menyilaukan mataku, namun tak pernah juga ku kira bahwa mentari ternyata lebih kejam daripada rembulan, salah sedikit panasnya bisa membakar tubuhku merasuk menghanguskan hatiku.

Kau mentari itu, menjelma menjadi pelumpuh hati, yang sinar matanya tak dapat kuhindari. Ini memang konyol bercerita tentangmu tak pernah ada bandingnya.

“Angki…”  lantunku dalam hati seolah mengeja abjad serupa dengan anak bau kencur berbaju merah putih.
Setahun berlalu, nama itu selalu kusebutkan dalam sepi ketika gelora rinduku memuncak. Lidahku sudah terlatih untuk melantunkannya di setiap langkah bahkan hembusan nafas. Pernah sesekali aku mencoba tak mengingatnya, namun dadaku seperti disumbat oleh rindu yang kadang malu menamai namanya sendiri sebagai kerinduan. Semakin lama menahannya rasanya ingin tumpah ruah saja hasrat ingin segera bertemu denganmu, Angki.

Aku yang selalu melebih-lebihkannya, berharap kala sendu jemarimu bisa masuk diantara sela jariku, tak peduli jari jempol kelingking atau manis, yang kuindahkan adalah jarimu, bukan jari yang lain. Februari yang lalu, aku tak sempat mengirimkan surat pertanda rinduku padamu, bukan karena aku tak merindu lagi, namun gravitasi kesibukan semakin menarik jariku ini lebih terbiasa mengetik tugas yang kadang beribu-beribu kata. Aku jenuh !

Jika dirunut dari tanggal kukirimnya, akhir maret. Semoga kau ada waktu untuk membuka surat ini, namun ciumi dulu perangkonya agar aku merasakan bahwa kau juga sedang menahan beban rindu yang sama halnya dengan yang kurasakan.

Seperti ini suratku….

“kekasihku yang tercinta dan terkasih, setahun sudah berlalu namun bayangmu masih saja selalu berada di sampingku, bahkan sekarang, saat aku sedang menulis surat ini aku merasakan hembusan nafasmu terdengar di telingaku, “ahh mimpi apa aku ini” tulisku dalam surat.

Angki yang kusayangi, maafku tercurah pada suratku ini, tak pernah kukirim surat lagi sejak bulan kemarin, aku meminta maaf. Namun yang harus kau tahu aku tak pernah lupa bahwa kau selalu ada di sini, yah di hatiku paling dalam. Sayang, aku ingin bercerita entah mengapa beban kuliahku saat ini membuat aku letih bahkan sangat letih sekali. Aku tak punya waktu lagi untuk menabur bunga cinta di atas pusaramu, tapi kamu jangan sedih, esok bersama dengan suratku ini, bunga itu akan segera menghiasi pusaramu. Masih ingatkah kamu taman cinta kita, batas antara tempat ibadah kita? Aku harap kau mengingatnya. Taman itu sudah indah sekarang, namun bagiku taman itu kehilangan indahnya jika aku ke sana tanpa dirimu. Tidak sayang, ini bukan gombal, aku jujur bercerita dalam hatiku.

Astaga, aku lupa menanyakan kabarmu, mungkin karena rasa semangatku terlalu berkobar untuk bercerita perihal tugas-tugasku. Maafkan aku lagi.

Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah tahu keputusan Tuhan kita akan nasib cinta ini? Jika sudah, datanglah pada mimpiku dan beritahu aku. Aku di sini baik saja, tak ada perlu kau khawatirkan, cukup kamu jaga kesehatan di sana. Doakan aku dari jauh, peluk aku jika kecewa sedang menghampiriku, dekap aku dalam kerinduanmu yang kuharap tak pernah padam darimu.

Angki kekasih terbaikku, ini suratku yang kukirimkan di akhir maret. Semoga bisa sedikit mengobati kerinduanmu, jaga hatimu baik-baik di surga itu, jangan biarkan bidadari yang lain merebutnya,kalau tidak aku akan marah. Aku mencintaimu dalam mentari walau itu membakar hati, aku menyayangimu di antara sinar rembulan yang tak pernah padam, jika langit sedang menangis aku rasa kau sedang sedih, maka dari itu jangan sedih, agar langit tak membasahi bumi ini, tempat Tuhan kita mengatur pertemuan kita beberapa tahun lalu. Aku merindukanmu…”

“Esok akan kukirim surat ini” damaiku dalam hati.
***

Mentari yang kemarin menghilang, sinarnya mulai merambat menusuk-nusuk kulit ini bahkan tebalnya selimut pun tak dapat menahannya. Tanggal terakhir di penghujung maret, surat Angki harus segera kukirimkan.

Jalan setapak menuju pusaranya semakin dekat, jejak-jejak sandal penjaga kubur masih jelas terpatri di atas tanah becek bekas hujan semalam, Angki sedang bersedih, air mata membasahi seluruh permukaan pusaranya. Entahlah…

“Angki yang tersayang, aku datang” ucapku sambil menciumi pusaranya.
Aku mulai menaburkan bunga sebagai tanda aku menghiburnya hari ini, kuletakkan surat itu tepat di samping pusaranya.

“Angki, berdamailah dengan duniamu sekarang. Akupun sama berdamai dengan hati dan mencoba sabar” tuturku sembari membersihkan rumput nakal yang seakan tumbuh tanpa isin dariku, merusak keindahan tempat Angki beristirahat saja.

“ini suratku, bacalah dan kutunggu kamu pada mimpiku malam ini” lalu kuciumi lagi nisan itu.”

Langkah kaki berat melangkah, namun kucoba dan terus mencoba untuk berjalan pergi meninggalkan jejak agar Angki tahu aku telah menengoknya pagi ini. 

dari hati yang selalu menyimpan seribu rindu,
yang takkan pernah mati.

Sabtu, 08 Maret 2014

Yang Kutahu, Tuhan Kita Tak Pernah Tidur


Chapter 1

Pagi yang terbujur kaku, entah mengapa panorama alam pagi ini menambah serdadu pilu di ujung kakiku, aku sulit melangkah, semenjak kepergian Angki yang tiba-tiba membuat jantungku terasa berhenti berdetak beberapa menit setelah ku dengar kabar itu, ku pikir aku telah mati, ku coba tenangkan hati, perlahan mulai ku atur nafasku hingga semuanya bisa kembali. Angki, lelaki yang menemaniku hingga hampir tiga tahun ini perlahan tak ku ketahui dimana rimbanya, menghilang bersama senja di batas kota. Aku tak tahu kemana langkah ini akan membawaku tuk mencarinya di daratan kota Anging Mammiri ini. Kota yang kental dengan budaya bahkan pertentangan tentang seseorang yang beda agama.

Minggu sore, ku kumpulkan semua nyaliku untuk menemui di perbatasan gereja dan mesjid yang menjadi tempat beribadah kita berdua. Aku menunggu seperempat hari di sana, namun jejak kakimu tak kunjung ku temukan. Angin kadangkala meluluhkan hasratku untuk menemuimu, namun hati ini ku kuatkan, agar mataku segera menangkap cinta di matamu sore itu.

“Itukan adiknya” teriakku dalam hati.

Aku tak melihatmu di antara puluhan orang yang berbaris keluar dari gereja, hanya adikmu yang kulihat memakai dress biru selutut yang keluar dengan sendirinya, aku ingin sekali menghampirinya, lalu akan kutanyakan dimana kamu saat ini. Namun, keberanianku belum berhasil ku kumpulkan, aku masih takut menyapa keluargamu, setelah keputusan kita untuk backstreet beberapa tahun yang lalu. Aku tak mengerti, kabarmu hilang bagai tertutup abu vulkanik kelud, aku tak dapat mencarimu. Aku tak tahu kemana Tuhan menyembunyikanmu di atas kota ini, kadangkala dalam sujudku, aku bertanya pada Tuhanku, “ Ya Allah, mohon bujuk Tuhannya agar keberadaannya segera aku ketahui” namun Tuhanku tak kunjung memberi jawab, apakah mungkin Tuhanmu dan Tuhanku sedang memendam dendam sehingga umat-Nya tak ada Dia izinkan untuk bersatu layaknya umat yang lain. Entahlah, aku sendiri juga bingung. Sudah hampir habis manusia yang suka melipat tangannya saat berdoa di dalam gereja itu, aku melihat dari jauh hanya ada deretan kursi dan juga bekas hiasan natal di dalamnya. Aku beranjak pergi membuang harapku jauh-jauh agar dapat bertemu dengan mata yang memberiku semangat di sore ini.

Senja di kota Daeng,

Suara azan telah dikumandangkan di mesjid  aku selalu shalat, ini sudah menjadi rutinitasku, lima kali dalam sehari aku harus bersujud menyanjung Tuhanku agar kelak Ia memberikan surga jika sewaktu-waktu bumi ini telah ia hancurkan, Tuhanku tak jahat, ini sudah menjadi suratan dari kitab yang selalu ku bawa setiap kali pertemuan kita, Alquran. Jika boleh kau baca, aku ingin sekali memperlihatkan bahwa Tuhanku sangat baik dalam mengatur kehidupan umatnya. “terus bagaimana dengan Tuhanmu, apakah sebaik Tuhanku?” aku selalu bertanya hal itu, dan seketika kau elus jilbab ku hingga tak kutahui bentuk apa yang telah kau ciptakan. Kamu selalu menungguku hingga sujudku yang terakhir di taman cinta kita.

Tepat dua bulan aku, aku menjelma menjadi ditektif yang mencarimu kemana-mana, hampir setiap minggu aku menunggu di batas tempat beribadah kita berdua, namun hasil yang kudapatkan hampir sama dengan yang lalu. Sampai pada akhirnya aku beranjak ke rumahmu, mengintai dari jauh. Aku memang laksana pencuri yang memata-matai rumahmu, tapi bukan itu tujuanku, aku ingin mencarimu di tempat kau selalu pulang usai bertemu denganku.

Saat itu aku melihat, ayah dan ibumu keluar dari pintu rumah. Mereka seakan terburu-buru ke suatu tempat. Maaf, kali itu aku mengikuti ibumu, namun itu satu-satunya jalan agar aku dapat menatapmu lagi setelah sekian lama kau menghilang dengan ponsel yang tak pernah kau aktifkan hingga saat ini.
Rumah sakit umum daerah,
Aku melihat mereka masuk ke dalam rumah sakit itu, pikiranku sudah melayang entah kemana ia berpetualang mencoba menerka maksud mereka datang kesana. Aku lihat mereka memasuki sebuah kamar , aku menghembuskan nafas seakan merasa puas dengan semuanya, aku pikir itu kamu, Angki ku. Ternyata hanya seorang pasien tua yang berhasil mataku tangkap.

“ah, kamana aku harus bersembunyi” kataku dengan tergesa-gesa mengambil tempat persembunyian.
Aku lihat ayah dan ibumu memasuki ruangan lain, aku  mengikutinya.

Kau tahu betapa terkejutnya aku, ketika melihat namamu di depan pintu itu, jemariku seakan tak bisa berkuat lagi, aku duduk seakan berusaha mengajak hatiku berdamai dalam sedih yang memuncak, Tanya ku sudah membeludak, entah siapa yang akan menjawabnya. Sejak dua bulan yang lalu, rumah sakit ini menjadi rumah keduamu. Yang aku tak suka, kau tak pernah berkata yang sebenarnya kepadaku.

Aku mencoba masuk ke ruangan itu, namun belum sempat kakiku melangkah hingga kedua kalinya, ayahmu menegurku. Ia melihat jilbabku, aku tak mengerti, apakah rumah sakit ini hanya diperuntukkan untuk umat yang bertuhan Yesus saja?,

“ada keperluan apa?” tanyanya.
“aku ingin bertemu Angki” jawabku dengan tetesan air mata.
“ suruh dia keluar” Angki menyeru ke arahku.

Sontak aku kaget, entah mengapa kau melemahkan sendiku dengan perkataan itu, benar-benar tak habis pikir olehku. Kau hanya membalikkan badan setelah kau katakan itu, aku tahu kau menangis, aku bisa merasakan pilu itu di dalam hati ini, aku tak tahu apa alasanmu melakukan itu. Aku keluar dengan  kesedihan, tak ada seorangpun yang menyeru agar aku tetap berada di ruangan ini.
Aku menjagamu dari balik ruangan, menidurkan diriku diantara lelah yang berkecamuk tak ingin memberi ampun padaku. Diantara hitungan jari orang yang menjengukmu, entah mengapa hanya aku yang tak dapat menginjakkan kaki di ruangan itu.

Hingga hari itu tiba,

Aku masuk menyusup masuk ke ruanganmu, dengan baju yang tak pernah berganti dari malam kemarin. Aku memegang tanganmu, saat itu kau sedang tidur. Ku rasakan betapa berat sakit yang kau rasakan, aku tak hiraukan seberapa keras keluargamu padaku, aku tak peduli seberapa kuat Tuhan kita berusaha memisahkan, yang aku peduli, kau harus tetap hidup hingga janji kita untuk menyatu dapat kau tepati.

“apa yang kau lakukan di sini, keluar cepat sebelum ayah dan ibuku melihatmu !” Angki berkata dengan genggaman tangan yang ia lepaskan seketika.

“aku..aku… hanya ingin berada di sini, apakah itu salah” jawabku.
“jelas salah, cepat pergi !”

“ku mohon jangan dustai hatimu, aku tahu kau masih ingin melihatku di sini, bahkan kau selalu berharap aku ada diantara orang yang selalu menyumbangkan doa setiap kali bertemu denganmu, ku mohon !” kataku

“aku tahu itu, kau pikir aku tak tersiksa dengan ini. Berusaha dingin setiap kali kau berada di dekatku. Berusaha mengacuhkanmu, sementara hatiku ingin selalu mendekapmu. Namun kau tahukan, bahwa ada benteng yang tinggi berada di tengah-tengah kita, aku tak bisa bercerita banyak lagi, aku jika aku masih diberi hidup sejam oleh Tuhanku, kau tahu apa inginku?”

“apa” jawabku

‘‘aku hanya ingin merasakan bagaimana menjadi pasangan yang direstui oleh Tuhan, keluarga, dan dunia ini. Aku hanya ingin merasakan bagaimana mencintai yang sesungguhnya, jika Tuhan mengijinkan, ku hanya ingin itu” jawabnya sesekali ia batuk.

Kutub utara dan selatan seakan bertukar, aku tak kuasa menahan buliran air mata yang dari tadi ingin kutumpahkan, aku memeluknya diatas ranjang pasien. Ku teteskan air mataku tepat di dadanya,berharap ia merasakan keinginanku juga sama dengannya.

“kami mengijinkanmu, Angki. Rasakanlah bahagiamu sebelum itu tak bisa kau rasakan lagi.” Jawab orang tua Angki dari balik pintu masuk ruangan.

“tidak Bu, aku tahu ini menyalahi aturan Tuhan.” Angki menjawab.

“ tapi apakah Tuhan tak menginginkan bahagia untuk setiap pengikutnya?”

Aku tahu orang tua Angki berkata seperti itu karena umur angki terbatas lagi, aku tahu hasil diagnosa dokter itu, dia memvonis Angki menderita kanker Tulang. Pantas saja dari dulu ia selalu mengeluh ngilu disekujur tubuhnya. Semuanya terjawab.

“aku permisi pulang” aku mengarah ke arah pintu keluar.

“kau mau kemana nak, tak maukah kau menemani Angki malam ini?”

“tapi…”

“sudahlah, tetap disini. Kami pamit pulang dulu” mereka beranjak pergi.

Entah apa yang kurasakan, apakah aku bahagia atau merasa sedih dengan situasi ini. Aku telah mendapat restu. Tuhan, jika aku engkau takdirkan dengan Angki, ku mohon dengan segala kuatku, bahagiakan kami dengan segala waktu yang tersisa.

“sini sayang” Angki memanggilku.

Dia memanggilku sayang, untuk pertama dan kuharap ini bukan terakhir kalinya dia menyapaku dengan panggilan mesra itu.

“malam yang indah, ku harap malam ini menjadi saksi bisu kebahagiaanku. Sayang, kau tahu Tuhanku berbisik padaku jika malam ini akan menjadi malam yang menyatukan kita berdua. Mohon bawa aku ke taman dekat tempat beribadah kita berdua.

“aku menolaknya” jawabku dengan tegas.

“ini terakhir kalinya” jawabnya

Mendengar perkataan itu sontak membuat aku untuk mengaminkan permintaan dari Angki. Malam itu ku bawa dia kesana tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya. Aku takut dosa, namun entah mengapa aku lebih takut kehilangannya, aku tahu ini salah, bahkan sangat salah.

“aku ingin menghabiskan malam ini disini, bersama genggaman tangan yang selalu memberiku kehidupan setiap kali aku berada di dekatnya , itu kamu” dia menunjuk ke arahku.

Aku selalu tersenyum, bahkan sesekali menyandarkan kepalaku di pundaknya, aku tahu pundaknya tak sekuat dulu. Aku ingin selalu seperti ini, dua bulan yang lalu, waktu kebersamaan kami seakan terbuang percuma dan saat ini Angki membayarnya.

“terima kasih, Angki” kataku

“untuk apa?”

“untuk semua keindahan cinta yang selalu kau suguhkan hingga malam ini, terima kasih untuk semua cinta dan pengorbanan yang selalu kau lakukan, aku ingin sekali meminta kepada Tuhanmu agar aku dan kamu dapat Dia restui”

‘‘tenanglah sayang, kau tahu, Tuhan kita sedang rapat besar-besaran bersama malaikat dan yang lainnya untuk membicarakan nasib kita berdua. Lihatlah betapa istimewanya cinta kita” dia mencoba menenangkanku dalam dekapnya.

“semoga saja” jawabku.

Aku bersandar agak lama, aku tak merasakan detak jantung Angki lagi. Entah siapa yang mencurinya. Ku coba membangunkannya namun tak ada perlawanan dalam dirinya. Dengan sekuat tenaga kubawa Angki  ke rumah sakit, lagi dan lagi dokter itu yang memeriksanya. Aku menunggu di ruang tunggu diantara orang yang lalulalang mencari ruangan sanak saudaranya yang sakit.

“ apa yang terjadi” Tanya orang tua Angki.

“Angki tak sadarkan diri, di taman tante.”

‘‘kau membawanya keluar tanpa izin kami?”

“ tapi itu permintaan Angki, tan !”

“dasar bodoh, kau tahu Angki tak boleh kena angin malam, itu berpengaruh pada kesehatannya”
Aku terdiam, aku seperti dihakimi karena kasus berat, seakan aku melakukan percobaan pembunuhan pada kekasihku sendiri. Dokter keluar dari ruangan, seakan menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa. “Angki sudah pergi” katanya.

Orang tua Angki melangkah masuk ruangan, sementara aku tak ada yang mempedulikan. Aku hanya menangis terisak di atas kursi tunggu. Tak ada yang bisa ku lakukan, bahkan saat jasad Angki tak bisa ku sentuh lagi, orang tuanya melarangku, mereka menerka bahwa aku penyebabnya.
Malam yang mencekam, jariku tak dapat menyentuhmu lagi malam itu, Angki. Bahkan untuk mengucapkan selamat tinggal itu tak dapat tersampaikan lagi.
angki, selamat jalan sayang :)
Pagi yang mendung, aku merasa alam juga bersedih karena kau tinggalkan. Angki aku ingin menyampaikan rasa belasungkawa Tuhanku padamu. Ku ikuti rombongan pelayatmu menuju singgasana terakhir, tempatmu tertidur hingga surga untukmu selesai dibangun. Aku menunggu hingga semuanya sepi, hanya ada fotomu di atas pusara.
Aku tahu jiwamu telah tenang, namun aku merasa kau selalu mengikutiku kemana pun langkahku beranjak. Angki ,

“kekasihku tenanglah disana, maafkan aku tak bisa menciptakan malam yang indah untukmu” jawabku seraya menciumi pusaranya. Sayang, aku titipkan surat untukmu semoga angin senantiasa menyampaikannya padamu ketika kau telah berada di surga.

Teruntuk kekasihku, Angki.
sosok yang paling kusayangi, semoga kau membacanya dengan senyum di surga.
Kekasihku yang terhebat, terima kasih untuk tiga setengah tahun ini. Terima kasih telah mengajariku bahagia di atas perbedaan yang ada. Ketika kau baca surat ini, ku yakin kau telah duduk manis di surga  yang Tuhanmu selalu janjikan. Kekasihku yang kucintai, maaf aku tak bisa mengantarmu ke pusara terakhirmu, itu karena orang tuamu mengira aku penyebab kau menghadap Tuhanmu secepat ini. Kekasihku, aku tahu saat dalam peti kau merasa sangat sempit, kau yang selalu mengajariku bahwa dunia sangatlah luas, mungkin kini teorimu itu telah berubah. Ku harap kau tak tersiksa di dalam peti itu, untunglah kau agak kurus jadi kau agak leluasa di dalamnya, sayang.
Kekasihku yang berbaik, aku berharap Tuhanmu dan Tuhanku sedang bekerja sama menjadi arsitek untuk menciptakan surga untuk kita dapat menyatu nanti, walau aku masih bertanya, akankah Tuhanmu dan Tuhanku menjanjikan surga yang sama untuk kita?. Sayangku, sampai saat ini aku masih belum percaya akan kepergianmu, aku begitu berat melepasmu saat ini. Bahkan aku butuh waktu seumur hidup untuk melupakanmu.
Kekasih, kau tahu..semenjak kepergianmu, aku sudah tak takut mati, karena aku tahu kau sedang menungguku di surga itu. Aku tak ingin membenci dunia dan isinya, karena tak pernah mengizinkan orang yang melipat tangan dan menadahkan tangan saat berdoa menyatu dalam ikatan cinta yang suci.
Sayangku, kau perlu tahu, sejauh apapun surga dan dunia itu, aku tak pernah peduli. Aku selalu menjagamu dari jauh, mengirimkan setiap kata sayang bersama angin dan ku harap semoga angin itu menyampaikannya.
Tenanglah sayangku, kekasihku, aku selalu mencintaimu hingga bumi tak bermentari lagi, hingga malam tak berbintang lagi, atau bahkan ketika aku telah dimiliki orang lain, aku akan selalu menyimpan rasa cintaku padamu di sudut hatiku, lalu akan ku kunci agar tak ada yang bisa mengganggumu.
Surat dari kota cinta, aku dan bersama kenangan kita. Hati-hati dalam perjalananmu menuju surga, kelak jika kau telah sampai, Tuhanmu akan memberikan surat cinta ini. Aku mencintaimu sayangku.
Dari yang terkasih dan selalu mencinta, Aku.

Tuhanku Yang Maha Pencipta cinta, mohon bujuk Tuhannya agar Cinta kami bisa menyatu, walau engkau tak izinkan raga kami untuk bersatu, aku mohon !

kekasih, senyummu akan terus terbayang,
dari wanita yang selalu menadahkan tangannya
berdoa agar kau cepat sampai di surga kita, aku !