Chapter 2
Udara yang memaksa raga tuk berselimut dalam kehangatan hati yang sedang merindu, aku menulisnya untukmu.
Udara yang memaksa raga tuk berselimut dalam kehangatan hati yang sedang merindu, aku menulisnya untukmu.
Ku lihat senja berdamai
dalam langkah menuju malam, ketika kedudukan mentari direbut paksa oleh rembulan
yang kadang purnama dan kadang juga sabit. Entah dimana angin membawa senja,
kutengok ufuk barat yang konon tempat
mentari bersembunyi, sayang seribu sayang yang kudapatkan hanyalah batas
laut sepanjang mata memandang. Bukan hanya mata ini yang mencari, senja itu
pergi tanpa pesan mengirim rembulan sebagai gantinya. Jangan kau kira rembulan
itu baik untukku, bisa saja cahayanya itu menyilaukan mataku, namun tak pernah
juga ku kira bahwa mentari ternyata lebih kejam daripada rembulan, salah
sedikit panasnya bisa membakar tubuhku merasuk menghanguskan hatiku.
Kau mentari itu, menjelma
menjadi pelumpuh hati, yang sinar matanya tak dapat kuhindari. Ini memang
konyol bercerita tentangmu tak pernah ada bandingnya.
“Angki…” lantunku dalam hati seolah mengeja abjad
serupa dengan anak bau kencur berbaju merah putih.
Setahun berlalu, nama
itu selalu kusebutkan dalam sepi ketika gelora rinduku memuncak. Lidahku sudah
terlatih untuk melantunkannya di setiap langkah bahkan hembusan nafas. Pernah sesekali
aku mencoba tak mengingatnya, namun dadaku seperti disumbat oleh rindu yang
kadang malu menamai namanya sendiri sebagai kerinduan. Semakin lama menahannya
rasanya ingin tumpah ruah saja hasrat ingin segera bertemu denganmu, Angki.
Aku yang selalu
melebih-lebihkannya, berharap kala sendu jemarimu bisa masuk diantara sela
jariku, tak peduli jari jempol kelingking atau manis, yang kuindahkan adalah
jarimu, bukan jari yang lain. Februari yang lalu, aku tak sempat mengirimkan
surat pertanda rinduku padamu, bukan karena aku tak merindu lagi, namun
gravitasi kesibukan semakin menarik jariku ini lebih terbiasa mengetik tugas
yang kadang beribu-beribu kata. Aku jenuh !
Jika dirunut dari tanggal
kukirimnya, akhir maret. Semoga kau ada waktu untuk membuka surat ini, namun
ciumi dulu perangkonya agar aku merasakan bahwa kau juga sedang menahan beban
rindu yang sama halnya dengan yang kurasakan.
Seperti ini suratku….
“kekasihku yang tercinta dan terkasih, setahun sudah
berlalu namun bayangmu masih saja selalu berada di sampingku, bahkan sekarang,
saat aku sedang menulis surat ini aku merasakan hembusan nafasmu terdengar di
telingaku, “ahh mimpi apa aku ini” tulisku dalam surat.
Angki yang kusayangi, maafku tercurah pada suratku
ini, tak pernah kukirim surat lagi sejak bulan kemarin, aku meminta maaf. Namun
yang harus kau tahu aku tak pernah lupa bahwa kau selalu ada di sini, yah di
hatiku paling dalam. Sayang, aku ingin bercerita entah mengapa beban kuliahku
saat ini membuat aku letih bahkan sangat letih sekali. Aku tak punya waktu lagi
untuk menabur bunga cinta di atas pusaramu, tapi kamu jangan sedih, esok
bersama dengan suratku ini, bunga itu akan segera menghiasi pusaramu. Masih ingatkah
kamu taman cinta kita, batas antara tempat ibadah kita? Aku harap kau
mengingatnya. Taman itu sudah indah sekarang, namun bagiku taman itu kehilangan
indahnya jika aku ke sana tanpa dirimu. Tidak sayang, ini bukan gombal, aku
jujur bercerita dalam hatiku.
Astaga, aku lupa menanyakan kabarmu, mungkin karena
rasa semangatku terlalu berkobar untuk bercerita perihal tugas-tugasku. Maafkan
aku lagi.
Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah tahu keputusan Tuhan
kita akan nasib cinta ini? Jika sudah, datanglah pada mimpiku dan beritahu aku.
Aku di sini baik saja, tak ada perlu kau khawatirkan, cukup kamu jaga kesehatan
di sana. Doakan aku dari jauh, peluk aku jika kecewa sedang menghampiriku,
dekap aku dalam kerinduanmu yang kuharap tak pernah padam darimu.
Angki kekasih terbaikku, ini suratku yang kukirimkan
di akhir maret. Semoga bisa sedikit mengobati kerinduanmu, jaga hatimu
baik-baik di surga itu, jangan biarkan bidadari yang lain merebutnya,kalau
tidak aku akan marah. Aku mencintaimu dalam mentari walau itu membakar hati,
aku menyayangimu di antara sinar rembulan yang tak pernah padam, jika langit
sedang menangis aku rasa kau sedang sedih, maka dari itu jangan sedih, agar
langit tak membasahi bumi ini, tempat Tuhan kita mengatur pertemuan kita
beberapa tahun lalu. Aku merindukanmu…”
“Esok akan kukirim
surat ini” damaiku dalam hati.
***
Mentari yang kemarin
menghilang, sinarnya mulai merambat menusuk-nusuk kulit ini bahkan tebalnya
selimut pun tak dapat menahannya. Tanggal terakhir di
penghujung maret, surat Angki harus segera kukirimkan.
Jalan setapak menuju
pusaranya semakin dekat, jejak-jejak sandal penjaga kubur masih jelas terpatri
di atas tanah becek bekas hujan semalam, Angki sedang bersedih, air mata membasahi
seluruh permukaan pusaranya. Entahlah…
“Angki yang tersayang,
aku datang” ucapku sambil menciumi pusaranya.
Aku mulai menaburkan
bunga sebagai tanda aku menghiburnya hari ini, kuletakkan surat itu tepat di
samping pusaranya.
“Angki, berdamailah
dengan duniamu sekarang. Akupun sama berdamai dengan hati dan mencoba sabar”
tuturku sembari membersihkan rumput nakal yang seakan tumbuh tanpa isin dariku,
merusak keindahan tempat Angki beristirahat saja.
“ini suratku, bacalah
dan kutunggu kamu pada mimpiku malam ini” lalu kuciumi lagi nisan itu.”
Langkah kaki berat
melangkah, namun kucoba dan terus mencoba untuk berjalan pergi meninggalkan
jejak agar Angki tahu aku telah menengoknya pagi ini.
dari hati yang selalu menyimpan seribu rindu,
yang takkan pernah mati.
0 komentar:
Posting Komentar