Minggu, 07 September 2014

Surat Nomor sembilanbelas



Semalam hujan mengguyur kota, kota yang menawarkan kesedihan yang tiada berkesudahan baginya. Mengingat kepergian ibunya yang sejak setahun lalu  secara mendadak menjadikan hatinya seperti ditancapkan anak panah hingga hari ini. Setiap sudut di rumah sakit, selang-selang infus, tabung gas, suara ambulans, dan lubang yang berukuran kecil masih terngiang-ngiang di pikirannya hingga detik ini. Namanya Reza, semenjak kejadian itu ia hanya bisa melihat ayahnya termenung. Tak jarang Reza sering mengajak ayahnya hang-out, namun ayahnya selalu saja punya segudang alasan untuk menolak. Setiap paginya semua terasa hambar baginya, tidak ada lagi masakan yang terhidangkan di atas meja makan, tidak ada lagi senyum yang selalu menyambut kepulangannya ke rumah, tak ada lagi dongeng-dongeng yang sejak kecil menjadi rutinitas wajib ibu. Semuanya hilang seiring dengan ditutupnya lubang kecil setahun yang lalu.
“ayah, aku mau ke dermaga dulu” kata Reza pada ayahnya
“iya hati-hati nak” jawab ayahnya sambil menyeruput kopi di atas meja kerja.
Reza tersenyum mengembang meninggalkan ayah sendiri di ruang yang penuh kenangan tentang ibunya.
***
Reza berjalan ke dermaga, setiap langkah selalu saja ia merindukan cinta. Entah sudah seberapa sering ia ke dermaga itu, sampai-sampai jika ia menutup mata, ia sudah fasih menghapal setiap sudut di dermaga itu.
“aku tahu kamu ke sini, jangan bersedih. Masih banyak cinta yang akan datang ketika satu cinta itu pergi.” Tulisan di secarik kertas di ujung dermaga mengagetkan Reza yang sedari tadi duduk di sana.
Tak ada nama yang tertera di surat itu, ini sudah surat ke delapanbelas yang ia baca semenjak ibunya berpulang kepada-Nya.
Separuh sore ia habiskan di sana, dihibur oleh gelombang yang sibuk menggoda karang, senja mulai temaram, jingga mulai menguasai langit, matahari diculik lagi entah kemana.
***
Tanah di halaman rumah Reza masih basah sebab semalam hujannya sangat deras mengguyur kota, hujan memang selalu tawarkan dilema, entah harus bersyukur atau mengiba setelah kedatangannya. Sisa rintiknya mendarat mulus di atas daun kehijauan, sesekali ia pandang kumbang yang masih malu mendekati kembang, udara yang begitu segar.
Di tangan Reza sudah ada delapan belas secarik kertas yang berisi seuntai kata romantis dan menyemangati. Rasa penasaran Reza akan pengirim misterius itu sudah mencapai puncaknya, sore ini ia putuskan untuk ke dermaga lebih cepat agar bisa melihat siapa sosok yang selalu meletakkan surat di ujung dermaga saat senja hampir hilang ditelan malam.
***
Seorang gadis mendekati dermaga, menaruh surat nomor sembilan belas di ujung dermaga, dari jarak yang tidak terlalu jauh, Reza mengawasi setiap gerakan gadis itu, namun ia tak sempat melihat wajahnya, rambut yang begitu sempurna terurai laksana ratu yang mendamba pangeran, kemeja warna merah jambu yang begitu manis ia kenakan.

“kamu siapa?” Reza menepuk bahunya dari belakang.
Gadis itu membalikkan badannya.

“astaga, kamu? Jadi kamu yang selalu menaruh surat di dermaga ini?” Reza memasang wajah kaget. Dia Sinta, gadis yang ia kagumi sejak duduk di bangku kelas satu SMA hingga saat ini, wanita kedua yang ia kagumi setelah ibunya.

“ia, aku..a..ku hanya ingin menghiburmu. Karena sejak setahun lalu aku melihat kamu lebih sering diam dibanding tersenyum, makanya aku selalu ke dermaga ini, karena aku tahu kamu sangat suka dengan tempat ini.” Ucap Sinta dengan gugup sperti maling ketangkap basah.

“aku bahagia mendapat surat darimu, aku tak menyangka gadis yang aku kagumi juga diam-diam memperhatikanku.” Reza menjawab dengan malu.

“aku sering memperhatikanmu, kamunya saja yang selalu menghindar setiap aku datang” Sinta menatap tajam.

Tuhan, mata yang indah, aku seperti Rama yang sudah menemukan Sintanya. Cinta memang akan selalu datang tanpa ada kata sakit izin atau alpa seperti absen sekolahan.

“ibu, aku menemukan cinta yang indah setelah cintamu” gumamnya dalam hati.

Rabu, 03 September 2014

LDR



 
“selamat tidur, semoga mimpi indah” pesan singkat Sonya mendarat tepat ketika jarum pendek jam dindingku berhenti di angka sepuluh.

Aku dan sonya terbatas oleh jarak, terhitung sejak aku memutuskan melanjutkan kuliah di kota yang terlampau jauh dengannya. Awalnya kami begitu menikmatinya, saling memandang bulan yang sama ketika purnama tiba, itu sudah menjadi rutinitas kami berdua sejak memutuskan untuk LDRan. Sonya masih duduk di bangku SMA, aku kadang paham dengan sifat kekanak-kanakannya yang sering mengeluh rindu yang berkepanjangan, aku juga demikian tapi aku hanya bisa menenangkannya dari jauh, meski itu hanya bisa berbincang di atas sederet tombol saja sambil menatap layar handphone yang entah berapa watt.
“angin rindu itu lagi” kataku dalam hati sambil menikmati angin malam di kotaku. Jika dalam keadaan seperti ini, hanya angin ini yang dapat menyampaikan rasa rinduku yang menggunung entah berapa tingginya.
***
“Zaki, aku mau putus” pesan singkat sonya seketika seperti membuat layar handphoneku retak begitu cepat.

“jangan bercanda Sonya, aku salah apa?” aku membalasnya dengan hati yang telah retak sedikit demi sedikit, tinggal menunggu dia membalasnya dan sempurnalah semua.
 
“aku tidak bercanda, aku capek dengan LDRan, aku tidak tahan mendengar ledekan teman-temanku tentang hubungan bodoh yang menyita waktu ini”

“apa katamu, hubungan bodoh? Kamu pikir waktu selama ini hanya untuk hal bodoh? Kamu mau kalah dengan jarak?” 

“aku capek Zaki, tolong kamu mengerti” balasan terakhir yang kuterima dari Sonya.

Jarak benar-benar membunuh bahagia yang sudah sekian lama kujaga dengan kesetiaan dan segenap kemampuanku untuk menjadi pacar yang sempurna untuk Sonya, tapi tetap saja, aku tidak bisa mengubah keputusan Sonya.
 
Dua bulan setelah putus, liburan semester tiba, aku memutuskan untuk pulang ke kota cintaku dan Sonya untuk mengurai rindu kepada orang tua dan mantan kekasihku yang sampai sekarang masih kusayangi. Semuanya berlalu dengan cepat. Semenjak peristiwa itu tak ada lagi kata selamat tidur dari Sonya yang selalu menjadi pengantar tidur yang indah, tak ada lagi semangat darinya, dan tidak ada lagi cintanya, aku rindu akan hal itu.
***
Aku sengaja menunggu Sonya di depan sekolah, sesekali kupandangi wajah satpam yang sedari tadi memperhatikanku seperti orang yang akan berbuat jahat pada siswa sekolah ini. Aku membolak-balikkan kepala ke arah sekolah dan jam tangan, sepertinya menunggu masih menjadi urutan pertama pekerjaan yang paling membosankan di dunia ini.

“kakak sedang apa di sini” suara itu tiba-tiba mengagetkanku yang sibuk menantang pandangan dengan satpam sekolah.

“eh, Sonya. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat” 

“kemana kak?”

“ikut saja” aku menariknya ke arah perpustakaan sekolah, untunglah satpam itu tak melihatku dan Sonya.
aku begitu rindu menggandeng tangan ini, berjalan berdampingan dengan tubuh ini, dan sesekali mengacak-ngacak rambut ini ketika tingkahnya yang jail berhasil membuat aku gemes bukan main. Dan aku merasa semuanya kembali saat pertama kali aku bertemu dengannya.
 
“kamu ingat tempat itu?” akumenunjuk gedung perpustakaan sekolah.

“pasti kak, aku selalu ingat itu” Sonya menjawab dengan lesung yang semakin dalam.
 
“aku tak tahu harus memulainya dari mana, kita putus beberapa bulan yang lalu bagiku mimpi buruk setelah mimpi hari kiamat yang pernah kualami, aku rindu dengan bulan purnama yang sibuk kita pandangi.” Aku tertawa kecil.

“aku juga kak, maafkan aku yang terlalu kekanak-kanakan dalam hal ini. LDR memang begitu sulit kak, tapi” aku memotongnya.

“aku ingin kita seperti dulu, sepulangnya aku di sini atau setelah aku harus kembali ke kota tempat kuliahku,  aku ingin kita menjalani semuanya dengan sabar” wajahku menaruh harap.

“iya kak, aku mau menjalaninya dengan sabar” jawaban yang memuaskan hati.

Segalanya sempurna sepulangnya aku ke kota cintaku memperbaiki semuanya, cinta memang butuh kesabaran, aku akan selalu menajaga setiaku. Entah seberapa jauh jarak kita, yang terpenting rasa kita takkan pernah berjarak, LDR hal yang mudah jika kita sabar.