Semalam hujan mengguyur kota,
kota yang menawarkan kesedihan yang tiada berkesudahan baginya. Mengingat
kepergian ibunya yang sejak setahun lalu
secara mendadak menjadikan hatinya seperti ditancapkan anak panah hingga
hari ini. Setiap sudut di rumah sakit, selang-selang infus, tabung gas, suara
ambulans, dan lubang yang berukuran kecil masih terngiang-ngiang di pikirannya
hingga detik ini. Namanya Reza, semenjak kejadian itu ia hanya bisa melihat
ayahnya termenung. Tak jarang Reza sering mengajak ayahnya hang-out, namun
ayahnya selalu saja punya segudang alasan untuk menolak. Setiap paginya semua
terasa hambar baginya, tidak ada lagi masakan yang terhidangkan di atas meja
makan, tidak ada lagi senyum yang selalu menyambut kepulangannya ke rumah, tak
ada lagi dongeng-dongeng yang sejak kecil menjadi rutinitas wajib ibu. Semuanya
hilang seiring dengan ditutupnya lubang kecil setahun yang lalu.
“ayah, aku mau ke dermaga dulu” kata
Reza pada ayahnya
“iya hati-hati nak” jawab ayahnya
sambil menyeruput kopi di atas meja kerja.
Reza tersenyum mengembang
meninggalkan ayah sendiri di ruang yang penuh kenangan tentang ibunya.
***
Reza berjalan ke dermaga, setiap
langkah selalu saja ia merindukan cinta. Entah sudah seberapa sering ia ke
dermaga itu, sampai-sampai jika ia menutup mata, ia sudah fasih menghapal
setiap sudut di dermaga itu.
“aku tahu kamu ke sini, jangan
bersedih. Masih banyak cinta yang akan datang ketika satu cinta itu pergi.”
Tulisan di secarik kertas di ujung dermaga mengagetkan Reza yang sedari tadi
duduk di sana.
Tak ada nama yang tertera di
surat itu, ini sudah surat ke delapanbelas yang ia baca semenjak ibunya
berpulang kepada-Nya.
Separuh sore ia habiskan di sana,
dihibur oleh gelombang yang sibuk menggoda karang, senja mulai temaram, jingga
mulai menguasai langit, matahari diculik lagi entah kemana.
***
Tanah di halaman rumah Reza masih
basah sebab semalam hujannya sangat deras mengguyur kota, hujan memang selalu
tawarkan dilema, entah harus bersyukur atau mengiba setelah kedatangannya. Sisa
rintiknya mendarat mulus di atas daun kehijauan, sesekali ia pandang kumbang
yang masih malu mendekati kembang, udara yang begitu segar.
Di tangan Reza sudah ada delapan
belas secarik kertas yang berisi seuntai kata romantis dan menyemangati. Rasa penasaran
Reza akan pengirim misterius itu sudah mencapai puncaknya, sore ini ia putuskan
untuk ke dermaga lebih cepat agar bisa melihat siapa sosok yang selalu
meletakkan surat di ujung dermaga saat senja hampir hilang ditelan malam.
***
Seorang gadis mendekati dermaga,
menaruh surat nomor sembilan belas di ujung dermaga, dari jarak yang tidak
terlalu jauh, Reza mengawasi setiap gerakan gadis itu, namun ia tak sempat
melihat wajahnya, rambut yang begitu sempurna terurai laksana ratu yang
mendamba pangeran, kemeja warna merah jambu yang begitu manis ia kenakan.
“kamu siapa?” Reza menepuk
bahunya dari belakang.
Gadis itu membalikkan badannya.
“astaga, kamu? Jadi kamu yang
selalu menaruh surat di dermaga ini?” Reza memasang wajah kaget. Dia Sinta,
gadis yang ia kagumi sejak duduk di bangku kelas satu SMA hingga saat ini,
wanita kedua yang ia kagumi setelah ibunya.
“ia, aku..a..ku hanya ingin
menghiburmu. Karena sejak setahun lalu aku melihat kamu lebih sering diam
dibanding tersenyum, makanya aku selalu ke dermaga ini, karena aku tahu kamu
sangat suka dengan tempat ini.” Ucap Sinta dengan gugup sperti maling ketangkap
basah.
“aku bahagia mendapat surat
darimu, aku tak menyangka gadis yang aku kagumi juga diam-diam
memperhatikanku.” Reza menjawab dengan malu.
“aku sering memperhatikanmu,
kamunya saja yang selalu menghindar setiap aku datang” Sinta menatap tajam.
Tuhan, mata yang indah, aku
seperti Rama yang sudah menemukan Sintanya. Cinta memang akan selalu datang
tanpa ada kata sakit izin atau alpa seperti absen sekolahan.
“ibu, aku menemukan cinta yang
indah setelah cintamu” gumamnya dalam hati.