“selamat tidur, semoga mimpi indah” pesan singkat
Sonya mendarat tepat ketika jarum pendek jam dindingku berhenti di angka
sepuluh.
Aku dan sonya terbatas oleh jarak, terhitung sejak
aku memutuskan melanjutkan kuliah di kota yang terlampau jauh dengannya. Awalnya
kami begitu menikmatinya, saling memandang bulan yang sama ketika purnama tiba,
itu sudah menjadi rutinitas kami berdua sejak memutuskan untuk LDRan. Sonya masih
duduk di bangku SMA, aku kadang paham dengan sifat kekanak-kanakannya yang
sering mengeluh rindu yang berkepanjangan, aku juga demikian tapi aku hanya
bisa menenangkannya dari jauh, meski itu hanya bisa berbincang di atas sederet
tombol saja sambil menatap layar handphone
yang entah berapa watt.
“angin rindu itu lagi” kataku dalam hati sambil
menikmati angin malam di kotaku. Jika dalam keadaan seperti ini, hanya angin
ini yang dapat menyampaikan rasa rinduku yang menggunung entah berapa
tingginya.
***
“Zaki, aku mau putus” pesan singkat sonya seketika
seperti membuat layar handphoneku
retak begitu cepat.
“jangan bercanda Sonya, aku salah apa?” aku
membalasnya dengan hati yang telah retak sedikit demi sedikit, tinggal menunggu
dia membalasnya dan sempurnalah semua.
“aku tidak bercanda, aku capek dengan LDRan, aku
tidak tahan mendengar ledekan teman-temanku tentang hubungan bodoh yang menyita
waktu ini”
“apa katamu, hubungan bodoh? Kamu pikir waktu selama
ini hanya untuk hal bodoh? Kamu mau kalah dengan jarak?”
“aku capek Zaki, tolong kamu mengerti” balasan terakhir
yang kuterima dari Sonya.
Jarak benar-benar membunuh bahagia yang sudah sekian
lama kujaga dengan kesetiaan dan segenap kemampuanku untuk menjadi pacar yang
sempurna untuk Sonya, tapi tetap saja, aku tidak bisa mengubah keputusan Sonya.
Dua bulan setelah putus, liburan semester tiba, aku
memutuskan untuk pulang ke kota cintaku dan Sonya untuk mengurai rindu kepada
orang tua dan mantan kekasihku yang sampai sekarang masih kusayangi. Semuanya
berlalu dengan cepat. Semenjak peristiwa itu tak ada lagi kata selamat tidur
dari Sonya yang selalu menjadi pengantar tidur yang indah, tak ada lagi
semangat darinya, dan tidak ada lagi cintanya, aku rindu akan hal itu.
***
Aku sengaja menunggu Sonya di depan sekolah,
sesekali kupandangi wajah satpam yang sedari tadi memperhatikanku seperti orang
yang akan berbuat jahat pada siswa sekolah ini. Aku membolak-balikkan kepala ke
arah sekolah dan jam tangan, sepertinya menunggu masih menjadi urutan pertama
pekerjaan yang paling membosankan di dunia ini.
“kakak sedang apa di sini” suara itu tiba-tiba mengagetkanku
yang sibuk menantang pandangan dengan satpam sekolah.
“eh, Sonya. Aku mau bawa kamu ke suatu tempat”
“kemana kak?”
“ikut saja” aku menariknya ke arah perpustakaan
sekolah, untunglah satpam itu tak melihatku dan Sonya.
aku begitu rindu menggandeng tangan ini, berjalan
berdampingan dengan tubuh ini, dan sesekali mengacak-ngacak rambut ini ketika
tingkahnya yang jail berhasil membuat aku gemes bukan main. Dan aku merasa
semuanya kembali saat pertama kali aku bertemu dengannya.
“kamu ingat tempat itu?” akumenunjuk gedung
perpustakaan sekolah.
“pasti kak, aku selalu ingat itu” Sonya menjawab
dengan lesung yang semakin dalam.
“aku tak tahu harus memulainya dari mana, kita putus
beberapa bulan yang lalu bagiku mimpi buruk setelah mimpi hari kiamat yang
pernah kualami, aku rindu dengan bulan purnama yang sibuk kita pandangi.” Aku tertawa
kecil.
“aku juga kak, maafkan aku yang terlalu
kekanak-kanakan dalam hal ini. LDR memang begitu sulit kak, tapi” aku
memotongnya.
“aku ingin kita seperti dulu, sepulangnya aku di
sini atau setelah aku harus kembali ke kota tempat kuliahku, aku ingin kita menjalani semuanya dengan sabar”
wajahku menaruh harap.
“iya kak, aku mau menjalaninya dengan sabar” jawaban
yang memuaskan hati.
Segalanya sempurna sepulangnya aku ke kota cintaku
memperbaiki semuanya, cinta memang butuh kesabaran, aku akan selalu menajaga
setiaku. Entah seberapa jauh jarak kita, yang terpenting rasa kita takkan
pernah berjarak, LDR hal yang mudah jika kita sabar.
0 komentar:
Posting Komentar