Kamis, 03 April 2014

From April To April

Empatpuluh delapan jam yang lalu,tepat ketika jarum panjang jam dinding bertumpu dengan jarum pendeknya. April telah datang bersama angin malam seraya merasuk ke rongga hidung, udaranya masih saja sama dengan bulan lalu, tak ada yang beda. perasaanku pun juga demikian, entah mengapa Tuhan tak ingin merubahnya sedikitpun. Namun tak ada sesal, April akan selalu membawa bahagia dimanapun kaki akan berpijak.

Namaku April, tepat dengan nama bulan ini. Bulan yang menjadi saksi berbagai peristiwa,  bulan di mana Kartini, Bumi, dan buku melukis sejarahnya. Tak terpungkiri akupun juga ingin melukis sejarah di bulan ini, bulan yang dilambangkan oleh diamond, Batu perhiasan berwarna putih cahaya. Kuharap hatiku demikian, ada cahaya yang dapat menerangi labirin-labirin hatiku yang masih gelap diterkam kebutaan hati yang tak bisa melihat cahaya yang berusaha masuk untuk meneranginya.

Cahayanya masih sama, seakan ada yang memaksa masuk ke pori-pori kulitku, panas menyergap, membungkam ceriaku, aku sejenak berhenti mengajak berdamai panas mentari di sekelilingku. Koridor kampus masih saja sepi, entah kemana mahasiswa membawa kakinya berpijak, ku tengok ruang kelas, namun dosen tak kulihat jua membagi ilmunya. Entah kemana para pendidik itu berkelana.
Dedaun pohon di depanku bergoyang seakan angin itu berirama. Entah semerdu apa angin itu, hingga daun laksana menari dengan ketukan yang sangat indah untuk dipandang. Aku masih saja sibuk dengan novel yang sekiranya hampir seminggu mengintai hidupku, seperti menderu dengan harap aku segera menamatkannya dan segera menggantinya dengan  buku yang lain, apa mungkin buku  ini telah bosan berada di tanganku, yah entahlah.

Stuck, lensa mataku menangkap bayangan yang menggetarkan hati.
“dia masih saja sama dengan bulan lalu” seruanku dalam hati.
Kemeja itu masih saja ia pakai, tak adakah dia tahu bahwasanya mataku agak sedikit lelah melihat warna itu setiap kali kesempatan aku melihatnya, walaupun itu hanya diam-diam. Yah diam-diam !

Tubuhnya hampir setinggi denganku, walaupun aku tak pernah berdiri berdampingan dengannya. Namun aku tahu, walaupun kesoktahuanku ini akan menimbulkan Tanya. Hanya sorot matanya yang mampu membangunkan mata ini dalam tidur yang berkepanjangan akan cinta. Ini memang konyol, namun tak sekonyol ketika aku telah tahu bahwa dirinya telah dimiliki oleh bidadari bumi bukan surga, bidadari surga hanya milik Tere Liye. Terlepas dari itu semua, kecewa pasti iya, namun adakah yang bisa kulakukan selain berontak dalam hati, ku pikir tidak.

Sudah hampir sepuluh bulan lamanya, aku mengintainya dengan kamera tersembunyi mataku. Menerawangnya dari jauh, memeluknya walau aku sadar pelukannya telah jatuh pada perempuan lain, dia cantik tak sesederhana diriku. Dia putih sementara aku, yah sedikit putih dari sebiji kopi. Rasa bingung masih sibuk mengitari pikiranku, entah inikah namanya kagum, suka, atau cinta. Maha Cintalah yang mampu menjawabnya.

April, bulan kelahiranku. Apakah ini bulan akan lahirnya cintaku jua.

Aku tak ingin menyebut namanya,aku malu pada bumi tempatku hidup mencari jati diri ini, malu pada malam yang selalu setia mendampingi siang, malu kepada makhluk bumi yang lain, aku malu pada perasaan yang tak kutahui rimbanya dimana. Bukan, ini bukan cerita Ayu Ting-ting. Ini ceritaku yang tak mampu bertegur sapa walau hanya sekedar bertanya, akankah setelah sore ada senja?,  pertanyaan bodoh !

April, April, April…

Aku ingin mengirim sebuah surat padamu, lalu akan kulabuhkan di pinggir pantai, semoga bukan Mei atau Juni yang menerimanya, kuharap April yang sesungguhnya.

Noltiga April tahun bertulis dua lalu disusul oleh angka berbentuk bulat yang tak sempurna lalu angka empatbelas, aku menuliskannya untukmu, ini memang konyol namun semoga Tuhan mempertemukan surat ini denganmu.

April, kenalkan namaku April. Aku meniru namamu, namun jangan marah dulu, ini tak sepenuhnya salahku, ini mungkin salah ibu dan ayahku yang tak bisa menerka kapan aku bisa mereka ijinkan melihat indahnya dunia dan kejamnya cinta yang tak bisa termiliki. April, apakah semua orang yang lahir di bulan ini akan mengalami nasib yang sama denganku? Melihat dia yang menarik perhatian  bergandengan dengan perempuan lain sementara aku hanya menjadi penonton setia, bukan bayaran. Jika bayaran mungkin aku tak rugi karena ada uang untuk beli tisu jika melihat mereka beradu mesra dihadapku. Entahlah !

April, dibalik itu semua, aku senang bisa mengeluarkan tangisan pertama tepat di bulan ini. Tujuhbelas tahun yang lalu, aku kini telah dewasa diantara ujian yang Tuhan pernah berikan kepadaku. Aku rasa semuanya telah kau berikan, syukur yang tiada terkira. Namun, bolehkah aku minta sesuatu. Aku minta cinta, cinta yang datang tepat pada bulan ini, April. Cinta yang membawa cahaya yang mampu menerangi kembali hatiku. Kuharap agar pintaku segera kau kabulkan, entah cinta itu dia atau milyaran manusia yang lain di dunia, yang penting kau ijinkan aku bahagia dengan cinta yang kau berikan nanti.

Aku tunggu kiriman cintamu itu, salam sayang dan cinta dari April. Terima kasih telah mengijinkan aku untuk lahir di bulanmu ini.

Duapuluh tujuh hari lagi, masih ada enamratus empatpuluh delapan jam lagi waktumu mengirim cinta untukku, ku harap sampai tepat waktu, aku tunggu di bulan ini.

dari satu diantara milyaran manusia,
yang selalu berharap cinta datang pada April untuk seorang April.



0 komentar:

Posting Komentar