Empatpuluh delapan jam yang lalu,tepat ketika jarum panjang
jam dinding bertumpu dengan jarum pendeknya. April telah datang bersama angin
malam seraya merasuk ke rongga hidung, udaranya masih saja sama dengan bulan
lalu, tak ada yang beda. perasaanku pun juga demikian, entah mengapa Tuhan tak
ingin merubahnya sedikitpun. Namun tak ada sesal, April akan selalu membawa
bahagia dimanapun kaki akan berpijak.
Namaku April, tepat dengan nama bulan ini. Bulan yang menjadi
saksi berbagai peristiwa, bulan di mana
Kartini, Bumi, dan buku melukis sejarahnya. Tak terpungkiri akupun juga ingin
melukis sejarah di bulan ini, bulan yang dilambangkan oleh diamond, Batu perhiasan berwarna putih cahaya. Kuharap hatiku
demikian, ada cahaya yang dapat menerangi labirin-labirin hatiku yang masih
gelap diterkam kebutaan hati yang tak bisa melihat cahaya yang berusaha masuk
untuk meneranginya.
Cahayanya masih sama,
seakan ada yang memaksa masuk ke pori-pori kulitku, panas menyergap, membungkam
ceriaku, aku sejenak berhenti mengajak berdamai panas mentari di sekelilingku. Koridor
kampus masih saja sepi, entah kemana mahasiswa membawa kakinya berpijak, ku
tengok ruang kelas, namun dosen tak kulihat jua membagi ilmunya. Entah kemana
para pendidik itu berkelana.
Dedaun pohon di depanku
bergoyang seakan angin itu berirama. Entah semerdu apa angin itu, hingga daun
laksana menari dengan ketukan yang sangat indah untuk dipandang. Aku masih saja
sibuk dengan novel yang sekiranya hampir seminggu mengintai hidupku, seperti
menderu dengan harap aku segera menamatkannya dan segera menggantinya dengan buku yang lain, apa mungkin buku ini telah bosan berada di tanganku, yah
entahlah.
Stuck,
lensa mataku menangkap bayangan yang menggetarkan hati.
“dia masih saja sama dengan
bulan lalu” seruanku dalam hati.
Kemeja itu masih saja
ia pakai, tak adakah dia tahu bahwasanya mataku agak sedikit lelah melihat
warna itu setiap kali kesempatan aku melihatnya, walaupun itu hanya diam-diam. Yah
diam-diam !
Tubuhnya hampir
setinggi denganku, walaupun aku tak pernah berdiri berdampingan dengannya. Namun
aku tahu, walaupun kesoktahuanku ini akan menimbulkan Tanya. Hanya sorot
matanya yang mampu membangunkan mata ini dalam tidur yang berkepanjangan akan
cinta. Ini memang konyol, namun tak sekonyol ketika aku telah tahu bahwa
dirinya telah dimiliki oleh bidadari bumi bukan surga, bidadari surga hanya
milik Tere Liye. Terlepas dari itu semua, kecewa pasti iya, namun adakah yang
bisa kulakukan selain berontak dalam hati, ku pikir tidak.
Sudah hampir sepuluh
bulan lamanya, aku mengintainya dengan kamera tersembunyi mataku. Menerawangnya
dari jauh, memeluknya walau aku sadar pelukannya telah jatuh pada perempuan
lain, dia cantik tak sesederhana diriku. Dia putih sementara aku, yah sedikit
putih dari sebiji kopi. Rasa bingung masih sibuk mengitari pikiranku, entah
inikah namanya kagum, suka, atau cinta. Maha Cintalah yang mampu menjawabnya.
April, bulan
kelahiranku. Apakah ini bulan akan lahirnya cintaku jua.
Aku tak ingin menyebut
namanya,aku malu pada bumi tempatku hidup mencari jati diri ini, malu pada
malam yang selalu setia mendampingi siang, malu kepada makhluk bumi yang lain,
aku malu pada perasaan yang tak kutahui rimbanya dimana. Bukan, ini bukan
cerita Ayu Ting-ting. Ini ceritaku yang tak mampu bertegur sapa walau hanya
sekedar bertanya, akankah setelah sore ada senja?, pertanyaan bodoh !
April, April, April…
Aku ingin mengirim
sebuah surat padamu, lalu akan kulabuhkan di pinggir pantai, semoga bukan Mei
atau Juni yang menerimanya, kuharap April yang sesungguhnya.
Noltiga April tahun bertulis dua lalu disusul oleh angka
berbentuk bulat yang tak sempurna lalu angka empatbelas, aku menuliskannya
untukmu, ini memang konyol namun semoga Tuhan mempertemukan surat ini denganmu.
April, kenalkan namaku April. Aku meniru namamu, namun jangan
marah dulu, ini tak sepenuhnya salahku, ini mungkin salah ibu dan ayahku yang
tak bisa menerka kapan aku bisa mereka ijinkan melihat indahnya dunia dan
kejamnya cinta yang tak bisa termiliki. April, apakah semua orang yang lahir di
bulan ini akan mengalami nasib yang sama denganku? Melihat dia yang menarik
perhatian bergandengan dengan perempuan
lain sementara aku hanya menjadi penonton setia, bukan bayaran. Jika bayaran
mungkin aku tak rugi karena ada uang untuk beli tisu jika melihat mereka beradu
mesra dihadapku. Entahlah !
April, dibalik itu semua, aku senang bisa mengeluarkan
tangisan pertama tepat di bulan ini. Tujuhbelas tahun yang lalu, aku kini telah
dewasa diantara ujian yang Tuhan pernah berikan kepadaku. Aku rasa semuanya
telah kau berikan, syukur yang tiada terkira. Namun, bolehkah aku minta
sesuatu. Aku minta cinta, cinta yang datang tepat pada bulan ini, April. Cinta yang
membawa cahaya yang mampu menerangi kembali hatiku. Kuharap agar pintaku segera
kau kabulkan, entah cinta itu dia atau milyaran manusia yang lain di dunia,
yang penting kau ijinkan aku bahagia dengan cinta yang kau berikan nanti.
Aku tunggu kiriman cintamu itu, salam sayang dan cinta dari
April. Terima kasih telah mengijinkan aku untuk lahir di bulanmu ini.
Duapuluh tujuh hari lagi,
masih ada enamratus empatpuluh delapan jam lagi waktumu mengirim cinta untukku,
ku harap sampai tepat waktu, aku tunggu di bulan ini.
dari satu diantara milyaran manusia,
yang selalu berharap cinta datang pada April untuk seorang April.
0 komentar:
Posting Komentar