Matahari
sedang ganas-ganasnya membakar kulit. Uci tengah berjalan pulang ke rumah.
Tempat yang biasa orang lain sebut sebagai istana tapi baginya laksana neraka.
Maklum saja, sejak adik sematawayangnya meninggal, ibu dan ayahnya selalu
bertengkar, saling menyalahkan satu sama lain atas peristiwa itu.
Sepanjang
jalan memasuki kompleks perumahannya, Uci hanya bisa menyaksikan betapa
gembiranya anak remaja sepertinya bisa bercanda dengan orang tuannya. Uci
selalu saja iri. Tak jarang buliran air matanya menetes ke tanah pijakannya.
***
“assalamualaikum”
ucapnya sambil membuka pintu rumahnya.
Tak
ada jawaban, Uci memang sudah bisa menebak sampai kapanpun tak akan pernah ada
yang menjawab salamnya. Uci terkadang iri pada Rani tetangganya. Pernah sekali
dia berkunjung ke rumah Rani. Keadaan di sana jauh seratus delapan puluh
derajat berbeda dengan rumahnya. Uci baru saja masuk ke halaman rumahnya. Ibu
Rani sudah menunggu di teras rumah, seperti sudah hapal jam pulang sekolah anaknya.
Uci tersenyum padanya dan Ibu Rani juga membalasnya.
“kapan ibu bisa tersenyum seperti
itu padaku lagi?” rintihnya dalam hati.
“masuk
nak” ibunya membuka pintu.
“iya
bu. Ayo Uci kita masuk.” Rani menarik tanganku ke dalam rumah.
“mari
silahkan makan” ibunya mempersilahkan aku duduk di meja makan rumahnya.
“
iya tante, terima kasih”
Waktu
menunjukkan pukul 14.00, memang jam makan siang sudah hampir berakhir. Uci
duduk termenung.
“ibu, kapan ibu masak dan makan
bersama denganku lagi, dengan ayah juga.” Rintihnya sekali lagi.
Tak
ada yang kurang dari keluarga Rani, rumah yang penuh kehangatan cinta, rumah
yang yang berdinding kasih sayang, beralaskan kehangatan, dan beratapkan cinta,
siapapun yang berada di dalamnya akan selalu merasakan bahagia. Uci selalu
berpikir, kapan rumahnya menjadi seperti itu.
Senja
datang menyapa. Di celah jendela sinarnya yang lembut menerpa wajah lesu Uci
dengan khidmat, perlahan angin sore menggelitiknya, matahari sebentar lagi akan
tumbang ke barat, tak ada yang berani mengejarnya, sebab percuma karena tak ada
yang tahu di mana Tuhan menyembunyikannya. Uci
masih saja berdiam di kamarnya. Membolak-balikkan album foto kecilnya.
“kalau seperti ini, rasanya aku
ingin kecil terus, agar ibu selalu bisa menjagaku dan menyayangiku setiap saat”
rintihnya lagi.
Ayah
dan ibu Uci selalu sibuk bekerja, tak jarang Uci selalu merindukan mereka
setiap saat, merindukan keluarga yang penuh cinta seperti dulu.
***
Uci
tertidur menunggu ayah dan ibunya pulang. Lelap sekali tidurnya hingga hanya
suara hentakan pintu yang begitu keras membangunkannya dari lelap. Uci seketika
berlari menuju kamar ayah dan ibunya, lagi-lagi Uci harus mendengar semuanya,
pertengkaran yang menjadi rutinitas kedua orang tuanya.
“stop”
teriaknya
“Uci
keluar kamu” ayahnya menggertak.
“ayah
dan ibu kapan bisa berdamai dengan kenyataan. Kematian itu sudah Tuhan atur.
Setiap yang bernyawa akan mengalami itu, termasuk kita. Tinggal tunggu waktu
saja kapan tuhan utus malaikatnya menjemput kita. Jangan saling menyalahkan seperti
itu” teriak Uci sambil berlinang air mata.
“kamu
tidak tahu apa-apa” Ibunya menggertak.
“aku
tahu Bu, aku tahu ibu yang dulu selalu menyayangi sekarang berubah menjadi ibu
yang tidak peduli, ayah juga” Tunjuk Uci.
Kemarahan
Uci mencapai puncaknya, ia muak dengan semuanya.
Ayah
dan ibunya terdiam, Uci pun keluar dari kamar sambil membanting pintu amat
kencang.Di kamarnya Uci menghapus sisa-sisa air matanya, di jendela kamar
beberapa rintik hujan menghalangi pandang ke luar rumah, Uci menuliskan nama ayah
dan ibunya di antara rintik itu.
“ayah
ibu, kapan rumah kita punya cinta lagi? Kapan ayah dan ibu berdamai dengan
kenyataan, aku lelah hidup di antara kegersangan, kapan rumah kita bisa
berdinding kasih sayang, beralaskan kehangatan, beratapkan cinta seperti rumah tetangga kita” Uci bertanya
tanpa ada jawaban.
0 komentar:
Posting Komentar