Kemarin
kulihat anak tetangga terjatuh karena memanjat pohon, tangannya yang berwarna
kemalam kini berwarna mereh. Aku selalu rindu masa seperti itu, jika terjatuh
hanya siku ku yang sakit, tapi tidak hatiku.
Dua
bulan setelah cincin itu lepas dariku, rasa-rasanya aku masih tak relatapi
hatiku saja yang berpura-pura tegar. Jika semua orang berhak menjatuhkan
hatinya pada orang lain, maka orang lain itu berhak mematahkannya, itu kata
salah seorang penulis.
***
Namanya
Via, sejak TK hingga SMP tanganku dan tangannya tak pernah berpisah jika sudah
keluar rumah. Selalu saja bergandengan hingga senja melipat rapi senyumnya di
ufuk barat. Panasnya lapangan saat bermain layangan hingga cerita tentang cinta
monyet kami yang sama, itu semua terangkum dalam memori bernama kenangan. Namun
sayangnya saat SMA, kami harus berpisah karena tuntutan pekerjaan orang tua
Via. Bercerita tentang cinta monyet yang sama, Ardan teman sekolahku di SMP.
Kami berdua menyukainya dengan alasan yang nyaris sama, yaitu baik dan pintar.
Tapi inilah bedanya cinta monyet dan cinta zaman sekarang. Dulu cinta monyet
tak perlu diperjuangkan, namun cinta sekarang membutuhkan itu, sebab jika tak
diperjuangkan katanya tak cinta.
***
Ilham,
cintaku yang sekarang, namun sudah kandas jauh sebelum aku menuliskan ini.
Ilham dikenalkan oleh Via, teman kecilku. Sejak kelas X hingga Ujian Akhir, aku
memutuskan menyandarkan hati padanya, bercerita tentang segalanya layaknya buku
diari. Namun entah mengapa sifatnya berubah, aku juga bingung. Mungkin LDR yang
membuatnya seperti itu. Jarak memang egois, tak mengerti ada rindu yang selalu
ingin bersua.
Kring
kring kring
“halo?”
aku menjawab telfon.
“aku
Via”
“eh
Via, kamu apa kabar?” tanyaku bahagia.
“baik.
Aku mau ke rumahmu besok. Bolehkan?”
“boleh
dong, datanglah. Aku tunggu.”
Telfon
kami terputus.
***
Mendung
hari ini tak berkepanjangan, mungkin karena dewa hujan sudah tahu kalau Via
akan datang, makanya langit yang cerah segera datang.
Tok
tok tok
“iya,
iya tunggu.” aku membukakan pintu untuk Via.
“apa
ini? Mengapa sendiku melemah seketika. Ilham. Ia datang bersama Via.”
“eh
Ika” pipi Via langsung menyambar pipiku.
“ayo
masuk” ajakku.
Sofa
yang tadinya empuk mendadak seperti bangku kayu, tak ada empuk-empuknya sama
sekali. Aku kaget sejadi-jadinya namun tak berekspresi sejalan dengan
kekagetanku, aku paksakan senyum.
“kenalkan
Ika, ini Ilham, Pacarku.”
“apa?
Pacar? Oh....selamat” aku memberi senyum pas-pasan saja.
Sebelumnya
Via memang tidak tahu bahwa aku mantan dari pacarnya sekarang. Meskipun awalnya
Ikalah yang mengenalkan kami berdua di aku sosial media.
Jika
seperti ini keadaannya, au sepertinya ingin meminta mendung datang kembali,
hujan deras di hatiku akan mengibaskan
segala kekecewaanku. Sahabatku lebih menarik daripada aku. Mungkin Via jauh
lebih Baik.
Via,
cerita cinta monyet kita kembali mengambil tempat di saat kita telah dewasa.
Cinta monyet itu terulang kembali, kita sama-sama mencintai orang yang sama.
Namun aku saja yang berjuang, biarlah aku sendiri yang memungut
serpihan-serpihan hati yang masih tersisa. Semoga cintamu bertahan lama.
Rumah sahabat, 24 November 2014