Selasa, 25 November 2014

Dia (Bukan Cinta Monyet)




Kemarin kulihat anak tetangga terjatuh karena memanjat pohon, tangannya yang berwarna kemalam kini berwarna mereh. Aku selalu rindu masa seperti itu, jika terjatuh hanya siku ku yang sakit, tapi tidak hatiku.
Dua bulan setelah cincin itu lepas dariku, rasa-rasanya aku masih tak relatapi hatiku saja yang berpura-pura tegar. Jika semua orang berhak menjatuhkan hatinya pada orang lain, maka orang lain itu berhak mematahkannya, itu kata salah seorang penulis.
***
Namanya Via, sejak TK hingga SMP tanganku dan tangannya tak pernah berpisah jika sudah keluar rumah. Selalu saja bergandengan hingga senja melipat rapi senyumnya di ufuk barat. Panasnya lapangan saat bermain layangan hingga cerita tentang cinta monyet kami yang sama, itu semua terangkum dalam memori bernama kenangan. Namun sayangnya saat SMA, kami harus berpisah karena tuntutan pekerjaan orang tua Via. Bercerita tentang cinta monyet yang sama, Ardan teman sekolahku di SMP. Kami berdua menyukainya dengan alasan yang nyaris sama, yaitu baik dan pintar. Tapi inilah bedanya cinta monyet dan cinta zaman sekarang. Dulu cinta monyet tak perlu diperjuangkan, namun cinta sekarang membutuhkan itu, sebab jika tak diperjuangkan katanya tak cinta.
***
Ilham, cintaku yang sekarang, namun sudah kandas jauh sebelum aku menuliskan ini. Ilham dikenalkan oleh Via, teman kecilku. Sejak kelas X hingga Ujian Akhir, aku memutuskan menyandarkan hati padanya, bercerita tentang segalanya layaknya buku diari. Namun entah mengapa sifatnya berubah, aku juga bingung. Mungkin LDR yang membuatnya seperti itu. Jarak memang egois, tak mengerti ada rindu yang selalu ingin bersua.
Kring kring kring
“halo?” aku menjawab telfon.
“aku Via”
“eh Via, kamu apa kabar?” tanyaku bahagia.
“baik. Aku mau ke rumahmu besok. Bolehkan?”
“boleh dong, datanglah. Aku tunggu.”
Telfon kami terputus.
***
Mendung hari ini tak berkepanjangan, mungkin karena dewa hujan sudah tahu kalau Via akan datang, makanya langit yang cerah segera datang.
Tok tok tok
“iya, iya tunggu.” aku membukakan pintu untuk Via.
“apa ini? Mengapa sendiku melemah seketika. Ilham. Ia datang bersama Via.”
“eh Ika” pipi Via langsung menyambar pipiku.
“ayo masuk” ajakku.
Sofa yang tadinya empuk mendadak seperti bangku kayu, tak ada empuk-empuknya sama sekali. Aku kaget sejadi-jadinya namun tak berekspresi sejalan dengan kekagetanku, aku paksakan senyum.
“kenalkan Ika, ini Ilham, Pacarku.”
“apa? Pacar? Oh....selamat” aku memberi senyum pas-pasan saja.
Sebelumnya Via memang tidak tahu bahwa aku mantan dari pacarnya sekarang. Meskipun awalnya Ikalah yang mengenalkan kami berdua di aku sosial media.
Jika seperti ini keadaannya, au sepertinya ingin meminta mendung datang kembali, hujan deras di hatiku  akan mengibaskan segala kekecewaanku. Sahabatku lebih menarik daripada aku. Mungkin Via jauh lebih Baik.
Via, cerita cinta monyet kita kembali mengambil tempat di saat kita telah dewasa. Cinta monyet itu terulang kembali, kita sama-sama mencintai orang yang sama. Namun aku saja yang berjuang, biarlah aku sendiri yang memungut serpihan-serpihan hati yang masih tersisa. Semoga cintamu bertahan lama.


Rumah sahabat, 24 November 2014

0 komentar:

Posting Komentar