Harus menetes
lagi. Sudah ku upayakan segala daya yang kupunya untuk menghentikan langkahnya
yang semakin menjauh.
ini kali kedua air asin yang bersumber di mata ini
harus menetes karena sahabatku sendiri. Rasanya begitu perih, serasa ada benda
tajam menembus rusuk.
“Ayna, aku merindukan kebersamaan kita. Baru saja
rasanya kita bertemu sekian jam yang lalu, namun bukan itu maksudku, aku
merindukan kamu yang dulu” gumamku di koridor kampus.
Awan langit masih mendung tak berpelangi, maklum
saja sebentar lagi musim penghujan akan setia mengguyur kota. Daun-daun
bergoyang ke kiri ke kanan, laksana angin sedang bernyanyi merdu untuknya.
Suara rintik mulai terdengar, satu dua tiga dan selanjutnya dalam jumlah yang
tak terhitung, rintiknya berubah menjadi hujan yang menyapu bersih atap
koridor, tapi tak berhasil menghapus gudah gulana yang asik nongkrong di
hatiku.
***
Semenjak putus dengan pacarnya, Ayna begitu berubah.
Aku tak bisa menjelaskannya di sini, hanya aku yang paham. Di facebook , kutuliskan sebuah status. Aku
memenag gemar bermain kata-kata di akun facebookku.
Begini bunyi statusku,
“aku paham, jauh
sebelum kau merasa paham sebenarnya apa yang tak kau pahami, ini bukan tentang
paham. Ini yang pertama.
Tugasku
memarahimu tak pernah selesai jika kau salah langkah. Namun langkahmu yang satu
ini tak bisa kujanggal. Aku tak pernah berkata setuju atau tidak, iya atau
tidak. Jujur, aku takut menegur orang yang sedang jatuh cinta.”
***
Malam yang suram, Ayna mengirim sms untukku.
“apa maksud statusmu? Jujur aku tersinggung.” Tulis
Ayna
Aku tak ingin memperpanjang masalah, aku balas saja
“maafkan saya, lupakan hal itu.
Lumayan singkat pergulatan kami di sms, hingga tiga
sms terakhir dariku tak dibalas olehnya, ini smeakin menguatkan dugaanku kalau
Ayna marah.
***
Ayna baru saja jadian dengan Fendi, aku tak pernah
berkata setuju dengan hubungan mereka, karena Fendi dan Ayna baru kenal
sebulan, dan sudah memutuskan untuk jadian. Waktu yang singkat untuk menilai
itu cinta atau suka. Tapi terserah dia, aku hanya berpesan kalau sudah yakin,
silakan kalian jadian. Kemarin pagi ia bercerita tentang hari jadiannya, sore
hari aku menulis status di fb, dan malamnya aku harus mengeyam pahit karena
ulahku sendiri. Dewasaku terenggut, aku yang terlalu membebaninya. Setiap
pesanku kuyselipkan kata maaf, namun itu tak berbalas.
***
Sebulan berlalu, bibirkau tak pernah bertegur sapa
di kampus bersama Ayna, berat rasanya. Ini akibat ketidakwasaanku menuliskan
status yang menyinggungnya.
“Iin” ada yang memanggilku.
“Ayna” aku menatapnya dengan haru.
“kamu benar Iin, dia tak baik. Aku tidak melihat
keseriusannya selama ini.
“maksudmu?” aku kebingungan.
“aku putus”
“apa?” kagetku menjadi-jadi.
“ia Iin, aku minta maaf sama kamu.”
“aku juga yang salah. Maafkan aku juga.” Kami
berpelukan laksana teletubies di atas bukit.
Rasa senang menghinggapiku laksana burung di ranting
dedaunan. Aku kembali berdamai , berdamai dengan sahabat dan pikiranku sendiri.
Bagiku Ayna adalah tongkat saat tak mampu melihat, jaket saat kepanasan, payung
saay hujan, teman saat kesepian. Dan jujur aku tak pernah bemimpi menjatuhkan
air mata sahabatku sendiri, aku mengutuk cinta jika kehadirannya menghancurkan
cinta yang lain, yah cintaku bersama Ayna, sahabatku.
Rumah tanpa
cinta, 24 November 2014
0 komentar:
Posting Komentar