Senja.Aku telah terbiasa memandangimu dari bibir pantai. Tak terhitung sudah berapa kali aku menantimu setiap sore mulai menyapa, dan tak terhitung pula berapa kali kau palingkan pandangmu padaku. Ombak itu saling berkejaran, seakan ingin tahu kemana angin akan membawamu pergi.
Kunikmati kelapa muda di bibir pantai, dan sesekali kucuri pandangmu di
sore itu. Sore yang tak seperti biasa. Beberapa hari yang lalu, sore dan azan
magrib yang selalu menjadi penantian mereka yang tak mengenalmu, tapi aku beda.
Sore dan senja selalu saja beriringan, aku dibuatnya cemburu, apakah kau sedang
merajut kasih atau sekadar menjalin persahabatan dengannya.
“sudah kuduga, kau pasti di sini.” Suara Faris mengagetkanku dari belakang.
“memangnya kenapa?” tanyaku tanpa berbalik badan, senja sore ini lebih enak
dipandang dibanding dengan memandang wajah Faris.
“apakah kau tak bosan memandang senja setiap sore?, biar bagaimanapun
warnanya akan tetap menjingga, tak mungkin berubah menjadi biru atau bahkan
ungu setelah kau pandangi begitu lama.”
Aku hanya terdiam, percuma saja bicara padanya yang tak mengerti tentang
arti penantian. Faris menatapku lebih lama dari biasanya, sepertinya dia sedang
menyusun rentetan pertanyaan yang akan menyudutkanku.
Nampaknya Faris belum memahami tentang luka yang masih basah ini, belum ada
yang mampu mengeringkannya, mungkin hanya waktu yang perlahan akan
menyembuhkannya.
Aku kembali meneguk air kelapa muda sembari menunggu senja dicuri oleh
angin malam, ingin sekali aku memberitahu semua orang kalau senjaku ada di sisi
barat langit, tolong bantu aku menemukannya. Begitu mengibanya aku saat itu.
***
Elfina. Kau selalu berhasil menumbuhkan rindu yang awalnya hanya sebatang,
lalu tumbuh subur menjadi sepohon rindu, rindu yang sengaja kupelihara setiap
harinya, tak peduli seberapa rimbunnya saat ini, namun aku berharap kau segera
datang untuk memangkasnya agar rinduku akan terlihat lebih rapi.
Elfina. Nona senjaku. Kau selalu berhasil menyulap senja menjadi anugerah
Tuhan yang sangat indah di setiap sore.
***
Kunikmati sepiring pisang epe di pinggir pantai, angin di tempat ini akan
kusulap menjadi pos yang akan mengirimkan surat yang isinya tentang kerinduanku.
Bacalah !
Elfina. Senjaku. Aku sudah begitu lama di sini menantimu. Hingga separuh
umurku kuhabiskan dengan penantian. Yah. Menanti dirimu.
***
Saatnya aku pulang. Kelak kau rindukan aku. Datanglah ke rumahku. Tapi jangan
kaget, rumahku tak nampak mewah, hanya berlandaskan tanah coklat kebasahan
ketika hujan sedang mengguyur. Kau akan tahu, di rumahku tak ada ruang tamu,
dapur, atau ruangan lain kecuali ruang untuk beristirahat setelah begitu lama
menantimu. Rumahku hanya berukuran setinggi badanku saat terakhir kau melihatku
saat itu. Kelak ketika kau datang bertamu, aku mohon bawalah bunga dan air
sebagai tanda kau balas semua penantianku selama ini, jangan lupa sisipkan
namaku di setiap doa dalam sujudmu. Hanya itu yang kurindukan saat ini.
***
Aku akan selalu ada di setiap senja mulai menyapa, sebab hanya itu yang
bisa kelakukan saat kau telah jauh dari dekapanku. Jika kelak kita bertemu di
surga, bawalah senja untukku meski itu hanya segenggam saja, sisanya boleh kau
berikan kepada kekasihmu yang kau cintai setelah kepergianku. Akan kukirimkan
rindu di setiap malam lewat angin yang akan membelai lapisan kulitmu, anggap
saja itu aku.
0 komentar:
Posting Komentar