Selasa, 21 Oktober 2014

NIRWANA



Nirwana
kemarin kulihat senja melipat rapi senyummu
lalu dengan lancangnya malam mengaburkan bayangmu
esok pagi aku tak bisa menatapmu
sebab tanah merah telah menyelimutimu
aroma melati, merah kamboja tergeletak
Nirwana
kau begitu kesepian

Sajak Tak Bertuan


sekali lagi
air, aku tak ingin menjadi perahu kertas
perahu yang tak berdermaga
air, aku tak ingin menjadi perahu kertas
semakin melemah di dalam arus
air, aku tak ingin menjadi perahu kertas
selepas aku menuliskan sajak ini
aku akan segera ditenggelamkan olehmu
hancur dan tak berbentuk

Ini Bukan Sabda Tengah Malam

kenangan manis mengisi ruang
hadirkan wajah tak berbayang
ingin kucipta elegi sebuah kerinduan
tentang cinta yang hilang tanpa harapan
mata membelalak tepat di pukul 03.00
jujur saja aku tak pernah memaksa kau merindu tepat pukul 03.03
tangis tak kalah memecah
pun jikalau kau datang menyulam bahagia
ini bukan sabda tengah malam
anggap saja Tuhan butuh aku mengeja namamu di seperempat malam
ini bukan sabda tengah malam
katakan cinta
fana cinta fana
cinta fana cinta
fana cinta fana
katakan saja hingga ayat tak bersurah


Sudiang, Makassar. 14 Oktober 2014

Sabtu, 11 Oktober 2014

Sajak Untukmu


aku tetap menyukaimu, entah esok bulan akan sabit, purnama, ataupun gerhana.
aku tetap menyukaimu, dengan segala nyanyian kita yang tak berirama.
aku tetap menyukaimu, dengan bekas luka hati yang menganga.
aku tetap menyukaimu, meski lukisan sedang membenci kuasnya.
aku tetap menyukaimu, meski mataku membenci air matanya.
aku tetap menyukaimu, meski kau tak setampan Arjuna.

Elegi Masa Lalu

Cepat beritahu aku, kau lahir bukan untuk menyakitiku.
bukan untuk patahkan sayap yang berhari-hari kita rangkai tuk bisa terbang bersama.
bukan untuk redupkan cahaya bulan

juga bukan untuk sirnakan kerlip bintang
malam di tengah kota,
kau pernah katakan bahwa kau ada untuk setia.
ada untuk menghapus awan mendung di mata.
ada untuk leburkan rinai air mata di wajah.
malam di tengah kota ini lagi
bayangmu memalsukan semuanya.
memalsukan janji yang diikat bersama dalam rasa yang bernama cinta.
kita berpisah !
aku dengan bulan
kau dengan bintang
dipeluk semesta yang sama, namun adakah ingin kita tuk saling bertegur sapa?
jawabannya tidak !

Senin, 06 Oktober 2014

Yang Terbunuh



Dengan mata setengah layu
Terpaksa berujung pasrah
Langkah kaki terus saja melangkah
Sudah kukatakan berhenti
Tetap saja ia berjalan

Di ujung jalan
Kudapati kamboja tergeletak
Semerbak melati tertidur pasrah di atas tanah merah

Di belakang rumah
Ada sepetak tanah
Sengaja aku siapkan
Tak kupagari
Tak kutanami
Biar saja waktu membunuh

Jika telah tiba
Akan kukubur ia di bawah bungan tergeletak
Kan kusirami dengan gerimis di pelupuk mata
Esoknya kan tumbuh bungan duka
Kan kupetik, lalu kusematkan di sela telingamu
Teruntuk kau semata, cintaku yang terbunuh

BEDA



Hati ini masih miliknya, tepat ketika September resmi berlalu.

Aku tak pernah mengira akan sejauh ini menyimpan rasa, berhasil berjalan tanpa ada kepastian. Jika ini kusebut cinta, maka dari dulu akan ada senyum yang kutawarkan. Bukan sakit yang kupendam. Tanggal sembilan belas masih menjadi mimpi buruk, mimpi buruk untukku namun mungkin tidak untuknya. Setahun yang lalu di bulan Agustus, ia begitu manis dengan kata cintanya, aku dibuat melayang tak tahu ke lapisan langit ke berapa. Setahun kemudian sayapku berhasil dipatahkan, dan jatuh entah ke lapisan bumi ke berapa.
Namanya Fie, tiga deret huruf yang begitu fasih terlafalkan oleh lisanku, tanpa terbata-bata aku menyebutnya di setiap doa akhir shalatku.

Sebulan yang lalu kita masih sempat beribadah bersama-sama, tunaikan kewajiban kita kepada Tuhan kita masing-masing. Mereka bilang kita beda, aku menyapa tuhanku lewat lantunan ayat suci di kitabku, sementara dia dan rutinitas hari minggunya tak pernah kuanggap sebagai hal yang mengganggu untuk hubungan ini. Mereka bilang kita beda, tasbih kadang kugenggam, sementara salib di dadanya begitu setia. 

***
Di bawah silauan sinar jingga, aku termenung duduk di temani bisingnya angin sore.
“hapus air matamu !”suara itu mengancam.
“kamu? Kenapa lagi?”
“aku benci mata sembabmu, aku mohon jangan menangis, ini akan membuatku semakin sulit melepaskan kamu dan semuanya.” Dia berbalik badan.
“kenapa Fie, kamu yang inginkan ini bukan? “ aku memukul belakangnya, namun tak begitu keras. Jujur saja aku tak berani menyakitinya.
“siapa bilang aku yang inginkan ini? Kamu pikir mudah menjalani ini? Sebulan Win aku hanya bisa melihat kamu dari jauh, sebulan aku hanya bisa melihat kamu terus menangis. Kamu pikir gampang?” dia berbalik badan dan menatapku.

aku hanya bisa menangis tertunduk, aku tak sanggup menatapnya.
“lihat aku Win, apa ada cahaya mataku yang menandakan aku ingin menyakiti kamu? aku hanya ingin kita baik-baik saja, orang bilang kita beda Win, aku dan kamu tak bisa sejauh apapun, sebab akan ada benteng  yang besar menghalangi”
“benteng besar katamu? Tuhanmu sekejam itu ingin pisahkan kita?”
“bukan Winda !”
“lantas?”
“aku mencintaimu, sangat mencintaimu, tapi kamu harus tahu, sebagian orang memang ditakdirkan untuk hadir di hati kita, namun tidak untuk dimiliki, kamu salah satunya.”
“tidak dimiliki katamu? Semua sudah jelas. Kamu pergi dari sini ! pergi !” aku menggertak.

***
Di luar rumah masih gerimis, aroma basah tanah begitu menusuk indera penciumanku. Rintik hujan temani sepi, ingin sekali aku bermain dengan gerimis di luar sana, biar aku merasa bahwa aku tak merasakan kesendirian yang sendiri pula.

Di jendela kamar, aku tuliskan namanya. Laki-laki yang sejatinya masih aku cintai. Sulit aku jelaskan mengapa aku mencintainya begitu dalam sebab yang kutahui cinta memang tak selayaknya mendapat alasan.

“ada yang mencarimu Winda” suara ibu muncul dari balik pintu kamar.
“iya bu, aku segera keluar.”
Aku tinggalkan gerimis di ujung jendela, aku tinggalkan tulisan nama di kaca jendela yang belum selesai kutuntaskan.
“kamu mau apa ke sini lagi?” aku memasang wajah yang benci.
“boleh aku duduk dulu?”
“kita bicara di luar rumah saja !” aku jutek.
“kamu lihat gerimis di luar sana Win, di setiap rintiknya selalu tawarkan rindu akan dirimu. Setiap sejuknya ingatkan aku pada senyummu. Aku minta maaf untuk semuanya. Jika boleh akan kutebus semua air mata yang kau teteskan itu.” Fie mengiba.
“maksudnya?”
“ bolehkah jemariku menggenggam jemarimu lagi, bolehkah kita saling mengingatkan untuk saling beribadah lagi, dan terakkhir boleh aku menggandeng tanganmu berjalan terus hingga bisa melewati benteng perbedaan itu?”
“aku juga ingin bertanya, Fie. “
“apa Win?”
“ Bolehkan aku memelukmu untuk kali ini? Sebab esok pesawat akan membawaku pergi dari kota ini, pergi darimu dan kenangan ini?”
“kamu mau kemana?”
“aku kuliah di Bandung, aku akan pergi jauh dari benteng perbedaan itu.”
“jadi kamu tak ingin memperbaiki semuanya?”
“tentu saja aku ingin memperbaiki semuanya menjadi lebih baik. Jika cinta milik kita. Kelak kau kan temukan jawabnya di setiap doamu.”
“sejauh apapun, kau boleh bawa sebagian rasaku melayang, tapi jangan biarkan terlalu lama mengudara, aku takut rasa itu perlahan hilang dibawa angin. Aku mencintaimu Win.” Dia memelukku sangat erat.

CALON MANTEN


Pagi menyapa, matahari disambut sejuk oleh ribuan tetes embun, sinarnya mulai menusuk-nusuk permukaan kulit Ayu yang sibuk menyapu halaman rumahnya. Ayu masih terngiang akan perkataan ibunya semalam. Sesekali ia palingkan pandang pada daun yang berguguran diterpa angin. Ayu masih delapanbelas tahun, usianya begitu muda untuk menikah. Namun permintaan ibunya semalam mengambil alih setengah konsentrasi berpikirnya.
“ bagaimana nak? Apa kamu bersedia menikah dengan Ryan?” suara ibu bersumber dari teras rumah panggung berumur puluhan tahun.
Ayu terdiam tak tahu harus berkata apa.
“ibu paham, tapi ibu mohon berpikirlah sejernih mungkin” suara ibu perlahan menghilang di balik pintu rumah.
***
Ayu baru saja lulus SMA, ia hanya bisa melihat temannya berangkat kuliah ke kota dan pulang sebulan sekali ketika libur tiba. Pernikahan dini masih menjadi mimpi buruk baginya. Harus menikah dengan lelaki yang ia tidak kenal. Dunia begitu egois banginya, perjodohan masih menjadi tradisi di kampung yang tak bisa terhindari meski zaman ini bukan lagi waktunya.
“ apa keputusanmu nak?” ibu menanyakan hal itu lagi.
“aku ingin mengenalnya, Bu .” Ayu menunduk tak kuasa.
***
Angin membawa Ayu ke negeri yang tak berpenghuni, hanya dia dan kegelisahan yang ada di sana.
Hari ini pertemuan pertamanya dengan Ryan, lelaki pilihan ibunya.
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
“ kamu Ayu”
“iya, siapa?”
“aku Ryan !”
“Oh kamu.”
Mereka duduk di kursi taman, tak ada suara kecuali riuh kendaraan lalu lalang di area taman, untunglah cuaca begitu cerah, namun tidak dengan hatinya. Hati Ayu berhasil terselimuti mendung yang berkepanjangan. Seiring tumbangnya matahari di ufuk barat, sepucuk surat di tangan Ryan diselipkan di antara jemari Ayu.
“ini apa?”
“baca saja, bilang pada ibumu aku tak pernah memaksa kamu utnuk mencintaiku.”
***
Suara jangkrik meramaikan sunyi malam, surat tadi sore menjadi tanda tanya besar di benak Ayu. Perlahan dia membuka amplop putih itu, tak ada jejak tangan di sampulnya.
Seperti ini isinya

“untukmu wanita yang masih bingung dengan keputusan akan hidup bersamaku kelak atau tidak.
Aku mengenalmu dari ayahku yang berteman baik dengan ibumu. Aku juga tak tahu kenapa perjodohan harus menggenggam kita saat ini. Aku pusing dengan hal ini, aku yakin kamu wanita yang baik, setelah kita bertemu atau tidak, aku telah memantapkan hatiku untuk meminangmu.
Ayu...
Aku serahkan semuanya denganmu, jawablah pertanyaan ibumu ketika kau telah siap menjadi pelengkap tulang rusukku.
Aku tak berani mengucap cinta saat ini, aku takut kau tak sudi dicintai oleh lelaki sepertiku. Aku hanya bisa berkata semoga kelak kau akan mencintaiku.

Dari calon pendampingmu, ketika kau telah tetapkan aku di hatimu, Ryan.”

***
 
Ayu duduk seketika, merebahkan punggung yang sedari tadi menahan letih. Ada gores senyum di wajahnya, sepertinya dia telah temukan jawabannya.
“ibu...ibu...” ayu berteriak senang di teras rumah.
“iya Nak” ibu berlari tergesa-gesa dari dalam rumah.
“ibu aku telah siap dipinangnya”
“Ryan maksudmu nak?”
“iya bu. Ryan, calon suamiku” aku memantapkan hati.

Aku sudah nyaman, sejak tatapan pertama, surat pertama dan dia adalah lelaki pertama yang akan kusebut sebagai kekasih, lebih dari itu, dia akan kusebut suamiku.