Pagi menyapa, matahari disambut sejuk oleh ribuan tetes embun, sinarnya mulai menusuk-nusuk permukaan kulit Ayu yang sibuk menyapu halaman rumahnya. Ayu masih terngiang akan perkataan ibunya semalam. Sesekali ia palingkan pandang pada daun yang berguguran diterpa angin. Ayu masih delapanbelas tahun, usianya begitu muda untuk menikah. Namun permintaan ibunya semalam mengambil alih setengah konsentrasi berpikirnya.
“
bagaimana nak? Apa kamu bersedia menikah dengan Ryan?” suara ibu bersumber dari
teras rumah panggung berumur puluhan tahun.
Ayu
terdiam tak tahu harus berkata apa.
“ibu
paham, tapi ibu mohon berpikirlah sejernih mungkin” suara ibu perlahan
menghilang di balik pintu rumah.
***
Ayu
baru saja lulus SMA, ia hanya bisa melihat temannya berangkat kuliah ke kota
dan pulang sebulan sekali ketika libur tiba. Pernikahan dini masih menjadi
mimpi buruk baginya. Harus menikah dengan lelaki yang ia tidak kenal. Dunia
begitu egois banginya, perjodohan masih menjadi tradisi di kampung yang tak bisa
terhindari meski zaman ini bukan lagi waktunya.
“
apa keputusanmu nak?” ibu menanyakan hal itu lagi.
“aku
ingin mengenalnya, Bu .” Ayu menunduk tak kuasa.
***
Angin
membawa Ayu ke negeri yang tak berpenghuni, hanya dia dan kegelisahan yang ada
di sana.
Hari
ini pertemuan pertamanya dengan Ryan, lelaki pilihan ibunya.
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
“
kamu Ayu”
“iya,
siapa?”
“aku
Ryan !”
“Oh
kamu.”
Mereka
duduk di kursi taman, tak ada suara kecuali riuh kendaraan lalu lalang di area
taman, untunglah cuaca begitu cerah, namun tidak dengan hatinya. Hati Ayu
berhasil terselimuti mendung yang berkepanjangan. Seiring tumbangnya matahari
di ufuk barat, sepucuk surat di tangan Ryan diselipkan di antara jemari Ayu.
“ini
apa?”
“baca
saja, bilang pada ibumu aku tak pernah memaksa kamu utnuk mencintaiku.”
***
Suara
jangkrik meramaikan sunyi malam, surat tadi sore menjadi tanda tanya besar di
benak Ayu. Perlahan dia membuka amplop putih itu, tak ada jejak tangan di
sampulnya.
Seperti
ini isinya
“untukmu
wanita yang masih bingung dengan keputusan akan hidup bersamaku kelak atau
tidak.
Aku
mengenalmu dari ayahku yang berteman baik dengan ibumu. Aku juga tak tahu
kenapa perjodohan harus menggenggam kita saat ini. Aku pusing dengan hal ini,
aku yakin kamu wanita yang baik, setelah kita bertemu atau tidak, aku telah
memantapkan hatiku untuk meminangmu.
Ayu...
Aku
serahkan semuanya denganmu, jawablah pertanyaan ibumu ketika kau telah siap
menjadi pelengkap tulang rusukku.
Aku
tak berani mengucap cinta saat ini, aku takut kau tak sudi dicintai oleh lelaki
sepertiku. Aku hanya bisa berkata semoga kelak kau akan mencintaiku.
Dari
calon pendampingmu, ketika kau telah tetapkan aku di hatimu, Ryan.”
***
Ayu
duduk seketika, merebahkan punggung yang sedari tadi menahan letih. Ada gores
senyum di wajahnya, sepertinya dia telah temukan jawabannya.
“ibu...ibu...”
ayu berteriak senang di teras rumah.
“iya
Nak” ibu berlari tergesa-gesa dari dalam rumah.
“ibu
aku telah siap dipinangnya”
“Ryan
maksudmu nak?”
“iya
bu. Ryan, calon suamiku” aku memantapkan hati.
Aku
sudah nyaman, sejak tatapan pertama, surat pertama dan dia adalah lelaki
pertama yang akan kusebut sebagai kekasih, lebih dari itu, dia akan kusebut
suamiku.
0 komentar:
Posting Komentar