Senin, 06 Oktober 2014

CALON MANTEN


Pagi menyapa, matahari disambut sejuk oleh ribuan tetes embun, sinarnya mulai menusuk-nusuk permukaan kulit Ayu yang sibuk menyapu halaman rumahnya. Ayu masih terngiang akan perkataan ibunya semalam. Sesekali ia palingkan pandang pada daun yang berguguran diterpa angin. Ayu masih delapanbelas tahun, usianya begitu muda untuk menikah. Namun permintaan ibunya semalam mengambil alih setengah konsentrasi berpikirnya.
“ bagaimana nak? Apa kamu bersedia menikah dengan Ryan?” suara ibu bersumber dari teras rumah panggung berumur puluhan tahun.
Ayu terdiam tak tahu harus berkata apa.
“ibu paham, tapi ibu mohon berpikirlah sejernih mungkin” suara ibu perlahan menghilang di balik pintu rumah.
***
Ayu baru saja lulus SMA, ia hanya bisa melihat temannya berangkat kuliah ke kota dan pulang sebulan sekali ketika libur tiba. Pernikahan dini masih menjadi mimpi buruk baginya. Harus menikah dengan lelaki yang ia tidak kenal. Dunia begitu egois banginya, perjodohan masih menjadi tradisi di kampung yang tak bisa terhindari meski zaman ini bukan lagi waktunya.
“ apa keputusanmu nak?” ibu menanyakan hal itu lagi.
“aku ingin mengenalnya, Bu .” Ayu menunduk tak kuasa.
***
Angin membawa Ayu ke negeri yang tak berpenghuni, hanya dia dan kegelisahan yang ada di sana.
Hari ini pertemuan pertamanya dengan Ryan, lelaki pilihan ibunya.
“assalamualaikum”
“waalaikumsalam”
“ kamu Ayu”
“iya, siapa?”
“aku Ryan !”
“Oh kamu.”
Mereka duduk di kursi taman, tak ada suara kecuali riuh kendaraan lalu lalang di area taman, untunglah cuaca begitu cerah, namun tidak dengan hatinya. Hati Ayu berhasil terselimuti mendung yang berkepanjangan. Seiring tumbangnya matahari di ufuk barat, sepucuk surat di tangan Ryan diselipkan di antara jemari Ayu.
“ini apa?”
“baca saja, bilang pada ibumu aku tak pernah memaksa kamu utnuk mencintaiku.”
***
Suara jangkrik meramaikan sunyi malam, surat tadi sore menjadi tanda tanya besar di benak Ayu. Perlahan dia membuka amplop putih itu, tak ada jejak tangan di sampulnya.
Seperti ini isinya

“untukmu wanita yang masih bingung dengan keputusan akan hidup bersamaku kelak atau tidak.
Aku mengenalmu dari ayahku yang berteman baik dengan ibumu. Aku juga tak tahu kenapa perjodohan harus menggenggam kita saat ini. Aku pusing dengan hal ini, aku yakin kamu wanita yang baik, setelah kita bertemu atau tidak, aku telah memantapkan hatiku untuk meminangmu.
Ayu...
Aku serahkan semuanya denganmu, jawablah pertanyaan ibumu ketika kau telah siap menjadi pelengkap tulang rusukku.
Aku tak berani mengucap cinta saat ini, aku takut kau tak sudi dicintai oleh lelaki sepertiku. Aku hanya bisa berkata semoga kelak kau akan mencintaiku.

Dari calon pendampingmu, ketika kau telah tetapkan aku di hatimu, Ryan.”

***
 
Ayu duduk seketika, merebahkan punggung yang sedari tadi menahan letih. Ada gores senyum di wajahnya, sepertinya dia telah temukan jawabannya.
“ibu...ibu...” ayu berteriak senang di teras rumah.
“iya Nak” ibu berlari tergesa-gesa dari dalam rumah.
“ibu aku telah siap dipinangnya”
“Ryan maksudmu nak?”
“iya bu. Ryan, calon suamiku” aku memantapkan hati.

Aku sudah nyaman, sejak tatapan pertama, surat pertama dan dia adalah lelaki pertama yang akan kusebut sebagai kekasih, lebih dari itu, dia akan kusebut suamiku.

0 komentar:

Posting Komentar