Senin, 06 Oktober 2014

BEDA



Hati ini masih miliknya, tepat ketika September resmi berlalu.

Aku tak pernah mengira akan sejauh ini menyimpan rasa, berhasil berjalan tanpa ada kepastian. Jika ini kusebut cinta, maka dari dulu akan ada senyum yang kutawarkan. Bukan sakit yang kupendam. Tanggal sembilan belas masih menjadi mimpi buruk, mimpi buruk untukku namun mungkin tidak untuknya. Setahun yang lalu di bulan Agustus, ia begitu manis dengan kata cintanya, aku dibuat melayang tak tahu ke lapisan langit ke berapa. Setahun kemudian sayapku berhasil dipatahkan, dan jatuh entah ke lapisan bumi ke berapa.
Namanya Fie, tiga deret huruf yang begitu fasih terlafalkan oleh lisanku, tanpa terbata-bata aku menyebutnya di setiap doa akhir shalatku.

Sebulan yang lalu kita masih sempat beribadah bersama-sama, tunaikan kewajiban kita kepada Tuhan kita masing-masing. Mereka bilang kita beda, aku menyapa tuhanku lewat lantunan ayat suci di kitabku, sementara dia dan rutinitas hari minggunya tak pernah kuanggap sebagai hal yang mengganggu untuk hubungan ini. Mereka bilang kita beda, tasbih kadang kugenggam, sementara salib di dadanya begitu setia. 

***
Di bawah silauan sinar jingga, aku termenung duduk di temani bisingnya angin sore.
“hapus air matamu !”suara itu mengancam.
“kamu? Kenapa lagi?”
“aku benci mata sembabmu, aku mohon jangan menangis, ini akan membuatku semakin sulit melepaskan kamu dan semuanya.” Dia berbalik badan.
“kenapa Fie, kamu yang inginkan ini bukan? “ aku memukul belakangnya, namun tak begitu keras. Jujur saja aku tak berani menyakitinya.
“siapa bilang aku yang inginkan ini? Kamu pikir mudah menjalani ini? Sebulan Win aku hanya bisa melihat kamu dari jauh, sebulan aku hanya bisa melihat kamu terus menangis. Kamu pikir gampang?” dia berbalik badan dan menatapku.

aku hanya bisa menangis tertunduk, aku tak sanggup menatapnya.
“lihat aku Win, apa ada cahaya mataku yang menandakan aku ingin menyakiti kamu? aku hanya ingin kita baik-baik saja, orang bilang kita beda Win, aku dan kamu tak bisa sejauh apapun, sebab akan ada benteng  yang besar menghalangi”
“benteng besar katamu? Tuhanmu sekejam itu ingin pisahkan kita?”
“bukan Winda !”
“lantas?”
“aku mencintaimu, sangat mencintaimu, tapi kamu harus tahu, sebagian orang memang ditakdirkan untuk hadir di hati kita, namun tidak untuk dimiliki, kamu salah satunya.”
“tidak dimiliki katamu? Semua sudah jelas. Kamu pergi dari sini ! pergi !” aku menggertak.

***
Di luar rumah masih gerimis, aroma basah tanah begitu menusuk indera penciumanku. Rintik hujan temani sepi, ingin sekali aku bermain dengan gerimis di luar sana, biar aku merasa bahwa aku tak merasakan kesendirian yang sendiri pula.

Di jendela kamar, aku tuliskan namanya. Laki-laki yang sejatinya masih aku cintai. Sulit aku jelaskan mengapa aku mencintainya begitu dalam sebab yang kutahui cinta memang tak selayaknya mendapat alasan.

“ada yang mencarimu Winda” suara ibu muncul dari balik pintu kamar.
“iya bu, aku segera keluar.”
Aku tinggalkan gerimis di ujung jendela, aku tinggalkan tulisan nama di kaca jendela yang belum selesai kutuntaskan.
“kamu mau apa ke sini lagi?” aku memasang wajah yang benci.
“boleh aku duduk dulu?”
“kita bicara di luar rumah saja !” aku jutek.
“kamu lihat gerimis di luar sana Win, di setiap rintiknya selalu tawarkan rindu akan dirimu. Setiap sejuknya ingatkan aku pada senyummu. Aku minta maaf untuk semuanya. Jika boleh akan kutebus semua air mata yang kau teteskan itu.” Fie mengiba.
“maksudnya?”
“ bolehkah jemariku menggenggam jemarimu lagi, bolehkah kita saling mengingatkan untuk saling beribadah lagi, dan terakkhir boleh aku menggandeng tanganmu berjalan terus hingga bisa melewati benteng perbedaan itu?”
“aku juga ingin bertanya, Fie. “
“apa Win?”
“ Bolehkan aku memelukmu untuk kali ini? Sebab esok pesawat akan membawaku pergi dari kota ini, pergi darimu dan kenangan ini?”
“kamu mau kemana?”
“aku kuliah di Bandung, aku akan pergi jauh dari benteng perbedaan itu.”
“jadi kamu tak ingin memperbaiki semuanya?”
“tentu saja aku ingin memperbaiki semuanya menjadi lebih baik. Jika cinta milik kita. Kelak kau kan temukan jawabnya di setiap doamu.”
“sejauh apapun, kau boleh bawa sebagian rasaku melayang, tapi jangan biarkan terlalu lama mengudara, aku takut rasa itu perlahan hilang dibawa angin. Aku mencintaimu Win.” Dia memelukku sangat erat.

0 komentar:

Posting Komentar