Hati ini masih
miliknya, tepat ketika September resmi berlalu.
Aku tak pernah mengira akan sejauh ini menyimpan
rasa, berhasil berjalan tanpa ada kepastian. Jika ini kusebut cinta, maka dari
dulu akan ada senyum yang kutawarkan. Bukan sakit yang kupendam. Tanggal
sembilan belas masih menjadi mimpi buruk, mimpi buruk untukku namun mungkin
tidak untuknya. Setahun yang lalu di bulan Agustus, ia begitu manis dengan kata
cintanya, aku dibuat melayang tak tahu ke lapisan langit ke berapa. Setahun
kemudian sayapku berhasil dipatahkan, dan jatuh entah ke lapisan bumi ke
berapa.
Namanya Fie, tiga deret huruf yang begitu fasih
terlafalkan oleh lisanku, tanpa terbata-bata aku menyebutnya di setiap doa
akhir shalatku.
Sebulan yang lalu kita masih sempat beribadah
bersama-sama, tunaikan kewajiban kita kepada Tuhan kita masing-masing. Mereka
bilang kita beda, aku menyapa tuhanku lewat lantunan ayat suci di kitabku,
sementara dia dan rutinitas hari minggunya tak pernah kuanggap sebagai hal yang
mengganggu untuk hubungan ini. Mereka bilang kita beda, tasbih kadang
kugenggam, sementara salib di dadanya begitu setia.
***
Di bawah silauan sinar jingga, aku termenung duduk
di temani bisingnya angin sore.
“hapus air matamu !”suara itu mengancam.
“kamu? Kenapa lagi?”
“aku benci mata sembabmu, aku mohon jangan menangis,
ini akan membuatku semakin sulit melepaskan kamu dan semuanya.” Dia berbalik
badan.
“kenapa Fie, kamu yang inginkan ini bukan? “ aku
memukul belakangnya, namun tak begitu keras. Jujur saja aku tak berani
menyakitinya.
“siapa bilang aku yang inginkan ini? Kamu pikir
mudah menjalani ini? Sebulan Win aku hanya bisa melihat kamu dari jauh, sebulan
aku hanya bisa melihat kamu terus menangis. Kamu pikir gampang?” dia berbalik
badan dan menatapku.
aku hanya bisa menangis tertunduk, aku tak sanggup
menatapnya.
“lihat aku Win, apa ada cahaya mataku yang menandakan
aku ingin menyakiti kamu? aku hanya ingin kita baik-baik saja, orang bilang
kita beda Win, aku dan kamu tak bisa sejauh apapun, sebab akan ada benteng yang besar menghalangi”
“benteng besar katamu? Tuhanmu sekejam itu ingin
pisahkan kita?”
“bukan Winda !”
“lantas?”
“aku mencintaimu, sangat mencintaimu, tapi kamu
harus tahu, sebagian orang memang ditakdirkan untuk hadir di hati kita, namun
tidak untuk dimiliki, kamu salah satunya.”
“tidak dimiliki katamu? Semua sudah jelas. Kamu
pergi dari sini ! pergi !” aku menggertak.
***
Di luar rumah masih gerimis, aroma basah tanah
begitu menusuk indera penciumanku. Rintik hujan temani sepi, ingin sekali aku
bermain dengan gerimis di luar sana, biar aku merasa bahwa aku tak merasakan
kesendirian yang sendiri pula.
Di jendela kamar, aku tuliskan namanya. Laki-laki
yang sejatinya masih aku cintai. Sulit aku jelaskan mengapa aku mencintainya
begitu dalam sebab yang kutahui cinta memang tak selayaknya mendapat alasan.
“ada yang mencarimu Winda” suara ibu muncul dari
balik pintu kamar.
“iya bu, aku segera keluar.”
Aku tinggalkan gerimis di ujung jendela, aku
tinggalkan tulisan nama di kaca jendela yang belum selesai kutuntaskan.
“kamu mau apa ke sini lagi?” aku memasang wajah yang
benci.
“boleh aku duduk dulu?”
“kita bicara di luar rumah saja !” aku jutek.
“kamu lihat gerimis di luar sana Win, di setiap
rintiknya selalu tawarkan rindu akan dirimu. Setiap sejuknya ingatkan aku pada
senyummu. Aku minta maaf untuk semuanya. Jika boleh akan kutebus semua air mata
yang kau teteskan itu.” Fie mengiba.
“maksudnya?”
“ bolehkah jemariku menggenggam jemarimu lagi,
bolehkah kita saling mengingatkan untuk saling beribadah lagi, dan terakkhir
boleh aku menggandeng tanganmu berjalan terus hingga bisa melewati benteng
perbedaan itu?”
“aku juga ingin bertanya, Fie. “
“apa Win?”
“ Bolehkan aku memelukmu untuk kali ini? Sebab esok
pesawat akan membawaku pergi dari kota ini, pergi darimu dan kenangan ini?”
“kamu mau kemana?”
“aku kuliah di Bandung, aku akan pergi jauh dari
benteng perbedaan itu.”
“jadi kamu tak ingin memperbaiki semuanya?”
“tentu saja aku ingin memperbaiki semuanya menjadi
lebih baik. Jika cinta milik kita. Kelak kau kan temukan jawabnya di setiap
doamu.”
“sejauh apapun, kau boleh bawa sebagian rasaku
melayang, tapi jangan biarkan terlalu lama mengudara, aku takut rasa itu
perlahan hilang dibawa angin. Aku mencintaimu Win.” Dia memelukku sangat erat.
0 komentar:
Posting Komentar