Kamis, 11 Desember 2014

SANGKAR KASTURI BUGIS



Suara gemercik air masih jelas mendayu-dayu hingga pagi ini. Puluhan anak sekolahan berlalu-lalang dengan gembiranya. Semangat bersekolah sudah mulai meningkat di kampung halaman, tanah bugis, tanah yang beradat.  Namun,  tidak dengan Ruhaya. Ruhaya masih saja duduk dengan mengoleksi khayal yang sejak semalam ia rangkai dalam mimpi. Gadis remaja tanah bugis ini merasa sangat bersedih. Keinginannya untuk melanjutkan pendidikannya  di kota Makassar harus ditentang oleh Puangnya. Mereka tidak mengizinkan Ruhaya ke kota, sebab mereka takut anaknya akan terpengaruh dengan pergaulan bebas dan akan memberikan siri’ kepada keluarganya.

“Puang, apakah keputusan itu masih bisa diubah?”  Ruhaya bertanya dengan air mata yang jatuh bersamaan dengan rintik hujan. Kampung ini memang sedang diguyur hujan yang berkepanjangan. Matahari tak pernah nampak sejak Jumat yang lalu. Ada yang berkata kalau hujan di hari Jumat, maka akan hujan selama tujuh hari berturut-turut. Berbicara tentang kebenarannya, akupun tak begitu paham.

“sekali Puang bilang tidak bisa yah tidak bisa. Percuma saja kamu merintih. Dengarkan apa kata Puangmu jika kamu ingin yang terbaik. Tugasmu sebagai wanita adalah menjadi wanita yang pintar memasak dan menjadi pelayan yang baik bagi suami dan anak-anakmu kelak. Tak usah bersekolah yang tinggi-tinggi. Setinggi apapun sekolahmu, toh kamu juga akan turun ke dapur.” Tutur Puangnya dengan tegas.
Kesedihan semakin tumbuh subur di raut wajah Ruhaya. Keinginannya untuk bersekolah lebih tinggi sama seperti teman sekampungnya harus berhenti seiring dengan teguran keras Puangnya.
***
Setahun berlalu dengan cepatnya, kesedihan Ruhaya terhapus seiring berjalannya waktu. Setahun ini,  ia hanya menghabiskan waktu untuk mengabdi kepada Puangnya dan menjadi wanita yang baik sesuai kehendak Puangnya. Malang sekali Ruhaya, bagai kasturi yang harus terkurung dalam sangkarnya. Hanya bisa dipandang dari jauh, tak ada yang berani menyentuh bahkan sampai harus membuka sangkarnya.
Kakak Ruhaya juga bernasib sama dengan Ruhaya, dua orang kakaknya harus mengenyam pendidikan hanya sampai di bangku SMA saja, selepas itu mereka langsung dinikahkan dengan lelaki yang bukan pilihan mereka. Jika berbicara tentang perasaan kepada Puang mereka, beliau hanya berkata bahwasanya perasaan itu bisa tumbuh seiring dengan adanya hubungan pernikahan di antara keduanya. Tapi terbukti, bahwa kedua kakak Ruhaya masih baik-baik saja dengan suami mereka.

Ruhaya juga akan mengalami hal yang sama dengan dengan kakaknya. Dinikahkan tanpa dasar cinta, namun hanya berlandaskan sudah pantaskan dui’ menre’ yang disediakan oleh si calon mempelai pria atau tidak.
Kasturi yang malang, ia hanya bisa lepas dari sangkar jika dui’ menre’ sudah pas di hati Puangnya.
***
“persiapkan dirimu esok, Nak. Ada seseorang pria yang ingin melamarmu.” Suara Puang tiba-tiba merambat dari depan pintu teras.
“apa Puang? Lamaran?” Ruhaya kaget sejadi-jadinya. Belum juga umurnya mencapai kepala dua. Tiba-tiba ia akan menjadi calon wanita yang akan berbadan dua. Ini di luar logika Ruhaya.
“iya” jawab puang santai.
“Puang...” panggil Ruhaya seraya mendekat ke Puangnya.
“puang, jujur aku belum siap.” Jawab Ruhaya mengiba.
“kakakmu juga punya alasan yang sama denganmu waktu dulu, tapi buktinya meraka menjalaninya tanpa kesiapan dan lihat mereka sekarang. Mapan dan berkecukupan untuk anak mereka. Apa kau tak mau seperti mereka?” Puang berusaha meyakinkan keraguan Ruhaya.

Ruhaya langsung saja berlari ke kamar dengan tersedu-sedu. Memang tak sopan meninggalkan orang tua sebelum ia selesai berbicara. Hal itu bukan termasuk adat yang baik. Tapi Ruhaya menanggalkan itu semua. Yang ia pikirkan hanya untuk hari esok.
Sungguh Ruhaya, si kasturi dalam sangkar yang malang.
***
Keesokan harinya, matahari mulai menyonsong dari timur. Semburat cahayanya menambah keriangan pakaian-pakaian basah yang sejak seminggu lalu lembab. Tapi tidak dengan keriangan si kasturi bugis yang satu ini, Ruhaya.
Pagi yang memikat, pukul sepuluh pagi. Lelaki yang dikatakan Puang semalam akan segera datang. Dipersiapkanlah segala macam kue untuk menyambut rombongan. Suara klakson mobil tiba-tiba mengagetkan orang-orang yang sibuk menata kue.
“tamu sudah datang, cepat rapikan” suara Puang terdengar hingga dalam kamar Ruhaya.
Seketika ruang tamu menjadi hening.
“mari silahkan duduk”
Dan dengan sendirinya tamu segera merapikan posisi duduk mereka. Setelah itu mulailah Puang dan pihak laki-laki membicarakan tentang dui’menre’. Lama benar perbincangan mereka. Saling nego dan lain-lain. Hingga tiba akhirnya, tamu pergi tanpa senyum yang begitu menggoda.
***
Peristiwa pagi tadi masih menghantui Ruhaya, tak terbayang olehnya jika harus menjadi seorang isteri secepat itu.
“Ruhaya, sini nak !” suara Puang memanggil di depan pintu kamar.
“iya Puang. Ada apa?” Ruhaya menjawab seadanya.
“lamaran lelaki itu tak jadi Puang terima.”
“ha? Kenapa Puang? Bukannya Puang yang bersikeras untuk menikahkan aku dengannya?” Ruhaya sedikit tampakkan senyum.
“Dui’ menre’nya tak sesuai keinginan Puang. Kau harus dibeli mahal, Ruhaya.”tegasnya.
“jadi Puang seperti menjadikan aku barang dagangan?”
“tidak begitu anakku. Tingginya dui’ menre’ bukan berati menjualmu layaknya barang. Siapapun boleh melamarmu. Asalkan saja dui’ menre’nya tinggi. Agar jika sewaktu-waktu ia berkeinginan berpisah denganmu, ia akan berpikir kalau dulu dia mendapatkan kau dengan susah payah, tidak segampang membalikkan telapak tangan.” Puang menjelaskan dengan serius.
“aku tak mengerti Puang. Terserah Puang sajalah. Aku pasrah saja. Semoga yang terbaik akan menyertaiku karena restu Puang. Urusan jodoh dan keberlangsungan hidupku, kuserahkan pada Puang. Semoga Puang bahagia.” Ruhaya mengakhiri percakapannya.
                                                                        ***      
Sungguh malang nasib kasturi bugis ini, terkurung dalam sangkar yang tak kunjung terbuka karena alasan adat dan siri’. Merindukan kebebasan untuk terbang sejauh mungkin, menikmati bahagia yang ia pilih, menemukan kasturi jantan untuk hidup bersama dalam sangkar, tanpa adanya tekanan dui’ menre’ tanpa ada siri’, ia hanya ingin hidup dengan cinta orang sekitarnya.
Di malam yang suntuk. Sudiang, 11 Desember 2014

1 komentar:

Unknown mengatakan...

ciaaa,, aku fansmu :D

Posting Komentar