Senin, 25 Agustus 2014

Rumah Tanpa Cinta




sampul facebook rumah cinta, sampul fesbuk rumah cinta, cover fb rumah cinta


Matahari sedang ganas-ganasnya membakar kulit. Uci tengah berjalan pulang ke rumah. Tempat yang biasa orang lain sebut sebagai istana tapi baginya laksana neraka. Maklum saja, sejak adik sematawayangnya meninggal, ibu dan ayahnya selalu bertengkar, saling menyalahkan satu sama lain atas peristiwa itu.
Sepanjang jalan memasuki kompleks perumahannya, Uci hanya bisa menyaksikan betapa gembiranya anak remaja sepertinya bisa bercanda dengan orang tuannya. Uci selalu saja iri. Tak jarang buliran air matanya menetes ke tanah pijakannya.
***
“assalamualaikum” ucapnya sambil membuka pintu rumahnya.

Tak ada jawaban, Uci memang sudah bisa menebak sampai kapanpun tak akan pernah ada yang menjawab salamnya. Uci terkadang iri pada Rani tetangganya. Pernah sekali dia berkunjung ke rumah Rani. Keadaan di sana jauh seratus delapan puluh derajat berbeda dengan rumahnya. Uci baru saja masuk ke halaman rumahnya. Ibu Rani sudah menunggu di teras rumah, seperti sudah hapal jam pulang sekolah anaknya. Uci tersenyum padanya dan Ibu Rani juga membalasnya.

“kapan ibu bisa tersenyum seperti itu padaku lagi?” rintihnya dalam hati.

“masuk nak” ibunya membuka pintu.
“iya bu. Ayo Uci kita masuk.” Rani menarik tanganku ke dalam rumah.
“mari silahkan makan” ibunya mempersilahkan aku duduk di meja makan rumahnya.
“ iya tante, terima kasih” 

Waktu menunjukkan pukul 14.00, memang jam makan siang sudah hampir berakhir. Uci duduk termenung.

“ibu, kapan ibu masak dan makan bersama denganku lagi, dengan ayah juga.” Rintihnya sekali lagi.

Tak ada yang kurang dari keluarga Rani, rumah yang penuh kehangatan cinta, rumah yang yang berdinding kasih sayang, beralaskan kehangatan, dan beratapkan cinta, siapapun yang berada di dalamnya akan selalu merasakan bahagia. Uci selalu berpikir, kapan rumahnya menjadi seperti itu.
Senja datang menyapa. Di celah jendela sinarnya yang lembut menerpa wajah lesu Uci dengan khidmat, perlahan angin sore menggelitiknya, matahari sebentar lagi akan tumbang ke barat, tak ada yang berani mengejarnya, sebab percuma karena tak ada yang tahu di mana Tuhan menyembunyikannya. Uci  masih saja berdiam di kamarnya. Membolak-balikkan album foto kecilnya.

“kalau seperti ini, rasanya aku ingin kecil terus, agar ibu selalu bisa menjagaku dan menyayangiku setiap saat” rintihnya lagi.

Ayah dan ibu Uci selalu sibuk bekerja, tak jarang Uci selalu merindukan mereka setiap saat, merindukan keluarga yang penuh cinta seperti dulu.
***
Uci tertidur menunggu ayah dan ibunya pulang. Lelap sekali tidurnya hingga hanya suara hentakan pintu yang begitu keras membangunkannya dari lelap. Uci seketika berlari menuju kamar ayah dan ibunya, lagi-lagi Uci harus mendengar semuanya, pertengkaran yang menjadi rutinitas kedua orang tuanya.

“stop” teriaknya
“Uci keluar kamu” ayahnya menggertak.
“ayah dan ibu kapan bisa berdamai dengan kenyataan. Kematian itu sudah Tuhan atur. Setiap yang bernyawa akan mengalami itu, termasuk kita. Tinggal tunggu waktu saja kapan tuhan utus malaikatnya menjemput kita. Jangan saling menyalahkan seperti itu” teriak Uci sambil berlinang air mata.
“kamu tidak tahu apa-apa” Ibunya menggertak.
“aku tahu Bu, aku tahu ibu yang dulu selalu menyayangi sekarang berubah menjadi ibu yang tidak peduli, ayah juga” Tunjuk Uci.

Kemarahan Uci mencapai puncaknya, ia muak dengan semuanya.

Ayah dan ibunya terdiam, Uci pun keluar dari kamar sambil membanting pintu amat kencang.Di kamarnya Uci menghapus sisa-sisa air matanya, di jendela kamar beberapa rintik hujan menghalangi pandang ke luar rumah, Uci menuliskan nama ayah dan ibunya di antara rintik itu.

“ayah ibu, kapan rumah kita punya cinta lagi? Kapan ayah dan ibu berdamai dengan kenyataan, aku lelah hidup di antara kegersangan, kapan rumah kita bisa berdinding kasih sayang, beralaskan kehangatan, beratapkan cinta  seperti rumah tetangga kita” Uci bertanya tanpa ada jawaban.


Sabtu, 23 Agustus 2014

Tulisan Perdana yang Terbit "LAUTAN PILU"

ini karya yang akan selalu jadi motivasi, setelah dua kali kirim naskah, akhirnya naskah yaang ketiga bisa terbit. bukan hanya hari ini, esok pasti akan terus terpacu untuk menulisnya.

Makassar, 23 Agustus 2014. ini buah dari kesabaran :)

Sabtu, 16 Agustus 2014

Lautan Pilu



aku tengah berpikir betapa dalamnya laut yang dia arungi tanpa adanya aku di sana, kencangnya ombak yang membawanya semakin jauh dari pelupuk mata, dan aku hanya berharap semoga kompasnya tak pernah salah menunjukkan arah jalan pulang ke tempatku setelah tugas berlayarnya selesai.  Dua minggu yang lalu, terakhir kali aku menggenggam tangannya di pelabuhan kota. Belum semenit di sana, nafasnya sudah tawarkan rindu. aku tak kuasa menahannya, sebelum dia resmi berlayar, tak ingin rasanya kulepas dekapanku padanya.

Namanya Rei, lelaki yang kutemui di dunia maya dan akhirnya nyata di duniaku sebenarnya. Lelaki yang sebagian waktunya disibukkan dengan berlayar, katanya itu bagian dari tugasnya. Dan aku harus memahami itu.

“Kapan Rei pulang?” suara Ibu mengagetkanku dari khayalan yang nyaris sempurna, khayalan tentang aku dan Rei.

“seminggu lagi, Bu.” Jawabku sambil membalikkan badan.

“cepat beritahu ibu kalau dia pulang yah !” serunya.

“memangnya kenapa, Bu?” 

“ayahmu ingin bertemu dengannya.”

“baiklah Bu” jawabku.
***
Aku duduk di teras rumah, memandangi mawar yang tak kunjung layu di musim kemarau. Sesekali kualihkan pandang ke arah senja. 

“Rei, senja ini yang selalu kita rindukan. Cepatlah pulang, aku tunggu di pelabuhan kota” kataku dalam pesan singkat, dengan harapan semoga pesan ini terbaca olehnya saat kapalnya bersandar entah di pelabuhan mana.
***
Hari ini adalah janji Rei ingin pulang, aku siapkan diriku yang sebentar lagi akan melepas rindu yang mendalam bersamanya, menghabiskan waktu di penghujung sore pinggir pantai sambil digelitik angin-angin pencumbu rindu. aku memejamkan mata sejenak, sempat kusisipkan doa, “semoga kita bisa bertemu”.
“hati-hati nak” kata ayah yang sedang asik mencicipi kopi hitam buatan ibu.

“baiklah ayah, aku akan bawa Rei kehadapan ayah” kataku dengan semangat.
Ayah hanya tersenyum, pertanda iya mengiyakan apa yang kukatakan.
***
Pelabuhan kota masih saja sama, setiap orang di pinggir pelabuhan seakan memupuk rindu entah itu rindu kepada sanak saudaranya atau bahkan kekasihnya, sama seperti aku. Berjarak beberapa  meter dari sandaran kapal, aku menunggu Rei sambil menikmati pemandangan apa saja yang tertangkap oleh mataku. Satu jam sudah aku duduk di sini tanpa balasan pesan singkat dari Rei. Aku melihat waktu di jam tanganku, jam yang diberikan Rei padaku dengan maksud agar aku tak pernah terlambat pulang.
***
 “Aku sudah sampai di rumah” pesan singkat Rei tiba-tiba masuk ke ponselku.

Tanpa pikir panjang, aku susul dia ke rumahnya. Sepanjang jalan senyumku tak pernah berkurang barang sesentipun. Kuluruskan rambutku agar terlihat rapi ketika bertemu dengannya.

Jalan masuk ke lorong Rei begitu ramai, seperti ada hajatan besar. Aku putuskan untuk turun dari taksi dan berjalan ke rumah Rei.

“permisi” aku menyelip diantara lautan manusia berbaju warna hitam.

“di mana Rei, Kak?” tangan kakak Rei langsung kugapai dan kuserbu dia dengan pertanyaan.
“masuklah, dia ada di dalam” katanya.

“baiklah kak, aku masuk dulu” gumamku. Aku sebenarnya menaruh rasa keanehan sedari tadi, mengapa semuanya berbaju hitam, rasa rinduku pada Rei membuat rasa ketidakpeduliaanku dengan keadaan sekitar meningkat.

Hanya ada peti yang ada di hadapanku, tidak ada Rei, tidak ada kekasihku yang aku tunggu. Sekelilingku hanya bisa berkata sabar. Aku tak berani melihatnya, aku takut apa yang daritadi aku khawatirkan akan segera menjadi nyata. Aku berjalan mundur, tak berani menatap peti itu.

“Rei mana, kak?” tanyaku sekali lagi.
“di hadapanmu, dia telah pulang. Beri penghormatan terakhirmu pada Rei” katanya.

Seketika menjadi sunyi, pada dasarnya semuanya memang bersal dari sunyi dan kesedihan. Rei benar-benar pulang, tapi kompasnya tak tunjukkan jalan pulang padaku, namun tunjukkan jalan pulang kepada Sang pencipta. Aku tak tahu harus menjadikan apa diriku setelah kepergian Rei. 

“Maaf ayah aku tak bisa mengenalkannya padamu.” 


Sabtu, 02 Agustus 2014

Pashmina Untuk Mama



“Berapa harga pashmina itu, Bu?” tanyaku kepada wanita yang kuduga umurnya sudah berkepala empat itu.
“duapuluh ribu, nak” jawabnya.

“masih bisa ditawar yah, Bu?” tanyaku dengan penuh harap.

“itu sudah harga pas, nak.”  Jawabnya dengan mematahkan harapku dalam hati.

Seminggu lagi ulang tahun Mama, aku tak punya banyak uang untuk menghadiahkannya sesuatu yang berharga, uangku hanya sepuluh ribu rupiah, untuk anak seusiaku dengan kondisi ekonomi seperti sekarang, uang itu sangatlah besar. Aku menabungnya hampir sebulan penuh, aku rela menahan dahaga dan laparku demi mengumpulkan uang itu.

Aku duduk di atas batu samping pasar tempat mama berdagang, seraya memikirkan apa yang harus kulakukan untuk mendapatkankan uang agar bisa menghadiahkan mama sebuah pashmina.

“Sarah, apa yang kamu lakukan di sini?” tegurnya.

Namanya Lili, teman sebangkuku di SMP Tunas Bangsa. Dia adalah anak seorang pemulung yang bekerja sebagai kuli angkat barang di pasar. Setidaknya aku lebih beruntung darinya, aku tak mesti bekerja sehabis pulang sekolah, sementara dia mau tak mau harus melakukan pekerjaan yang masih sangat berat dilakukan untuk anak seusia kami.

“aku bingung,Li. Seminggu lagi mamaku ulang tahun, uangku masih kurang  untuk membelikannya hadiah.” Keluhku.

“kamu mau uang? Ayo kerja bareng sama aku” tawarnya.

“memangnya bisa?” jawabku menantang.

“tentu saja, Ayo !” 

Ditariknya tanganku menuju ke dalam pasar, tapi aku tak ingin sampai dilihat mama, aku selalu menghindari tempat yang berdekatan dengan tempat jualan mama. Aku takut ketahuan sedang bekerja, mama bisa marah kalau tahu hal itu.

“hasilnya lumayan kan?” Tanya lili.

“iya” jawabku sambil megusap keringat.

Meski hanya mendapatkan duaribu limaratus rupiah saja, itu sudah sangat memuaskan.
Begitu susahnya mencari uang, aku baru mengerti sekarang, mengapa ibu selalu memintaku untuk berhemat.

***
Sudah tiga hari aku bekerja, uangku masih saja kurang. Aku perlu uang duaribu rupiah lagi. Kuyakinkan dalam hati, esok aku masih harus bekerja demi mama.

“ibu, mau saya bantu angkat belanjaannya?” tanyaku.
“boleh nak, silakan” jawab si ibu.
“tolong angkat ke motor ibu di sana yah” katanya sambil menunjuk sebuah motor.
“baik bu”

Disodorkannya dua lembar uang seribu rupiah untukku, aku dengan senang hati menerimanya.
“sekarang uangku sudah cukup” ucapku sambil menggendong belanjaan si ibu kearah motor.

***

“ibu, aku jadi beli pashmina yang kemarin aku tawar.” Kataku.
“oh, iya nak. Ini barangnya, semoga mamamu senang” jawabnya
Aku menyodorkan uang hasil kerja kerasku selama ini, aku merasa sangat senang.

***

Di depan rumah mama sudah bersantai, bidadari pemilik sugaku  sangat cantik di sore itu.

“kamu dari mana?” tanyanya.

“aku..aku ..aku “ jawabku terbata-bata.

“mama melihatmu di pasar, kamu jadi kuli nak? Memangnya mama tak mampu memberimu uang sehingga kamu harus bekerja?”

“bukan begitu ma”

“apanya yang bukan, cepat masuk ke kamar” perintahnya.

“mama marah?” tanyaku.

Mama  tak menghiraukan tanyaku, dia langsung masuk menuju dapur.

***

Hari ini tepat ulang tahun mama, sementara  itu mama masih saja marah padaku.
 Aku mengetuk pintu kamarnya.
 
“mama..” ucapku
“iya, mama mau tidur.” Jawab mama singkat.
“buka dulu pintunya mama” aku memohon.
“ada  apa? “
  aku tahu mama masih marah, tapi aku melakukan ini demi mama” aku meneteskan air mata.
“apa maksudmu nak?”
“selamat ulang tahu Ma, hanya sebuah pashmina pasaran yang bisa ku beriikan” ucapku sambil memberikan pashmina itu.

Mama terdiam sejenak lalu memelukku.

“terima kasih nak”
“jangan marah Ma, ini aku beli dengan uang yang kudapatkaan dari hasil kerja di pasar.”
“Mama tak marah, nak. Mama sangat menyayangimu, mama begini karena mama ingin kamu menjadi seorang pelajar  pintar bukan seorang pekerja di usia seremaja ini.

“aku mengerti Ma, sekali lagi selamat ulang tahun” aku memeluk mama.

coretan dua hari setelah Juli berlalu



Masih di sini,
Mengais-ngais masa lalu tentang kau yang begitu mudah tuk menyakiti.
Masih di sini,
Mengukir nama di atas batu tua yang tak berpenghuni.
Senja telah jauh berlari ke barat, jauh sebelum aku menulis ini.
Bermetamorfosa dengan segalanya, tentang bahagia yang kau ubah menjadi kepiluan.
Dalam gelap malam, lentera cinta seakan padam, kau mana mau tahu akan hal itu.
Yang kau tahu hanya berhenti sejenak, menggores luka, lalu pergi entah kemana.
Masih di sini,
Menghitung detik demi detik yang tak berujung
Menikmati semilir angin yang membawa rindu entah dari negeri mana.
Sudah berapa lama kita tak saling bersahutan.
Aku menyimpan rindu yang mendalam pada pemberi luka sepertimu.

Bodoh !
hanya satu kata.
Bodoh aku menunggumu setiap sore sebelum senja pergi.
Bodoh aku menunggumu merunut malam hingga mencapa sepertiganya.
Bodoh aku mengingatmu saat aku membuka mata.
Perkenalkan, ini aku si bodoh yang terbodohi olehmu.