Sabtu, 16 Agustus 2014

Lautan Pilu



aku tengah berpikir betapa dalamnya laut yang dia arungi tanpa adanya aku di sana, kencangnya ombak yang membawanya semakin jauh dari pelupuk mata, dan aku hanya berharap semoga kompasnya tak pernah salah menunjukkan arah jalan pulang ke tempatku setelah tugas berlayarnya selesai.  Dua minggu yang lalu, terakhir kali aku menggenggam tangannya di pelabuhan kota. Belum semenit di sana, nafasnya sudah tawarkan rindu. aku tak kuasa menahannya, sebelum dia resmi berlayar, tak ingin rasanya kulepas dekapanku padanya.

Namanya Rei, lelaki yang kutemui di dunia maya dan akhirnya nyata di duniaku sebenarnya. Lelaki yang sebagian waktunya disibukkan dengan berlayar, katanya itu bagian dari tugasnya. Dan aku harus memahami itu.

“Kapan Rei pulang?” suara Ibu mengagetkanku dari khayalan yang nyaris sempurna, khayalan tentang aku dan Rei.

“seminggu lagi, Bu.” Jawabku sambil membalikkan badan.

“cepat beritahu ibu kalau dia pulang yah !” serunya.

“memangnya kenapa, Bu?” 

“ayahmu ingin bertemu dengannya.”

“baiklah Bu” jawabku.
***
Aku duduk di teras rumah, memandangi mawar yang tak kunjung layu di musim kemarau. Sesekali kualihkan pandang ke arah senja. 

“Rei, senja ini yang selalu kita rindukan. Cepatlah pulang, aku tunggu di pelabuhan kota” kataku dalam pesan singkat, dengan harapan semoga pesan ini terbaca olehnya saat kapalnya bersandar entah di pelabuhan mana.
***
Hari ini adalah janji Rei ingin pulang, aku siapkan diriku yang sebentar lagi akan melepas rindu yang mendalam bersamanya, menghabiskan waktu di penghujung sore pinggir pantai sambil digelitik angin-angin pencumbu rindu. aku memejamkan mata sejenak, sempat kusisipkan doa, “semoga kita bisa bertemu”.
“hati-hati nak” kata ayah yang sedang asik mencicipi kopi hitam buatan ibu.

“baiklah ayah, aku akan bawa Rei kehadapan ayah” kataku dengan semangat.
Ayah hanya tersenyum, pertanda iya mengiyakan apa yang kukatakan.
***
Pelabuhan kota masih saja sama, setiap orang di pinggir pelabuhan seakan memupuk rindu entah itu rindu kepada sanak saudaranya atau bahkan kekasihnya, sama seperti aku. Berjarak beberapa  meter dari sandaran kapal, aku menunggu Rei sambil menikmati pemandangan apa saja yang tertangkap oleh mataku. Satu jam sudah aku duduk di sini tanpa balasan pesan singkat dari Rei. Aku melihat waktu di jam tanganku, jam yang diberikan Rei padaku dengan maksud agar aku tak pernah terlambat pulang.
***
 “Aku sudah sampai di rumah” pesan singkat Rei tiba-tiba masuk ke ponselku.

Tanpa pikir panjang, aku susul dia ke rumahnya. Sepanjang jalan senyumku tak pernah berkurang barang sesentipun. Kuluruskan rambutku agar terlihat rapi ketika bertemu dengannya.

Jalan masuk ke lorong Rei begitu ramai, seperti ada hajatan besar. Aku putuskan untuk turun dari taksi dan berjalan ke rumah Rei.

“permisi” aku menyelip diantara lautan manusia berbaju warna hitam.

“di mana Rei, Kak?” tangan kakak Rei langsung kugapai dan kuserbu dia dengan pertanyaan.
“masuklah, dia ada di dalam” katanya.

“baiklah kak, aku masuk dulu” gumamku. Aku sebenarnya menaruh rasa keanehan sedari tadi, mengapa semuanya berbaju hitam, rasa rinduku pada Rei membuat rasa ketidakpeduliaanku dengan keadaan sekitar meningkat.

Hanya ada peti yang ada di hadapanku, tidak ada Rei, tidak ada kekasihku yang aku tunggu. Sekelilingku hanya bisa berkata sabar. Aku tak berani melihatnya, aku takut apa yang daritadi aku khawatirkan akan segera menjadi nyata. Aku berjalan mundur, tak berani menatap peti itu.

“Rei mana, kak?” tanyaku sekali lagi.
“di hadapanmu, dia telah pulang. Beri penghormatan terakhirmu pada Rei” katanya.

Seketika menjadi sunyi, pada dasarnya semuanya memang bersal dari sunyi dan kesedihan. Rei benar-benar pulang, tapi kompasnya tak tunjukkan jalan pulang padaku, namun tunjukkan jalan pulang kepada Sang pencipta. Aku tak tahu harus menjadikan apa diriku setelah kepergian Rei. 

“Maaf ayah aku tak bisa mengenalkannya padamu.” 


0 komentar:

Posting Komentar