aku tengah berpikir
betapa dalamnya laut yang dia arungi tanpa adanya aku di sana, kencangnya ombak
yang membawanya semakin jauh dari pelupuk mata, dan aku hanya berharap semoga
kompasnya tak pernah salah menunjukkan arah jalan pulang ke tempatku setelah
tugas berlayarnya selesai. Dua minggu
yang lalu, terakhir kali aku menggenggam tangannya di pelabuhan kota. Belum semenit
di sana, nafasnya sudah tawarkan rindu. aku tak kuasa menahannya, sebelum dia resmi
berlayar, tak ingin rasanya kulepas dekapanku padanya.
Namanya Rei, lelaki
yang kutemui di dunia maya dan akhirnya nyata di duniaku sebenarnya. Lelaki yang
sebagian waktunya disibukkan dengan berlayar, katanya itu bagian dari tugasnya.
Dan aku harus memahami itu.
“Kapan Rei pulang?” suara
Ibu mengagetkanku dari khayalan yang nyaris sempurna, khayalan tentang aku dan
Rei.
“seminggu lagi, Bu.” Jawabku
sambil membalikkan badan.
“cepat beritahu ibu
kalau dia pulang yah !” serunya.
“memangnya kenapa, Bu?”
“ayahmu ingin bertemu
dengannya.”
“baiklah Bu” jawabku.
***
Aku duduk di teras
rumah, memandangi mawar yang tak kunjung layu di musim kemarau. Sesekali kualihkan
pandang ke arah senja.
“Rei, senja ini yang
selalu kita rindukan. Cepatlah pulang, aku tunggu di pelabuhan kota” kataku
dalam pesan singkat, dengan harapan semoga pesan ini terbaca olehnya saat
kapalnya bersandar entah di pelabuhan mana.
***
Hari ini adalah janji
Rei ingin pulang, aku siapkan diriku yang sebentar lagi akan melepas rindu yang
mendalam bersamanya, menghabiskan waktu di penghujung sore pinggir pantai
sambil digelitik angin-angin pencumbu rindu. aku memejamkan mata sejenak,
sempat kusisipkan doa, “semoga kita bisa bertemu”.
“hati-hati nak” kata
ayah yang sedang asik mencicipi kopi hitam buatan ibu.
“baiklah ayah, aku akan
bawa Rei kehadapan ayah” kataku dengan semangat.
Ayah hanya tersenyum,
pertanda iya mengiyakan apa yang kukatakan.
***
Pelabuhan kota masih
saja sama, setiap orang di pinggir pelabuhan seakan memupuk rindu entah itu
rindu kepada sanak saudaranya atau bahkan kekasihnya, sama seperti aku. Berjarak
beberapa meter dari sandaran kapal, aku
menunggu Rei sambil menikmati pemandangan apa saja yang tertangkap oleh mataku.
Satu jam sudah aku duduk di sini tanpa balasan pesan singkat dari Rei. Aku melihat
waktu di jam tanganku, jam yang diberikan Rei padaku dengan maksud agar aku tak
pernah terlambat pulang.
***
“Aku sudah sampai di rumah” pesan singkat Rei
tiba-tiba masuk ke ponselku.
Tanpa pikir panjang,
aku susul dia ke rumahnya. Sepanjang jalan senyumku tak pernah berkurang barang
sesentipun. Kuluruskan rambutku agar terlihat rapi ketika bertemu dengannya.
Jalan masuk ke lorong
Rei begitu ramai, seperti ada hajatan besar. Aku putuskan untuk turun dari
taksi dan berjalan ke rumah Rei.
“permisi” aku menyelip
diantara lautan manusia berbaju warna hitam.
“di mana Rei, Kak?”
tangan kakak Rei langsung kugapai dan kuserbu dia dengan pertanyaan.
“masuklah, dia ada di
dalam” katanya.
“baiklah kak, aku masuk
dulu” gumamku. Aku sebenarnya menaruh rasa keanehan sedari tadi, mengapa
semuanya berbaju hitam, rasa rinduku pada Rei membuat rasa ketidakpeduliaanku
dengan keadaan sekitar meningkat.
Hanya ada peti yang ada
di hadapanku, tidak ada Rei, tidak ada kekasihku yang aku tunggu. Sekelilingku hanya
bisa berkata sabar. Aku tak berani melihatnya, aku takut apa yang daritadi aku
khawatirkan akan segera menjadi nyata. Aku berjalan mundur, tak berani menatap
peti itu.
“Rei mana, kak?”
tanyaku sekali lagi.
“di hadapanmu, dia
telah pulang. Beri penghormatan terakhirmu pada Rei” katanya.
Seketika menjadi sunyi,
pada dasarnya semuanya memang bersal dari sunyi dan kesedihan. Rei benar-benar
pulang, tapi kompasnya tak tunjukkan jalan pulang padaku, namun tunjukkan jalan
pulang kepada Sang pencipta. Aku tak tahu harus menjadikan apa diriku setelah
kepergian Rei.
“Maaf ayah aku tak bisa
mengenalkannya padamu.”
0 komentar:
Posting Komentar