Penagih Rindu
Oleh Nurasiyah
Atas nama jarak yang
memisahkan, buku tempatku mencatat rindu, dan hutang rindu yang tak kunjung kau
bayar lunas.
air kolam ikan di taman masih sama saja jernihnya,
padahal sudah setahun lebih aku dan dia tak pernah jalan bersama memberi makan
ikan di taman. Setahun telah berlalu, buku catatan rinduku telah terpenuhi
namanya. Sampai sekarang ia tak juga datang melunasinya.
Namanya Dewa,
Lelaki yang telah mengutang rindu yang tak terhingga jumlahnya. Kami
harus terpisah karena alasan kuliah. Dia
sedang sibuk mendidik dirinya di kota Kembang, Bandung. Sementara aku harus diam berdiri dan menunggu sembari
mencatat-catat rindu yang ada di kota Daeng, Makassar. Jika cinta tak mengenal
jarak, maka aku pantasnya dilantik menjadi penikmat cinta yang begitu tabah.
Perindu yang tabah.
“seharusnya liburan semester ini Dewa harus pulang.”
Kataku.
“mungkin dia sibuk buat pementasannya Lala.” ungkap
Gea.
Gea adalah sahabatku sejak di bangku SMA. Dia selalu
menjadi pendengar setia ketika aku mulai kesal dengan jarak yang tak kunjung
menyerah. Malah aku yang dibuatnya menyerah. Jarak oh jarak.
“sudah tiga hari tak ada kabar. Seakan tak ada beban
saja. Masa hanya untuk berkabar saja tak bisa? Dia sesibuk apa sih?” aku
bertanya-tanya dan Gea terus saja menggelengkan kepala.
“itu buku apa, La?” tanyanya.
“bukan bukan apa-apa, Ge.”
“jangan bohong, coba aku lihat.”
“jangan Gea !” aku menolak. Dan Gea begitu kuat
untuk dikalahkan. Buku itu berhasil ia pegang. Dia mulai membuka lembar demi
lembar.
“buku tagihan rindu? Haha” ia tertawa
sejadi-jadinya. Aku saja hampir masuk dalam goa mulutnya.
“biar saja, hanya itu yang bisa kulakukan kalau lagi
kesal, Ge. Nanti kalau Dewa pulang, buku itu yang akan kuberikan untuknya. Biar
dia tahu seberapa banyak aku merindu selama ini.”
“lebay kamu, La!”
Aku bingung, apakah penikmat jarak harus diberikan
gelar lebay seperti itu? Setiap orang punya cara sendiri dalam hal memaknai
rindu. Jika berbicara cinta, tak ada yang bisa berkata, sebab hati yang
merasakan. Kata sebagian orang jika tidak lebay, bukan cinta namanya.
“sini kembalikan buku ku !” aku memaksa.
***
Matahari mulai tenggelam di sisi barat langit.
Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Senja masih saja pancarkan sinarnya.
Suara klakson di jalan raya masih terngiang-ngiang dari dalam kamarku. Kabar
dari Dewa belum juga mendarat di layar gadgetku.
Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku selalu saja mencoba mengalah, namun ia
masih acuh tak acuh seperti itu.
“Dewa…” seperti itu kataku dalam pesan singkat yang
baru saja kukirimkan.
Aku harus menunggu 7200 detik lamanya agar balasan
Dewa datang.
“aku sibuk, La. Nanti aku kabari.” Balasan yang
begitu kubenci.
Aku putuskan untuk tidak membalasnya. Amarahku
hampir saja pecah tepat pada saat selesai membaca balasan itu. Ini sudah resiko
yang mengharuskan aku mengiyakan semua apa yang menjadi perkataannya. Setahun
bukan hal yang mudah untuk menjadi perindu yang tabah. Mengalasankan jarak
sebagai sebuah pemakluman. Dan membiarkan hati yang termakan cemburu dan kesal
yang hampir setiap hari. Sempurnalah suka duka menjadi penikmat jarak dan
penangih rindu. Dengan sabarnya aku menutup malam dengan mencatat nama Dewa di
baris terakhir pada halaman terakhir buku ini. aku sudah tak tahan dengan
semuanya. Jarak berhasil mengalahkan semuanya.
Aku tak habis pikir, setahun sebelum Dewa pergi. Ia
selalu berkata “jangan pernah kalah dengan jarak, La.”. Lalu siapa yang kalah
sekarang. Dewa benar-benar mengujiku malam ini. gadgetku tiba-tiba berdering.
“Dewa” aku setengah senang dan setengah kesal saat
melihat ternyata Dewa yang menelepon. Aku tak mau mejawabnya. Biar dia tahu
bagaimana rasanya diabaikan. Hampir sepuluh kali gadgetku berdering. Aku tetap pada pendirianku.
***
Pagi yang cerah di awal Maret. Ingatanku mulai
tertutupi rasa kesal. Ternyata hari ini tepat dua tahunku bersama Dewa. Aku
berharap ada ucapan happy anniversary
darinya. Ternyata tidak sama sekali. Tak ada telepon dan tak ada pesan. Akhir
pekan yang begitu menyebalkan. Tak terasa pukul 01.01 siang. Angka yang kembar.
Katanya jika kita melihat angka yang kembar, maka ada seseorang yang sedang
merindukan kita. Dan orang itu pastinya bukan Dewa. Tak ada kesempatan merindu
bagi orang yang sesibuk dia.
Aku ke taman membawa buku tagihan rinduku. Tak ada
lagi tempat untuk menuliskan nama Dewa. Semalam adalah baris terakhir untuk
menulisnya. Aku berdiri di pinggir kolam ikan. Airrnya masih sejernih biasanya.
Jauh sebelum Dewa meninggalkan kota ini untuk terakhir kalinya.
“happy anniv
to you. Happy anniv to me. Happy anniv to you. Happy anniv to me” suara itu
seperti nada nyanyian selamat ulang tahun. Aku membalikkan badan.
“Dewa” aku kaget dan saking kagetnya, buku penangih
rinduku terjatuh.
“kamu kenapa ada di sini, Wa?”
“memangnya tidak boleh?”
“Yah, tidak sih. Kamu tahu dari mana kalau aku di
sini?”
“aku tadi ke rumahmu, terus kata ibu kamu ada di
taman. “
“kenapa gak bilang kalau mau pulang?”
“kenapa kamu gak ngangkat teleponku semalam?”
Aku tersipu malu. Dewa datang tanpa terduga
sebelumnya. Memberikan kejutan untuk dua tahun hubungan kami.
“kolamnya masih sama yah, La.”
“iya , kolamnya sama. Tapi ikannya sudah banyak
mati.” Aku tertawa.
“terima kasih untuk kesabaranmu selama dua tahun
ini, sayang. Aku tahu kamu hampir kalah dengan jarak. Tapi percayalah sibuk
bukan berarti aku melupakanmu.” Dewa menggenggam tangan sebelah kananku,
sementara tangan sebelah kiriku sibuk menggenggam buku tagihan rindu.
“maafkan aku hampir saja kalah dengan jarak, Dewa. kamu
tahu ini adalah saat yang paling kutunggu. Saat di mana kamu harus melunasi
rindu yang tercatat di buku tagihan rindu.”
“buku tagihan rindu? Jadi selama ini ada yang
rindunya sampai setebal ini?” Dewa mencubit hidungku hingga merah.
“tidak mau tahu, cepat tanda tangan di sini sebagai
bukti pelunasannya.” Aku kembali mecubit hidungnya.
Dewa menandatangani semua baris yang ada di buku itu.
Aku tak peduli seberapa lelahnya, yang jelas rinduku telah terbayarkan.
Jarak selalu punya cerita bagi cinta yang terpisah,
wajah yang tak selalu bertemu, rindu yang tak selalu bersua. Terima kasih telah
melantikku menjadi perindu yang begitu tabah. Aku semakin paham tentang
segalanya yang menyangkut kesabaran dalam hal menunggu.
Makassar, 2 Januari
2015
0 komentar:
Posting Komentar