Rabu, 21 Januari 2015

Penagih Rindu



 
Penagih Rindu
Oleh Nurasiyah

Atas nama jarak yang memisahkan, buku tempatku mencatat rindu, dan hutang rindu yang tak kunjung kau bayar lunas.
air kolam ikan di taman masih sama saja jernihnya, padahal sudah setahun lebih aku dan dia tak pernah jalan bersama memberi makan ikan di taman. Setahun telah berlalu, buku catatan rinduku telah terpenuhi namanya. Sampai sekarang ia tak juga datang melunasinya.
Namanya Dewa,  Lelaki yang telah mengutang rindu yang tak terhingga jumlahnya. Kami harus terpisah karena alasan  kuliah. Dia sedang sibuk mendidik dirinya di kota Kembang, Bandung. Sementara  aku harus diam berdiri dan menunggu sembari mencatat-catat rindu yang ada di kota Daeng, Makassar. Jika cinta tak mengenal jarak, maka aku pantasnya dilantik menjadi penikmat cinta yang begitu tabah. Perindu yang tabah.
“seharusnya liburan semester ini Dewa harus pulang.” Kataku.
“mungkin dia sibuk buat pementasannya Lala.” ungkap Gea.
Gea adalah sahabatku sejak di bangku SMA. Dia selalu menjadi pendengar setia ketika aku mulai kesal dengan jarak yang tak kunjung menyerah. Malah aku yang dibuatnya menyerah. Jarak oh jarak.
“sudah tiga hari tak ada kabar. Seakan tak ada beban saja. Masa hanya untuk berkabar saja tak bisa? Dia sesibuk apa sih?” aku bertanya-tanya dan Gea terus saja menggelengkan kepala.
“itu buku apa, La?” tanyanya.
“bukan bukan apa-apa, Ge.”
“jangan bohong, coba aku lihat.”
“jangan Gea !” aku menolak. Dan Gea begitu kuat untuk dikalahkan. Buku itu berhasil ia pegang. Dia mulai membuka lembar demi lembar.
“buku tagihan rindu? Haha” ia tertawa sejadi-jadinya. Aku saja hampir masuk dalam goa mulutnya.
“biar saja, hanya itu yang bisa kulakukan kalau lagi kesal, Ge. Nanti kalau Dewa pulang, buku itu yang akan kuberikan untuknya. Biar dia tahu seberapa banyak aku merindu selama ini.”
“lebay kamu, La!”
Aku bingung, apakah penikmat jarak harus diberikan gelar lebay seperti itu? Setiap orang punya cara sendiri dalam hal memaknai rindu. Jika berbicara cinta, tak ada yang bisa berkata, sebab hati yang merasakan. Kata sebagian orang jika tidak lebay, bukan cinta namanya.
“sini kembalikan buku ku !” aku memaksa.
***
Matahari mulai tenggelam di sisi barat langit. Burung-burung mulai kembali ke sarangnya. Senja masih saja pancarkan sinarnya. Suara klakson di jalan raya masih terngiang-ngiang dari dalam kamarku. Kabar dari Dewa belum juga mendarat di layar gadgetku. Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Aku selalu saja mencoba mengalah, namun ia masih acuh tak acuh seperti itu.
“Dewa…” seperti itu kataku dalam pesan singkat yang baru saja kukirimkan.
Aku harus menunggu 7200 detik lamanya agar balasan Dewa datang.
“aku sibuk, La. Nanti aku kabari.” Balasan yang begitu kubenci.
Aku putuskan untuk tidak membalasnya. Amarahku hampir saja pecah tepat pada saat selesai membaca balasan itu. Ini sudah resiko yang mengharuskan aku mengiyakan semua apa yang menjadi perkataannya. Setahun bukan hal yang mudah untuk menjadi perindu yang tabah. Mengalasankan jarak sebagai sebuah pemakluman. Dan membiarkan hati yang termakan cemburu dan kesal yang hampir setiap hari. Sempurnalah suka duka menjadi penikmat jarak dan penangih rindu. Dengan sabarnya aku menutup malam dengan mencatat nama Dewa di baris terakhir pada halaman terakhir buku ini. aku sudah tak tahan dengan semuanya. Jarak berhasil mengalahkan semuanya.
Aku tak habis pikir, setahun sebelum Dewa pergi. Ia selalu berkata “jangan pernah kalah dengan jarak, La.”. Lalu siapa yang kalah sekarang. Dewa benar-benar mengujiku malam ini. gadgetku tiba-tiba berdering.
“Dewa” aku setengah senang dan setengah kesal saat melihat ternyata Dewa yang menelepon. Aku tak mau mejawabnya. Biar dia tahu bagaimana rasanya diabaikan. Hampir sepuluh kali gadgetku berdering. Aku tetap pada pendirianku.
***
Pagi yang cerah di awal Maret. Ingatanku mulai tertutupi rasa kesal. Ternyata hari ini tepat dua tahunku bersama Dewa. Aku berharap ada ucapan happy anniversary darinya. Ternyata tidak sama sekali. Tak ada telepon dan tak ada pesan. Akhir pekan yang begitu menyebalkan. Tak terasa pukul 01.01 siang. Angka yang kembar. Katanya jika kita melihat angka yang kembar, maka ada seseorang yang sedang merindukan kita. Dan orang itu pastinya bukan Dewa. Tak ada kesempatan merindu bagi orang yang sesibuk dia.
Aku ke taman membawa buku tagihan rinduku. Tak ada lagi tempat untuk menuliskan nama Dewa. Semalam adalah baris terakhir untuk menulisnya. Aku berdiri di pinggir kolam ikan. Airrnya masih sejernih biasanya. Jauh sebelum Dewa meninggalkan kota ini untuk terakhir kalinya.
happy anniv to you. Happy anniv to me. Happy anniv to you. Happy anniv to me” suara itu seperti nada nyanyian selamat ulang tahun. Aku membalikkan badan.
“Dewa” aku kaget dan saking kagetnya, buku penangih rinduku terjatuh.
“kamu kenapa ada di sini, Wa?”
“memangnya tidak boleh?”
“Yah, tidak sih. Kamu tahu dari mana kalau aku di sini?”
“aku tadi ke rumahmu, terus kata ibu kamu ada di taman. “
“kenapa gak bilang kalau mau pulang?”
“kenapa kamu gak ngangkat teleponku semalam?”
Aku tersipu malu. Dewa datang tanpa terduga sebelumnya. Memberikan kejutan untuk dua tahun hubungan kami.
“kolamnya masih sama yah, La.”
“iya , kolamnya sama. Tapi ikannya sudah banyak mati.” Aku tertawa.
“terima kasih untuk kesabaranmu selama dua tahun ini, sayang. Aku tahu kamu hampir kalah dengan jarak. Tapi percayalah sibuk bukan berarti aku melupakanmu.” Dewa menggenggam tangan sebelah kananku, sementara tangan sebelah kiriku sibuk menggenggam buku tagihan rindu.
“maafkan aku hampir saja kalah dengan jarak, Dewa. kamu tahu ini adalah saat yang paling kutunggu. Saat di mana kamu harus melunasi rindu yang tercatat di buku tagihan rindu.”
“buku tagihan rindu? Jadi selama ini ada yang rindunya sampai setebal ini?” Dewa mencubit hidungku hingga merah.
“tidak mau tahu, cepat tanda tangan di sini sebagai bukti pelunasannya.” Aku kembali mecubit hidungnya.
Dewa menandatangani semua baris yang ada di buku itu. Aku tak peduli seberapa lelahnya, yang jelas rinduku telah terbayarkan.
Jarak selalu punya cerita bagi cinta yang terpisah, wajah yang tak selalu bertemu, rindu yang tak selalu bersua. Terima kasih telah melantikku menjadi perindu yang begitu tabah. Aku semakin paham tentang segalanya yang menyangkut kesabaran dalam hal menunggu.
Makassar, 2 Januari 2015


0 komentar:

Posting Komentar