Rabu, 31 Desember 2014

Penjahit Hati (arti sebuah kesetiaan)



Penjahit Hati
(arti sebuah kesetiaan)
Oleh Nurasiyah

Langit masih bermetamorfosa mengubah warnanya menjadi jingga, sinarnya menembus setiap celah kolong langit yang bolong. Di sebuah sudut langit yang tak pernah terjabah jingga, si penjahit hati ini sedang duduk di atas kursi berumur puluhan tahun sambil menjahit  hatinya. Menjahitnya dengan penuh kesabaran dan sesekali mengusap keringat yang berjatuhan seperti gerimis di bulan Desember. Dengan tekun ia menjahit dari sudut hatinya yang paling luka hingga benang yang melekat di jarumnya habis. Sengaja ia melakukannya agar jahitannya tak mudah lepas sehingga hatinya bisa tertutupi dalam waktu yang lama.
***
Sebaris cerita kehidupan pernah membuat hatinya luka. Hingga ia harus menjahit hatinya sendiri, sama halnya dengan menjahit sobekan yang ada di kemejanya. Mungkin hatinya terluka karena terlalu banyak cinta yang mengisi dan pergi begitu saja dengan menggores-goreskan tulisan “Aku menyesal pernah berada di dalam hati ini” di dinding hatinya dan goresan itu yang menghasilkan luka. Entah sudah berapa banyak tulisan seperti itu di dinding hatinya, dan entah sudah sebanyak apa luka yang harus ia tahan perihnya. Hingga ia memutuskan untuk menjahit hatinya sendiri agar tak ada lagi cinta yang mengisi dan pergi begitu saja.
***
Di suatu waktu, jauh sebelum ia menjahit hatinya sendiri. Lelaki ini adalah lelaki yang begitu mudah mencintai dan dicintai, sehingga begitu banyak cinta yang mengisi setiap minggu di sudut-sudut hatinya. Hingga cinta-cinta itu saling bertegur sapa di setiap sudut, dan cinta-cinta itu baru tersadar kalau ia berada di dalam satu hati yang sama, hanya si pemilik hati begitu pandai menyimpannya dalam sudut-sudut hati yang berbeda. Cinta-cinta itu terus menulis kata “Aku menyesal pernah berada di dalam hati ini” hingga si pemilik hati mengeluarkannya dari dalam hatinya.
“mau sampai kapan kau menjahit hatimu sendiri anak muda?” ibu peri berkata dengan tongkat mungil di genggamannya.
“sampai benang di jarum ini habis, peri.” Ucapnya sambil terus menjahit hatinya.
“sampai kapan pun benang itu takkan pernah habis anak muda, coba kau lihat ujungnya !”
“benang ini tak berujung peri”
“lantas kenapa kau terus menjahit, hentikan anak muda !”
“tidak ibu peri, aku akan terus menjahit hingga tak ada  satu celah pun tempat cinta untuk masuk” si penjahit hati masih saja berkeras kepala.
“dengar anak muda, kau akan menyesal telah menjahit hatimu sendiri.” Ibu peri menghilang meninggalkan pantulan suara yang terus menggema di ruangan sempit tempat lelaki itu menjahit hatinya sendiri.
***
Sudah berhari-hari penjahit hati itu duduk menjahit-jahit hatinya sendiri. Benang di tangannya tak pernah habis. Begitu nekatnya ia ingin menutup hatinya. Tak ada seorang wanita pun yang percaya tentang hatinya, karena ia begitu pandai menggombal dengan bibir yang tebal itu. Ada seorang wanita yang begitu membuat hatinya luka. Sebab wanita ia menulis kata  Aku menyesal pernah berada di dalam hati ini” dengan menggunakan jarum panas. Bagaimana tidak, lelaki penjahit hati ini sudah begitu tega mengambil keperawanan bibir mungil wanita itu. Tanpa rasa bersalah ia mengambil keperawanan bibir wanita lain setelahnya. Entah sudah berapa banyak bibir yang melekat di bibir tebalnya. Goresan yang begitu perih itu semakin membuat sakit hati lelaki itu.
Hingga suatu waktu, ia memutuskan untuk menjahit hatinya di taman. Mungkin ia sudah bosan berada di ruangan sempit dan hanya berteman kursi yang berumur puluhan tahun. Begitu banyak cintya yang berkeliling di taman itu, lelaki itu mulai menebarkan pesonanya. Sebuah cinta berhasil merebut perhatiannya hingga ia terhenti sebentar menjahit hatinya. Cinta ini berbeda dengan cinta yang pernah mengisi hatinya, ia begitu baik dengan sesamanya, Cinta  bisa datang karena hal yang sederhana. Lelaki itu menghampiri cinta itu dan berkenalan dengannya. cinta itu bertanya “sedang apa kau di sini?”
“aku sedang menikmati suasana sore di taman.” Lelaki ini tak jujur tentang hatinya yang terjahit. Ia ingin merasakan cinta seperti yang dulu. cinta yang bisa dirasakan juga oleh hati. Namun sekarang ia tak bisa. Karena hatinya sudah begitu lama ia jahit hingga tak ada celah untuk cinta itu masuk ke dalamnya.
***
Malam harinya, lelaki itu berupaya membuka jahitan hatinya kembali. Ia ingin merasakan cinta seperti dulu.
“aku sudah bilang anak muda. Jangan teruskan menjahit hatimu, sebab penyesalan akan segera datang padamu.” Ibu peri berkata dalam kesibukan lelaki itu menggunting benang yang terjahit.
“iya ibu peri, kalau begitu cepat bantu aku membuka jahitannya. Aku berjanji takkan menjahitnya lagi.” Lelaki ini memohon..
“baiklah, ini untukmu anak muda. Jangan pernah mengambil kesimpulan sendiri tentang cinta. Jangan suka mempermainkan cinta atau cinta itu yang akan membunuhmu sendiri.”
Ajaib !
Ini memang tugas ibu peri. Jahitan di hatinya pun terlepas. Esok sorenya lelaki itu menemui cinta itu di taman dan mengungkapkan rasa cintanya. Cinta itu begitu termakan rayuan gombal dari mulut tebal lelaki itu. Akhirnya hati lelaki itu kembali merasakan cinta di dalam hatinya. Belum cukup beberapa menit cinta itu masuk ke dalam hatinya, cinta itu bertanya “mengapa di dalam hatimu begitu banyak tulisan Aku menyesal pernah berada di dalam hati ini? apakah hatimu sejelek itu hingga semua cinta yang pernah ada di dalamnya merasakan penyesalan. Bukan hanya di satu sudut hati, hampir di semua sudutnya kutemui tulisan seperti itu. Lelaki itu terdiam, cinta itu akhirnya memilih keluar dari hati itu dan mencari hati yang baik tanpa goresan. Lelaki itu bingung harus berbuat apa, goresan di hati itu masih akan terus terukir sampai kapanpun. Lelaki itu kembali menjahit hatinya dan mengingkari janjinya pada ibu peri. Hingga akhir hayatnya, ia meninggalkan hati yang penuh goresan “ Aku menyesal pernah berada di dalam hati ini” dan tumpukan benang dan jarum yang tak pernah patah.
Pagi yang mendung, 1 Januari 2015

Selasa, 30 Desember 2014

kapan


ini tentang waktu yang tak tentu
juga tentang separuh hati yang belum sempurna di pengujung tahun
tak ketinggalan cerita tentang penyesalan
sesal akan ibadah yang tak beres
aurat yang sekali dua kali masih nampak
ketidak ikhhlasan menerima
hati yang tak sadar terlalu meninggi
hati yang tak sadar telah menyakiti
kapan?
tahun depan masihkah rotasi yang sama akan berputar di roda waktu yang selalu tawarkan atmosfer beda di setiap tanggalnya?

Setangkai Bunga yang Membenci Ribut



Setangkai Bunga yang Membenci Ribut
(Arti sebuah kesuksesan)
Hidup di pinggir jalan
Tak suka keributan
Salah sendiri mimpi tumbuh di pinggir jalan
Sekali-kali kau bunga yang harus berjalan
Meski tak berkaki
Bisa kau minta orang jalan memindahkanmu di bawah tanah
Siapa suruh tumbuh menjulang ke atas kalau tak ingin mendengar ribut
Coba tumbuh ke bawah
Kesepian akan melingkarimu bukan?

Sabtu, 27 Desember 2014

tulisan kelima yang terbit "Pengujung Tahun"

tulisan ke-5 yang terbit "Pengujung Tahun"

tulisan keempat yang terbit "Sangkar Kasturi Bugis"

tulisan ke-4 yang terbit
"Sangkar Kasturi Bugis"

Haruskah Andi? Mestikah Bugis?



Haruskah Andi? Mestikah Bugis?
oleh Nurasiyah
Sehari setelah wisudanya di kota Daeng, Andi Puteri sudah pulang ke kampung halamannya. Tanah bugis yang kental dengan adat untuk mengadakan acara syukuran atas keberhasilannya meraih gelar Sarjana Pendidikan di perguruan tinggi di Makassar.
“selamat Nak” kata Puang sambil mengelus-ngelus kepalaku.
“iya Puang, terima kasih.” Aku mencium tangan yang lebih dulu telah ia daratkan di atas kepalaku.
Kebahagiaan yang tiada akhirnya, semua sanak keluarganya berkumpul. Menurut mereka jarang  ada gadis desa seperti Andi Puteri yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang strata satu, karena sebagian dari gadis sebayanya sekarang sudah beranak satu atau dua sebab pernikahan yang terlalu dini.
Sebenarnya Andi Puteri hampir bernasib sama seperti mereka. Dipaksa nikah di usia yang terlalu dini. Harusnya di usia seperti itu otak harus dipaksa berpikir agar kelak menjadi orang yang ditinggikan di kampung, namun bukan hanya ditinggikan karena ada gelar Andi di awal nama, tapi juga karena gelar pendidikannya.
***
“kamu apa kabar Puteri?” begitulah pesan singkat Febri yang memaksa mata Andi Puteri bangun lebih dulu dari pada ayam jago kampung milik Puangnya.
“baik Feb. Kamu apa kabar?”
“baik juga Put. Aku sudah bekerja Put. Gajinya lumayan. Selepas wisuda aku langsung ditawarkan kerja oleh perusahaan asing di Makassar.”
“syukurlah Feb. Aku turut berbahagia.”
“janjiku akan segera kutepati Put. Setelah uangku cukup untuk menikahimu. Aku akan datang bersama ibu dan bapak ku ke rumahmu di kampung.”
“bekerjalah yang baik. Jika kita berjodoh, jalan itu pasti akan dipermudah oleh Tuhan.”
Febri adalah kekasih Andi Puteri sejak masa KKN berlangsung. Mereka dari jurusan yang berbeda namun memantapkan janji untuk menikah jika telah mapan nanti. Namun sekarang semua itu akan segera terwujud. Febri telah bekerja.
***
Malam yang tenang di hari Kamis. Terlihat sebagian ibu-ibu pengajian baru pulang Yasinan di mesjid kampung. Hal itu sudah menjadi tradisi sejak Andi Puteri kecil dulu. Waktu ini waktu yang tepat menurut Andi Puteri untuk memberitahukan Puangnya perihal hubungannya dengan Febri dan niat baik Febri untuk melamarnya setelah ia sudah mapan.
“Puang...” suara Andi Puteri memanja.
“iya, Nak. Ada apa?”
“Puang, kalau ada lelaki yang melamarku, apakah Puang mau menerimanya?”
“jelas Puang akan menerimanya kalau dia sesuai dengan kehendak Puang. Niat baik tidak boleh ditolak, tapi niat baik itu juga harus diiringi kesanggupan lelaki itu. Siapa nama lelaki itu Nak?”
“Febri Dewanta, Puang.” Jawabnya.
“dari suku mana dia?”
“suku Makassar Puang.” Aku menjawab seadanya saja, kusesuaikan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Puang.
“Makassar katamu? Kamu tidak boleh menikah dengan dia ! Dia berbeda suku dengan kita. Tak ada gelar Andi di awal namanya. Itu menandakan dia bukan dari kalangan bangsawan. Tidak seperti kita, Andi Puteri.”
“Puang ini kenapa? Segalanya harus berkiblat ke adat dan tradisi menikahkan sesama suku dan sesama bergelar Andi. Puang kebahagiaan anakmu ini tidak diukur dari situ Puang.”
“jangan membangkang Andi Puteri. Dengarkan apa yang Puang katakan.” Puang langsung beranjak masuk ke kamarnya.
Puang resmi menutup malam dengan tangis yang terpecah. Andi Puteri harus mengubur dalam-dalam niatnya untuk bersanding di pelaminan bersama Febri.
***
Andi Puteri harus menikah dengan sesama suku Bugis. Sebab Puangnya takut jika kebugisan mereka akan luntur jika menikah dengan lelaki yang tidak berasal dari suku Bugis juga. Adat seperti ini masih dijunjung tinggi. Tidak hanya itu, ketiadaan gelar Andi di awal nama Febri membuat Puang Andi Puteri sedikit meradang. Menurutnya tidak bisa ada pernikahan kalau lelaki itu tidak bergelar Andi. Karena Puang ingin melihat cucunya bergelar Andi sama seperti dirinya dan ibunya. Secara tidak langsung, jika lelaki tidak bergelar Andi maka garis keturunan Andi akan terhapus dengan sendirinya. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Puang Andi Puteri.
“Puang...”
“apalagi Andi Puteri?”
“perihal semalam Puang, apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi?”
“Nak, semua ini demi menjaga adat yang kita punya. Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan Bugis. Itulah yang adat kita.”
“tapi Puang...”
“kalau kamu tetap memaksa, Puang tak segan marah padamu. Kalau kamu tetap ingin menikah dengan Febri. Artinya kamu harus silariang dan saat itu kamu lakukan hubungan keluargamu dengan Puang, dan keluargamu yang lain akan putus. Kamu akan dibuang dari keluarga ini. Apa kamu mau Andi Puteri?”
Suasana hening menyibak malam yang dingin.
“jawab Andi Puteri ! Jawab Puang !” nada Puang mulai meninggi.
“tidak Puang. Aku tidak ingin dibuang dari keluarga ini.” Aku mematahkan alasanku untuk bertahan.
“kamu harus paham Nak. Adat kita harus dijaga. Sekali lagi Nak, Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan Bugis. Selamanya akan seperti itu, terkecuali bagi mereka yang mulai meninggalkan adat itu.”
Kisah Andi Puteri dengan lelaki tak bergelar Andi harus tutup buku karena adat dan tradisi, sebab jika tetap memaksa dampaknya Andi Puteri akan dibuang oleh keluarganya, tak diakui oleh orang tua dan keluarga. Sekali lagi Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan Bugis.

Pengujung Tahun



Pengujung Tahun
Oleh Nurasiyah
Atas nama malam-malam bahagia di beberapa hari terakhir di tahun ini
atas nama kembang api, petasan, dan terompet.
Setahun kemarin, tepat ketika angka satu kembali berlabuh di tahun yang baru. Saat itu kita baru saja mengenal lewat kembang api yang berubah kembang cinta. Tahun baru kemarin menyisakan selembar kisah yang belum selesai kau tuntaskan. Tahun ini, tahun tanpamu. Tanpa cinta yang selalu membuatku bersemi bukan hanya di hari-hari terakhir tahun tapi setiap harinya.
“Qi, kamu tahun baruan di mana?” tanya Virgo.
“tahun baru masih beberapa hari lagi, belum saatnya untuk dipikirkan.” Aku menjawab sambil membalas BBM teman.
“bilang saja kamu takut flashback.” Virgo tertawa mengejek
Aku terdiam, tak harus berkata apa. Memang benar apa yang dikatakan oleh Virgo. Aku masih suka berjalan di tempat. Yah... berjalan di kenangan yang tak terlupakan.
Rahayu. Kekasihku yang pergi sebelum aku bisa mengerti maksud baik yang tersembunyi dibalik kepergiannya. Bukan karena ia meninggalkanku. Namun ia begitu setia hingga Tuhan begitu rela mengambilnya secepat kembang api di tahun baru.
Belum juga cukup setahun aku dilantik menjadi kekasihnya. Ia telah meninggal karena sakit, sakit yang belum kutahu apa obatnya. Hingga ia meninggal dengan rasa sakit yang begitu menyiksa.
***
Sore itu kusiapkan bunga lili kesukaan Rahayu. Ku pakai kemeja yang pernah ia berikan saat ulang tahunku Juni lalu. Tak lupa kusediakan kembang api, terompet, dan petasan. Aku bukannya ingin merayakan tahun baru di atas pusara. Aku hanya ingin kembali menciptakan ruang di mana aku dan Rahayu pernah bertemu untuk pertama kalinya. Kupercepat langkahku menuju pintu masuk penguburan. Tiba-tiba saja Virgo memanggil dari belakang.
“Qi, berhenti. tunggu !”
“kenapa kamu ada di sini, biarkan aku bersama Rahayu hari ini saja Vir. Pliss” aku mengiba seiba-ibanya.
“sampai kapan mau begini terus? bawa bunga lili, kembang api, petasan, terompet setiap mau ke kuburan !” suaranya menggertak.
“kenapa Vir? Salah? hanya ini yang bisa kulakukan untuk Rahayu.”
“ jelas salah. Berlama-lama di masa lalu akan menghalangimu menjalani masa depan.”
“ini masih menjadi masa depan, dulu dan sekarang. Masih Rahayu yang menjadi penumpu semangat untuk menatap langit yang tak berwarna.
“terserah, selamat menikmati bahagia semu.” Virgo berlalu meninggalkan jejak.
Sesampai di pusara, kuusap penuh kasih pusaranya. Kusimpan bunga lili di dekatnya. Rahayu semakin cantik.  Kunyalakan kembang api dan kukelilingi pusaranya, ku biarkan petasan mewarnai langit di atas pusara, tak lupa terompet kutiupkan.
“lihat Yu, kita seperti ada di masa lalu. Masa di saat kau  dan aku bertemu.” Aku berbicara di pusaranya.
Menjelang tahun baru ini, maafkan aku yang selalu mengingat-ngingat cerita kita yang lalu. Tak ada maksudku yang tak baik kecuali aku hanya ingin membuatmu bahagia di sana.
Rumah tanpa cinta, 24 Desember 2014