Haruskah Andi?
Mestikah Bugis?
oleh Nurasiyah
oleh Nurasiyah
Sehari
setelah wisudanya di kota Daeng, Andi Puteri sudah pulang ke kampung
halamannya. Tanah bugis yang kental dengan adat untuk mengadakan acara syukuran
atas keberhasilannya meraih gelar Sarjana Pendidikan di perguruan tinggi di
Makassar.
“selamat
Nak” kata Puang sambil mengelus-ngelus kepalaku.
“iya
Puang, terima kasih.” Aku mencium tangan yang lebih dulu telah ia daratkan di
atas kepalaku.
Kebahagiaan
yang tiada akhirnya, semua sanak keluarganya berkumpul. Menurut mereka jarang ada gadis desa seperti Andi Puteri yang bisa
menyelesaikan pendidikan hingga jenjang strata satu, karena sebagian dari gadis
sebayanya sekarang sudah beranak satu atau dua sebab pernikahan yang terlalu
dini.
Sebenarnya
Andi Puteri hampir bernasib sama seperti mereka. Dipaksa nikah di usia yang
terlalu dini. Harusnya di usia seperti itu otak harus dipaksa berpikir agar
kelak menjadi orang yang ditinggikan di kampung, namun bukan hanya ditinggikan
karena ada gelar Andi di awal nama, tapi juga karena gelar pendidikannya.
***
“kamu
apa kabar Puteri?” begitulah pesan singkat Febri yang memaksa mata Andi Puteri
bangun lebih dulu dari pada ayam jago kampung milik Puangnya.
“baik
Feb. Kamu apa kabar?”
“baik
juga Put. Aku sudah bekerja Put. Gajinya lumayan. Selepas wisuda aku langsung
ditawarkan kerja oleh perusahaan asing di Makassar.”
“syukurlah
Feb. Aku turut berbahagia.”
“janjiku
akan segera kutepati Put. Setelah uangku cukup untuk menikahimu. Aku akan
datang bersama ibu dan bapak ku ke rumahmu di kampung.”
“bekerjalah
yang baik. Jika kita berjodoh, jalan itu pasti akan dipermudah oleh Tuhan.”
Febri
adalah kekasih Andi Puteri sejak masa KKN berlangsung. Mereka dari jurusan yang
berbeda namun memantapkan janji untuk menikah jika telah mapan nanti. Namun
sekarang semua itu akan segera terwujud. Febri telah bekerja.
***
Malam
yang tenang di hari Kamis. Terlihat sebagian ibu-ibu pengajian baru pulang
Yasinan di mesjid kampung. Hal itu sudah menjadi tradisi sejak Andi Puteri
kecil dulu. Waktu ini waktu yang tepat menurut Andi Puteri untuk memberitahukan
Puangnya perihal hubungannya dengan Febri dan niat baik Febri untuk melamarnya
setelah ia sudah mapan.
“Puang...”
suara Andi Puteri memanja.
“iya,
Nak. Ada apa?”
“Puang,
kalau ada lelaki yang melamarku, apakah Puang mau menerimanya?”
“jelas
Puang akan menerimanya kalau dia sesuai dengan kehendak Puang. Niat baik tidak
boleh ditolak, tapi niat baik itu juga harus diiringi kesanggupan lelaki itu.
Siapa nama lelaki itu Nak?”
“Febri
Dewanta, Puang.” Jawabnya.
“dari
suku mana dia?”
“suku
Makassar Puang.” Aku menjawab seadanya saja, kusesuaikan dengan pertanyaan yang
dilontarkan oleh Puang.
“Makassar
katamu? Kamu tidak boleh menikah dengan dia ! Dia berbeda suku dengan kita. Tak
ada gelar Andi di awal namanya. Itu
menandakan dia bukan dari kalangan bangsawan. Tidak seperti kita, Andi Puteri.”
“Puang
ini kenapa? Segalanya harus berkiblat ke adat dan tradisi menikahkan sesama
suku dan sesama bergelar Andi. Puang
kebahagiaan anakmu ini tidak diukur dari situ Puang.”
“jangan
membangkang Andi Puteri. Dengarkan apa yang Puang katakan.” Puang langsung
beranjak masuk ke kamarnya.
Puang
resmi menutup malam dengan tangis yang terpecah. Andi Puteri harus mengubur
dalam-dalam niatnya untuk bersanding di pelaminan bersama Febri.
***
Andi
Puteri harus menikah dengan sesama suku Bugis. Sebab Puangnya takut jika
kebugisan mereka akan luntur jika menikah dengan lelaki yang tidak berasal dari
suku Bugis juga. Adat seperti ini masih dijunjung tinggi. Tidak hanya itu,
ketiadaan gelar Andi di awal nama
Febri membuat Puang Andi Puteri sedikit meradang. Menurutnya tidak bisa ada
pernikahan kalau lelaki itu tidak bergelar Andi.
Karena Puang ingin melihat cucunya bergelar Andi
sama seperti dirinya dan ibunya. Secara tidak langsung, jika lelaki tidak
bergelar Andi maka garis keturunan Andi akan terhapus dengan sendirinya.
Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Puang Andi Puteri.
“Puang...”
“apalagi
Andi Puteri?”
“perihal
semalam Puang, apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi?”
“Nak,
semua ini demi menjaga adat yang kita punya. Andi harus bersanding dengan Andi.
Bugis harus bersanding dengan Bugis. Itulah yang adat kita.”
“tapi
Puang...”
“kalau
kamu tetap memaksa, Puang tak segan marah padamu. Kalau kamu tetap ingin
menikah dengan Febri. Artinya kamu harus silariang
dan saat itu kamu lakukan hubungan keluargamu dengan Puang, dan keluargamu yang
lain akan putus. Kamu akan dibuang dari keluarga ini. Apa kamu mau Andi
Puteri?”
Suasana
hening menyibak malam yang dingin.
“jawab
Andi Puteri ! Jawab Puang !” nada Puang mulai meninggi.
“tidak
Puang. Aku tidak ingin dibuang dari keluarga ini.” Aku mematahkan alasanku
untuk bertahan.
“kamu
harus paham Nak. Adat kita harus dijaga. Sekali lagi Nak, Andi harus bersanding dengan Andi.
Bugis harus bersanding dengan Bugis. Selamanya akan seperti itu, terkecuali
bagi mereka yang mulai meninggalkan adat itu.”
Kisah
Andi Puteri dengan lelaki tak bergelar Andi harus tutup buku karena adat dan
tradisi, sebab jika tetap memaksa dampaknya Andi Puteri akan dibuang oleh
keluarganya, tak diakui oleh orang tua dan keluarga. Sekali lagi Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan
Bugis.
0 komentar:
Posting Komentar