Sabtu, 27 Desember 2014

Haruskah Andi? Mestikah Bugis?



Haruskah Andi? Mestikah Bugis?
oleh Nurasiyah
Sehari setelah wisudanya di kota Daeng, Andi Puteri sudah pulang ke kampung halamannya. Tanah bugis yang kental dengan adat untuk mengadakan acara syukuran atas keberhasilannya meraih gelar Sarjana Pendidikan di perguruan tinggi di Makassar.
“selamat Nak” kata Puang sambil mengelus-ngelus kepalaku.
“iya Puang, terima kasih.” Aku mencium tangan yang lebih dulu telah ia daratkan di atas kepalaku.
Kebahagiaan yang tiada akhirnya, semua sanak keluarganya berkumpul. Menurut mereka jarang  ada gadis desa seperti Andi Puteri yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga jenjang strata satu, karena sebagian dari gadis sebayanya sekarang sudah beranak satu atau dua sebab pernikahan yang terlalu dini.
Sebenarnya Andi Puteri hampir bernasib sama seperti mereka. Dipaksa nikah di usia yang terlalu dini. Harusnya di usia seperti itu otak harus dipaksa berpikir agar kelak menjadi orang yang ditinggikan di kampung, namun bukan hanya ditinggikan karena ada gelar Andi di awal nama, tapi juga karena gelar pendidikannya.
***
“kamu apa kabar Puteri?” begitulah pesan singkat Febri yang memaksa mata Andi Puteri bangun lebih dulu dari pada ayam jago kampung milik Puangnya.
“baik Feb. Kamu apa kabar?”
“baik juga Put. Aku sudah bekerja Put. Gajinya lumayan. Selepas wisuda aku langsung ditawarkan kerja oleh perusahaan asing di Makassar.”
“syukurlah Feb. Aku turut berbahagia.”
“janjiku akan segera kutepati Put. Setelah uangku cukup untuk menikahimu. Aku akan datang bersama ibu dan bapak ku ke rumahmu di kampung.”
“bekerjalah yang baik. Jika kita berjodoh, jalan itu pasti akan dipermudah oleh Tuhan.”
Febri adalah kekasih Andi Puteri sejak masa KKN berlangsung. Mereka dari jurusan yang berbeda namun memantapkan janji untuk menikah jika telah mapan nanti. Namun sekarang semua itu akan segera terwujud. Febri telah bekerja.
***
Malam yang tenang di hari Kamis. Terlihat sebagian ibu-ibu pengajian baru pulang Yasinan di mesjid kampung. Hal itu sudah menjadi tradisi sejak Andi Puteri kecil dulu. Waktu ini waktu yang tepat menurut Andi Puteri untuk memberitahukan Puangnya perihal hubungannya dengan Febri dan niat baik Febri untuk melamarnya setelah ia sudah mapan.
“Puang...” suara Andi Puteri memanja.
“iya, Nak. Ada apa?”
“Puang, kalau ada lelaki yang melamarku, apakah Puang mau menerimanya?”
“jelas Puang akan menerimanya kalau dia sesuai dengan kehendak Puang. Niat baik tidak boleh ditolak, tapi niat baik itu juga harus diiringi kesanggupan lelaki itu. Siapa nama lelaki itu Nak?”
“Febri Dewanta, Puang.” Jawabnya.
“dari suku mana dia?”
“suku Makassar Puang.” Aku menjawab seadanya saja, kusesuaikan dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Puang.
“Makassar katamu? Kamu tidak boleh menikah dengan dia ! Dia berbeda suku dengan kita. Tak ada gelar Andi di awal namanya. Itu menandakan dia bukan dari kalangan bangsawan. Tidak seperti kita, Andi Puteri.”
“Puang ini kenapa? Segalanya harus berkiblat ke adat dan tradisi menikahkan sesama suku dan sesama bergelar Andi. Puang kebahagiaan anakmu ini tidak diukur dari situ Puang.”
“jangan membangkang Andi Puteri. Dengarkan apa yang Puang katakan.” Puang langsung beranjak masuk ke kamarnya.
Puang resmi menutup malam dengan tangis yang terpecah. Andi Puteri harus mengubur dalam-dalam niatnya untuk bersanding di pelaminan bersama Febri.
***
Andi Puteri harus menikah dengan sesama suku Bugis. Sebab Puangnya takut jika kebugisan mereka akan luntur jika menikah dengan lelaki yang tidak berasal dari suku Bugis juga. Adat seperti ini masih dijunjung tinggi. Tidak hanya itu, ketiadaan gelar Andi di awal nama Febri membuat Puang Andi Puteri sedikit meradang. Menurutnya tidak bisa ada pernikahan kalau lelaki itu tidak bergelar Andi. Karena Puang ingin melihat cucunya bergelar Andi sama seperti dirinya dan ibunya. Secara tidak langsung, jika lelaki tidak bergelar Andi maka garis keturunan Andi akan terhapus dengan sendirinya. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh Puang Andi Puteri.
“Puang...”
“apalagi Andi Puteri?”
“perihal semalam Puang, apakah tidak bisa dipertimbangkan lagi?”
“Nak, semua ini demi menjaga adat yang kita punya. Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan Bugis. Itulah yang adat kita.”
“tapi Puang...”
“kalau kamu tetap memaksa, Puang tak segan marah padamu. Kalau kamu tetap ingin menikah dengan Febri. Artinya kamu harus silariang dan saat itu kamu lakukan hubungan keluargamu dengan Puang, dan keluargamu yang lain akan putus. Kamu akan dibuang dari keluarga ini. Apa kamu mau Andi Puteri?”
Suasana hening menyibak malam yang dingin.
“jawab Andi Puteri ! Jawab Puang !” nada Puang mulai meninggi.
“tidak Puang. Aku tidak ingin dibuang dari keluarga ini.” Aku mematahkan alasanku untuk bertahan.
“kamu harus paham Nak. Adat kita harus dijaga. Sekali lagi Nak, Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan Bugis. Selamanya akan seperti itu, terkecuali bagi mereka yang mulai meninggalkan adat itu.”
Kisah Andi Puteri dengan lelaki tak bergelar Andi harus tutup buku karena adat dan tradisi, sebab jika tetap memaksa dampaknya Andi Puteri akan dibuang oleh keluarganya, tak diakui oleh orang tua dan keluarga. Sekali lagi Andi harus bersanding dengan Andi. Bugis harus bersanding dengan Bugis.

0 komentar:

Posting Komentar