Minggu, 14 Desember 2014

Desember Ceria



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjNA-6Snbha_fd7jIsDrtsDlAK886J8EtGYTRS3RCMnAxO-iRKmCJVNVSrE6G3L0KNlB71CG8QADkvS0vYddTj4UC-FPxMDcpocIxzVfje2004xLKBZf8gF38jGbGkZ9zIeQRQAo9R3nUU/s1600/desember+ceria.jpg
Atas nama separuh rinai yang masih mengalir deras di pelupuk matamu. Maafkan aku, atas segala kejengkelan yang kuciptakan, tentang amarahku yang tak kunjung mencapai titik kejelasan, hingga membuatmu memanen hujan air mata.
Suara hape tiba-tiba berbunyi di koridor kampus.
Kring...kring
“halo...” sapaku
“halo, Bee.”
“Kamu di mana? Pulang kampus kita ketemu di taman samping kantor jurusan yah.” Ajakku
“iyaa, Bee. Siap !”
***
Dosen mata kuliah umum hari ini baru saja beranjak dari ruang kelas. Sudah pukul empat sore. Tak ada tanda-tanda akan ada senja sore ini. Hanya ada gerimis yang terus menerus merintik di sepanjang jalan. Sesuai janjiku pada Dewi. Kami akan bertemu di taman. Kupermantap langkahku menuju ke sana tanpa menyimpan ragu, namun lebih menumbuhkan harap. Semoga saja, ada kejelasan hari ini. ada perubahan darinya, bukan soal kecantikannya, sebab sejak pertama mengenalnya, aku sudah mengaguminya tanpa melihat seberapa cantik dirinya.
“Bee, kamu sudah lama di sini?” aku menyapa seraya bertanya. Aku lebih akrab menyapanya Bee daripada Dewi, sebab Bee adalah panggilan kesayanganku padanya.
“lumayan Kak.”
Selama kami bertemu, kami hanya duduk berdiam-diaman. Ini yang tak kusuka darinya. Bukan hanya itu, sifatnya yang kekanak-kanakan membuatku serasa ingin mundur saja dalam menghadapinya. Hanya duduk berdiam, hingga akhirnya ia menyuruhku untuk beranjak. Dan tanpa pikir panjang, aku langsung saja pulang.
Sebagai seorang lelaki, kesabaranku sudah mulai mencapai akhirnya. Mungkin ini akibat pacaran dengan junior. Kekanak-kanakannya sering menguji hati.
***
Seminggu berlalu tanpa kesan, komunikasi antara kami berdua sudah bisa masuk hitungan jari dalam sehari, keengganan untuk menyapa lebih dulu, saling menunggu kabar dan diperhatikan. Entah siapa yang salah. Aku memutuskan untuk mengajaknya bertemu, aku juga gerah dengan hal seperti ini. Semalam, aku sudah bercerita dan berbagi sebagian kisahku dengan sahabat Dewi, dengan penuh harap semoga aku dan Dewi bisa kembali seperti dulu. Saling berkabar tanpa berpikir panjang, tak menaruh gengsi yang begitu lama, dan yang terpenting aku bisa tahu apa mau kami berdua.
***
Aku duduk bersebelahan dengannya, dengan rintik yang masih sibuk berjatuhan menyentuh tanah.
“Kak, aku....” belum sempat ia selesaikan kalimatnya, aku sudah mendahuluinya.
“aku sadar, akhir-akhir ini kita saling gengsi tuk berkabar, aku terlalu sibuk dan kamu kadang tak terlalu memahami itu, Bee.”
“iya kak, tapi sebagai wanita, setidaknya kamu beri kabar, meski itu hanya sekali dalam sehari. Jangan suka ngilang-ngilang. Kesannya kayak ada yang menjauh kak.”
“aku sadar Bee, tapi tolong ubah sifat kekanak-kanakan kamu, jangan cuma kamu yang mau diperhatikan, aku juga mau Bee. Aku juga punya hati, setidaknya pahamilah sedikit apa mau hati ini Bee.” Aku memelas.
Agak lama kami tertunduk diam tanpa bersuara, mungkin kami saling merenungkan kesalahan.
“aku salah kak, aku minta maaf. Mulai detik ini, aku upayakan segalanya akan berubah.”
“aku juga salah Bee, maafkan egoku. Kabar yang tak jelas dariku. Maaf.”
Kami berdua saling melempar senyum, saling berhadapan. Ini pertanda segalanya telah mencapai puncak kejelasan dan kedamaian hati kami berdua.
Atas nama hari-hari yang cukup melemahkan hati, semoga ini awal dan akhir kegengsian kita. Seiring menyambut Desember berada di tengah tanggalnya. Semoga Hadiah akhir tahun adalah kamu dan aku masih bisa menyalakan kembang api yang sama dan menyongsong tahun yang baru dengan senyum yang tetap sama. Senyum yang penuh kasih.
Rumah tanpa cinta, 10 Desember 2014

 

0 komentar:

Posting Komentar