Atas nama
separuh rinai yang masih mengalir deras di pelupuk matamu. Maafkan aku, atas
segala kejengkelan yang kuciptakan, tentang amarahku yang tak kunjung mencapai
titik kejelasan, hingga membuatmu memanen hujan air mata.
Suara hape tiba-tiba berbunyi di koridor kampus.
Kring...kring
“halo...” sapaku
“halo, Bee.”
“Kamu di mana? Pulang kampus kita ketemu di taman
samping kantor jurusan yah.” Ajakku
“iyaa, Bee. Siap !”
***
Dosen mata kuliah umum hari ini baru saja beranjak
dari ruang kelas. Sudah pukul empat sore. Tak ada tanda-tanda akan ada senja
sore ini. Hanya ada gerimis yang terus menerus merintik di sepanjang jalan.
Sesuai janjiku pada Dewi. Kami akan bertemu di taman. Kupermantap langkahku
menuju ke sana tanpa menyimpan ragu, namun lebih menumbuhkan harap. Semoga
saja, ada kejelasan hari ini. ada perubahan darinya, bukan soal kecantikannya,
sebab sejak pertama mengenalnya, aku sudah mengaguminya tanpa melihat seberapa
cantik dirinya.
“Bee, kamu sudah lama di sini?” aku menyapa seraya
bertanya. Aku lebih akrab menyapanya Bee daripada Dewi, sebab Bee adalah panggilan
kesayanganku padanya.
“lumayan Kak.”
Selama kami bertemu, kami hanya duduk
berdiam-diaman. Ini yang tak kusuka darinya. Bukan hanya itu, sifatnya yang
kekanak-kanakan membuatku serasa ingin mundur saja dalam menghadapinya. Hanya
duduk berdiam, hingga akhirnya ia menyuruhku untuk beranjak. Dan tanpa pikir
panjang, aku langsung saja pulang.
Sebagai seorang lelaki, kesabaranku sudah mulai
mencapai akhirnya. Mungkin ini akibat pacaran dengan junior. Kekanak-kanakannya
sering menguji hati.
***
Seminggu berlalu tanpa kesan, komunikasi antara kami
berdua sudah bisa masuk hitungan jari dalam sehari, keengganan untuk menyapa
lebih dulu, saling menunggu kabar dan diperhatikan. Entah siapa yang salah. Aku
memutuskan untuk mengajaknya bertemu, aku juga gerah dengan hal seperti ini.
Semalam, aku sudah bercerita dan berbagi sebagian kisahku dengan sahabat Dewi,
dengan penuh harap semoga aku dan Dewi bisa kembali seperti dulu. Saling
berkabar tanpa berpikir panjang, tak menaruh gengsi yang begitu lama, dan yang
terpenting aku bisa tahu apa mau kami berdua.
***
Aku duduk bersebelahan dengannya, dengan rintik yang
masih sibuk berjatuhan menyentuh tanah.
“Kak, aku....” belum sempat ia selesaikan
kalimatnya, aku sudah mendahuluinya.
“aku sadar, akhir-akhir ini kita saling gengsi tuk
berkabar, aku terlalu sibuk dan kamu kadang tak terlalu memahami itu, Bee.”
“iya kak, tapi sebagai wanita, setidaknya kamu beri
kabar, meski itu hanya sekali dalam sehari. Jangan suka ngilang-ngilang. Kesannya
kayak ada yang menjauh kak.”
“aku sadar Bee, tapi tolong ubah sifat
kekanak-kanakan kamu, jangan cuma kamu yang mau diperhatikan, aku juga mau Bee.
Aku juga punya hati, setidaknya pahamilah sedikit apa mau hati ini Bee.” Aku
memelas.
Agak lama kami tertunduk diam tanpa bersuara,
mungkin kami saling merenungkan kesalahan.
“aku salah kak, aku minta maaf. Mulai detik ini, aku
upayakan segalanya akan berubah.”
“aku juga salah Bee, maafkan egoku. Kabar yang tak
jelas dariku. Maaf.”
Kami berdua saling melempar senyum, saling
berhadapan. Ini pertanda segalanya telah mencapai puncak kejelasan dan
kedamaian hati kami berdua.
Atas nama hari-hari yang cukup melemahkan hati,
semoga ini awal dan akhir kegengsian kita. Seiring menyambut Desember berada di
tengah tanggalnya. Semoga Hadiah akhir tahun adalah kamu dan aku masih bisa
menyalakan kembang api yang sama dan menyongsong tahun yang baru dengan senyum
yang tetap sama. Senyum yang penuh kasih.
Rumah tanpa
cinta, 10 Desember 2014
0 komentar:
Posting Komentar