Selamat Bertambah Usia
(Mawar)
Oleh Nurasiyah
Atas nama danau,
penjual baju keliling, bunga mawar, sepucuk surat. Aku Iris, kekasihmu.
menuliskan ini untukmu.
Cahaya senja masih menyisakan sisa-sisa jingga di
batas penantian. Sengaja tak kutinggalkan tepian danau ini, dengan maksud
semoga bahagia itu bisa kembali terasa. Mataku sibuk mengikuti rerumputan yang
bergoyang ke kiri lalu ke kanan. Bunyi jangkrik resmi tenangkan malam. Tersisa aku
di pinggir danau ini. Memaksa hati mengais-ngais masa lalu. Masa yang
sebenarnya sangat sulit untuk dihapuskan barang semenit pun. Jam tangan resmi
bertandang tepat di pukul sembilan tanpa lewat semenit. Malam berlalu dengan
khidmat, dan aku harus segera pulang.
“becak mas?” senyum lelaki tua itu mulai merayu. Tapi
bukan senyum itu yang kurindukan sedari tadi.
“iya mas, ke jalan mawar yah.” Kataku sembari
mengambil posisi ternyaman di atas becak.
Jalanan kota masih ramai, malam ini malam minggu. Malam
yang panjang bagi setiap orang yang memiliki pasangan, tapi tidak denganku. Tadi
siang hujan sempat mengguyur kota ini, tapi hanya sebentar, setelahnya kembali
terik. Menyisakan aroma tanah yang
basah. Aroma yang selalu mengingatkanku pada Mawar, wanita yang setia mengisi
hatiku hingga sekarang.
Mawar. di antara wanita yang tercipta dengan
sempurna. Entah mengapa dia yang paling sempurna di mataku. Meski Tuhan telah
merenggut kaki sebelah kirinya, sehingga ia berjalan harus memakai tongkat. Namun aku tetap melihatnya sempurna. Sempurna
dengan segala kebaikan yang ia lakukan, kesabaran dalam menghadapiku, dan pengorbanannya
yang tak ternilai. Berawal dari setahun yang lalu, kecelakaan yang tak pernah
menjadi harapan, meskipun memang tak ada orang yang berharap celaka, tapi tidak
dengan Mawar. Ia dan segala
keberaniannya yang berani berlari di tengah jalan hanya untuk mengejar penjual
baju keliling. Baju itu rencananya akan diberikan padaku sebagai hadiah untuk
ulang tahun. Namun niat baiknya menjadi petaka. Dari arah yang berlawanan,
tiba-tiba mobil yang lain datang melesat dengan cepat. Seketika Mawar terlempar
beberapa meter dari tempat itu. Semenjak kejadian itu, kaki kirinya harus
diamputasi. Mawarku yang cantik ini tak bisa lagi berjalan tegak. Aku selalu
mencoba menenangkannya, rasa bersalah masih bergentanyangan di dalam pikiran. Aku hanya bisa menangis
sambil memegang tangannya.
“maafin aku, maafin aku” hanya kata itu yang mampu
terucap.
“tidak apa-apa Ris. Jangan nangis dong” jawabnya
dengan terbata-bata.
Sebulan ia di rumah sakit, harus rawat jalan pula
setelah mendapat izin pulang. Sebulan adalah waktu yang cukup untiuk meyakinkan
Mawar, bahwa meski dengan satu kaki, kita masih bisa melihat dunia
bersama-sama.
“sudah sampai mas” Tukang becak memutuskan cerita flashback
yang sedari tadi berusaha kuungkit lagi.
“Oh. Iya iya mas.” Aku turun saja lalu memberi uang
sebagai tanda terima kasih telah ia mengantarkanku ke depan rumah dengan
selamat.
***
“baru pulang nak? Ibu bertanya dari arah ruang tamu.
“iya ibu.”
“kamu dari danau lagi?” nada ibu sudah seperti
megejek.
“iya ibu”
“iya iya saja yang bisa kamu jawab. Cepat pergi
makan lalu istirahat.”
“iya ibu”
aku tak tahu harus berkata apalagi selain iya dan
iya. Separuh semangatku telah kupinjamkan pada Mawar, agar kekuatan semangatnya
bisa semakin bertambah di sana.
Malam makin larut, jangkrik masih bergantian
berbunyi. Aku masih saja terpaku di depan jendela. Masih setia
menghitung-hitung bintang yang bersinar. Sampai pagi pun itu tak selesai. Ya aku
paham tentang itu.
Tok...tok...
“iya masuk”
Pintu perlahan terbuka.
“Andre, kamu kok bisa di sini?” aku kaget
sejadi-jadinya melihat sahabatku yang baru saja pulang dari Bandung itu.
“jangan sekaget itulah Ris. Kau seperti melihat
hantu saja.”
Namanya Andre. Separuh cerita tentang Mawar menjadi
separuh bagian dari penyimpanan otaknya. Dia sahabatku sewaktu SMA bersama
Mawar. Hanya saja setahun yang lalu ia harus melanjutkan kuliahnya di kota
kembang.
“bagaimana Ris?”
“bagaimana apanya?”
“kamu dan Mawar?”
“masih dengan perasaan yang sama, Andre.” Aku menjawab
tenang.
“Sebulan setelah Mawar kembali ke rumah waktu itu,
penyakit mulai menggerogotinya satu per satu. Mungkin pengaruh cuaca dan
lingkungan sekitarnya juga. Mawar harus kembali berbaring di rumah sakit dengan
riwayat sakit yang berbeda dari sebelumnya. Malaria.” Aku mencoba mengingat-ngingatnya lagi.”
“tak usah kau ceritakan hal itu, aku sudah tahu
sejak lama bukan?”
‘Tuhan memang baik, menyediakan tempat yang baik pula
untuk Mawar beristirahat dengan tenang dan jauh dari kesakitan.” Aku berdalih lagi.
“capek aku bicara denganmu Ris. Aku mau tidur saja.”
Andre menutup badan dengan selimut.
Malam semakin larut dan aku masih setia terjaga
menjaga bintang. Esok tanggal 22, tanggal saat aku dan mawar harus bertemu dan
berpisah karena takdir. Malam itu, kupersiapkan baju termanisku agar esok bisa
bertemu dengannya. Tak lupa parfum yang beraroma jeruk. Mawar paling suka aroma
itu. Untuk kali pertama, aku menuliskan surat cinta untuknya. Begini bunyi
suratnya.
“untuk wanita
terkasihku, Mawar.
Apa kabar Mawar?
Semoga selalu baik kekasihku yang manja.
Aku masih rutin
ke danau, aku masih rutin memakai parfum beraroma jeruk kesukaanmu. Kau tahu
maksudku itukan? Agar aku bisa merasakan atmosfer saat kau selalu ada untukku.
Aku selalu
mengingatnya, kuharap kau juga masih mengingatnya di sana.
Oh iya. Andre baru
saja pulang dari Bandung. Kau masih kenal dia kan?
Kuharap iya. Hihihi
Mawar, aku
bingung harus memberikan apa untukmu. Apakah aku harus mengejar penjual baju
keliling seperti kamu dulu?. Oh tidak ! aku tak sanggup mengulang semua cerita
pedihmu. Maafkan aku Mawar. Sekali lagi maafkan aku.
Jika kau tak
keberatan, aku hanya bisa mengirimkanmu doa dari sini saja. Semoga kau
merasakannya. Ada hal penting yang harus kau tahu. Aku belum bisa mengosongkan
ruang di mana tempat kau selalu hidup. Aku belum bisa. Maafkan aku Mawar.”
***
Siang berangsur sore. Aku harus segera menemui Mawar
sebelum senja datang.
“Andre...aku pergi dulu” aku teriak dari pintu kamar
mandi.
“mau kemana?”
“ketemu mawar dong” aku segera berlari. Takut Andre
menyusulku.
Mawar, senja kita masih sama. Bercahaya di langit
kita yang sama. Hanya saja kita yang selalu mengintip lewat celah yang berbeda.
Sesampainya di sana, aku bertemu Mawar. Ia masih
saja seperti dulu. Rumput-rumput liar mulai merambat ke gundukan pusaranya. Aku
mencabutinya satu persatu. Menyusun rapi batu-batu di sekitarnya. Mengelus-ngelus
pusaranya. Lalu kusirami air dengan lembut. Kutaburkan bunga tujuh rupa agar ia
terlihat jauh lebih cantik dari sebelumnya. Kuletakkan setangkai Mawar untuk
Mawarku ini. Lalu kusisipkan suratnya.
“kamu apa kabar sayang? Baikkan?. Oh iya. Aku bawa
mawar serta surat ke sini. Jangan lupa dicium
dan dibaca yah sayang. Sayang, kamu nyium aroma parfum aku nggak? Harum kan?
Iyalah aku makin cakepkan sekarang? Tapi tetap saja, Mas yang cakep ini punya
Mawar seorang. Hihihi” aku bicara dengan Mawar. Maksudku Pusaranya.
Tanggal 22, masih menjadi hari teristimewa untukmu. Tepat
di hari ini, hari kau dilahirkan, hari dimana Tuhan mempertemukan dan
memisahkan kita dalam dunia yang berbeda. Dengan segala kasih sayang yang
selalu bertambah untukmu, aku hanya ingin mengungkapkan selamat untukmu. Selamat
bertambah usia kekasihku yang paling cantik dan sempurna. Terima kasih masih
menjadi kekasihku hingga akhir hayatmu. Maaf tak bisa memberi banyak untukmu. Terima
kasih untuk segalanya. Cinta, kasih, pengorbanan, setia, dan terpenting selamat
jalan kekasihku. Jujur dari dalam hatiku, aku belum bisa menerima maksud baik
Tuhan yang satu ini.
0 komentar:
Posting Komentar