Jumat, 19 Desember 2014

Selamat Bertambah Usia (Mawar)



Selamat Bertambah Usia
(Mawar)
Oleh Nurasiyah

Atas nama danau, penjual baju keliling, bunga mawar, sepucuk surat. Aku Iris, kekasihmu. menuliskan ini untukmu.

Cahaya senja masih menyisakan sisa-sisa jingga di batas penantian. Sengaja tak kutinggalkan tepian danau ini, dengan maksud semoga bahagia itu bisa kembali terasa. Mataku sibuk mengikuti rerumputan yang bergoyang ke kiri lalu ke kanan. Bunyi jangkrik resmi tenangkan malam. Tersisa aku di pinggir danau ini. Memaksa hati mengais-ngais masa lalu. Masa yang sebenarnya sangat sulit untuk dihapuskan barang semenit pun. Jam tangan resmi bertandang tepat di pukul sembilan tanpa lewat semenit. Malam berlalu dengan khidmat, dan aku harus segera pulang.
“becak mas?” senyum lelaki tua itu mulai merayu. Tapi bukan senyum itu yang kurindukan sedari tadi.
“iya mas, ke jalan mawar yah.” Kataku sembari mengambil posisi ternyaman di atas becak.
Jalanan kota masih ramai, malam ini malam minggu. Malam yang panjang bagi setiap orang yang memiliki pasangan, tapi tidak denganku. Tadi siang hujan sempat mengguyur kota ini, tapi hanya sebentar, setelahnya kembali terik.  Menyisakan aroma tanah yang basah. Aroma yang selalu mengingatkanku pada Mawar, wanita yang setia mengisi hatiku hingga sekarang.
Mawar. di antara wanita yang tercipta dengan sempurna. Entah mengapa dia yang paling sempurna di mataku. Meski Tuhan telah merenggut kaki sebelah kirinya, sehingga ia berjalan harus memakai  tongkat. Namun aku tetap melihatnya sempurna. Sempurna dengan segala kebaikan yang ia lakukan, kesabaran dalam menghadapiku, dan pengorbanannya yang tak ternilai. Berawal dari setahun yang lalu, kecelakaan yang tak pernah menjadi harapan, meskipun memang tak ada orang yang berharap celaka, tapi tidak dengan Mawar.  Ia dan segala keberaniannya yang berani berlari di tengah jalan hanya untuk mengejar penjual baju keliling. Baju itu rencananya akan diberikan padaku sebagai hadiah untuk ulang tahun. Namun niat baiknya menjadi petaka. Dari arah yang berlawanan, tiba-tiba mobil yang lain datang melesat dengan cepat. Seketika Mawar terlempar beberapa meter dari tempat itu. Semenjak kejadian itu, kaki kirinya harus diamputasi. Mawarku yang cantik ini tak bisa lagi berjalan tegak. Aku selalu mencoba menenangkannya, rasa bersalah masih bergentanyangan  di dalam pikiran. Aku hanya bisa menangis sambil memegang tangannya.
“maafin aku, maafin aku” hanya kata itu yang mampu terucap.
“tidak apa-apa Ris. Jangan nangis dong” jawabnya dengan terbata-bata.
Sebulan ia di rumah sakit, harus rawat jalan pula setelah mendapat izin pulang. Sebulan adalah waktu yang cukup untiuk meyakinkan Mawar, bahwa meski dengan satu kaki, kita masih bisa melihat dunia bersama-sama.
“sudah sampai mas” Tukang becak memutuskan  cerita flashback yang sedari tadi berusaha kuungkit lagi.
“Oh. Iya iya mas.” Aku turun saja lalu memberi uang sebagai tanda terima kasih telah ia mengantarkanku ke depan rumah dengan selamat.
***
“baru pulang nak? Ibu bertanya dari arah ruang tamu.
“iya ibu.”
“kamu dari danau lagi?” nada ibu sudah seperti megejek.
“iya ibu”
“iya iya saja yang bisa kamu jawab. Cepat pergi makan lalu istirahat.”
“iya ibu”
aku tak tahu harus berkata apalagi selain iya dan iya. Separuh semangatku telah kupinjamkan pada Mawar, agar kekuatan semangatnya bisa semakin bertambah di sana.
Malam makin larut, jangkrik masih bergantian berbunyi. Aku masih saja terpaku di depan jendela. Masih setia menghitung-hitung bintang yang bersinar. Sampai pagi pun itu tak selesai. Ya aku paham tentang itu.
Tok...tok...
“iya masuk”
Pintu perlahan terbuka.
“Andre, kamu kok bisa di sini?” aku kaget sejadi-jadinya melihat sahabatku yang baru saja pulang dari Bandung itu.
“jangan sekaget itulah Ris. Kau seperti melihat hantu saja.”
Namanya Andre. Separuh cerita tentang Mawar menjadi separuh bagian dari penyimpanan otaknya. Dia sahabatku sewaktu SMA bersama Mawar. Hanya saja setahun yang lalu ia harus melanjutkan kuliahnya di kota kembang.
“bagaimana Ris?”
“bagaimana apanya?”
“kamu dan Mawar?”
“masih dengan perasaan yang sama, Andre.” Aku menjawab tenang.
“Sebulan setelah Mawar kembali ke rumah waktu itu, penyakit mulai menggerogotinya satu per satu. Mungkin pengaruh cuaca dan lingkungan sekitarnya juga. Mawar harus kembali berbaring di rumah sakit dengan riwayat sakit yang berbeda dari sebelumnya. Malaria.”  Aku mencoba mengingat-ngingatnya lagi.”
“tak usah kau ceritakan hal itu, aku sudah tahu sejak lama bukan?”
‘Tuhan memang baik, menyediakan tempat yang baik pula untuk Mawar beristirahat dengan tenang dan jauh dari kesakitan.”  Aku berdalih lagi.
“capek aku bicara denganmu Ris. Aku mau tidur saja.” Andre menutup badan dengan selimut.
Malam semakin larut dan aku masih setia terjaga menjaga bintang. Esok tanggal 22, tanggal saat aku dan mawar harus bertemu dan berpisah karena takdir. Malam itu, kupersiapkan baju termanisku agar esok bisa bertemu dengannya. Tak lupa parfum yang beraroma jeruk. Mawar paling suka aroma itu. Untuk kali pertama, aku menuliskan surat cinta untuknya. Begini bunyi suratnya.
“untuk wanita terkasihku, Mawar.
Apa kabar Mawar? Semoga selalu baik kekasihku yang manja.
Aku masih rutin ke danau, aku masih rutin memakai parfum beraroma jeruk kesukaanmu. Kau tahu maksudku itukan? Agar aku bisa merasakan atmosfer saat kau selalu ada untukku.
Aku selalu mengingatnya, kuharap kau juga masih mengingatnya di sana.
Oh iya. Andre baru saja pulang dari Bandung. Kau masih kenal dia kan?
Kuharap iya. Hihihi
Mawar, aku bingung harus memberikan apa untukmu. Apakah aku harus mengejar penjual baju keliling seperti kamu dulu?. Oh tidak ! aku tak sanggup mengulang semua cerita pedihmu. Maafkan aku Mawar. Sekali lagi maafkan aku.
Jika kau tak keberatan, aku hanya bisa mengirimkanmu doa dari sini saja. Semoga kau merasakannya. Ada hal penting yang harus kau tahu. Aku belum bisa mengosongkan ruang di mana tempat kau selalu hidup. Aku belum bisa. Maafkan aku Mawar.”
***
Siang berangsur sore. Aku harus segera menemui Mawar sebelum senja datang.
“Andre...aku pergi dulu” aku teriak dari pintu kamar mandi.
“mau kemana?”
“ketemu mawar dong” aku segera berlari. Takut Andre menyusulku.
Mawar, senja kita masih sama. Bercahaya di langit kita yang sama. Hanya saja kita yang selalu mengintip lewat celah yang berbeda.
Sesampainya di sana, aku bertemu Mawar. Ia masih saja seperti dulu. Rumput-rumput liar mulai merambat ke gundukan pusaranya. Aku mencabutinya satu persatu. Menyusun rapi batu-batu di sekitarnya. Mengelus-ngelus pusaranya. Lalu kusirami air dengan lembut. Kutaburkan bunga tujuh rupa agar ia terlihat jauh lebih cantik dari sebelumnya. Kuletakkan setangkai Mawar untuk Mawarku ini. Lalu kusisipkan suratnya.
“kamu apa kabar sayang? Baikkan?. Oh iya. Aku bawa mawar serta surat ke sini. Jangan lupa dicium  dan dibaca yah sayang. Sayang, kamu nyium aroma parfum aku nggak? Harum kan? Iyalah aku makin cakepkan sekarang? Tapi tetap saja, Mas yang cakep ini punya Mawar seorang. Hihihi” aku bicara dengan Mawar. Maksudku Pusaranya.
Tanggal 22, masih menjadi hari teristimewa untukmu. Tepat di hari ini, hari kau dilahirkan, hari dimana Tuhan mempertemukan dan memisahkan kita dalam dunia yang berbeda. Dengan segala kasih sayang yang selalu bertambah untukmu, aku hanya ingin mengungkapkan selamat untukmu. Selamat bertambah usia kekasihku yang paling cantik dan sempurna. Terima kasih masih menjadi kekasihku hingga akhir hayatmu. Maaf tak bisa memberi banyak untukmu. Terima kasih untuk segalanya. Cinta, kasih, pengorbanan, setia, dan terpenting selamat jalan kekasihku. Jujur dari dalam hatiku, aku belum bisa menerima maksud baik Tuhan yang satu ini.

0 komentar:

Posting Komentar