Suara kokok ayam dari luar rumah sukses membangunkanku dari
mimpi yang seakan tak ingin ku tahu ujungnya. Senin pagi, aku bangun terlambat
karena semalam aku menghabiskan waktu di depan komputer untuk menyelesaikan
tugas akhir semester. Aku ke sekolah dengan kondisi yang serba mendadak, baju
putih dan rok abu-abu yang belum disetrika, sepatu yang belum di semir. Perut
ku pun lupa ku beri jatah makan pagi.
“semoga saja keberuntungan berpihak padaku hari ini.” Ucapku
setelah sampai di parkiran motor sekolah.
Aku berjalan menyusuri koridor dekat ruangan guru,
mengendap-ngendap masuk layaknya orang yang sedang mencari sesuatu. Upacara
sekolah sudah dimulai, aku bingung harus ke arah mana agar bisa masuk ke arah
barisan.
“mau kemana kamu?” seseorang menepuk pundakku dari belakang.
Aku kaget dengan tegurannya. Tanpa berbalik badahn aku menjawab tanpa
melihatnya.
“ii…nii Pak, mau. Mau ke toilet Pak.” Jawabku dengan nada
yang gugup. Entah harus ku atur bagaimana lagi suaraku ini, dari nada do re mi
fa so la si dan seakan tak ingin kembali ke do lagi. Saking gugupnya aku.
“apa katamu, Bapak? Kumis pun aku tak punya, jangan
seenaknya panggil bapak-bapak kamu ini !”
“eh, maaf kak Den. Aku pikir kakak itu pak satpam sekolah.”
Jawabku setelah membalikkan badan ke hadapannya.
“kamu terlambat juga yah?” tanyanya.
“iya kak, aku mau masuk ke barisan tapi bingung caranya
bagaimana.”
“halah kamu ini, sini ikut aku !” dia menarik-tanganku.
Entah mengapa ada perasaan yang berbunga-bunga di hatiku,
serasa hati ini sudah seperti taman yang di penuhi oleh warna bunga. Duniaku
teralihkan kepada matanya. Dia Denting, kakak kelasku. Seorang cowok yang
hobinya menghabiskan waktu di lapangan kecil di sekolah untuk bermain bola. Aku
merasa terpikat pertama kali saat melihatnya bermain bola pada saat jam
istirahat sekolah. Auranya begitu memikat. Banyak teman sekelasku yang suka
padanya. Namun semuanya terpatahkan ketika aku tahu kalau kak Denting ini sudah
milik kak Dena, kakak kelasku juga. Entah apa yang ku rasakan saat ini, cemburu
pun aku tak bisa, dia bukan siapa-siapa ku. Tiba-tiba bunyi bel sekolah
menyadarkan aku akan lamunan di barisan upacara ini.
“Cin, ayo masuk kelas ibu Jina sudah di ambang pintu kantor”
panggil sahabatku yang bernama Desi.
“iya, kamu duluan aja. Aku mau ke kantin beli minuman dulu”
jawabku
“ok, duluah yah, dah !”
“dah” sambil mengangkat lima jariku.
Kadang kala jatuh cinta tapi sembunyi-sembunyi itu tak ada
habisnya. Menjelma sebagai seorang layaknya detektif mencari-cari setiap
jejaknya di setiap sudut sekolah. Dan hanya bisa merangkulnya lewat langit
biru, membiarkan hujan membasuh wajahnya dengan lembut, merangkulnya dalam doa
dengan maksud agar dia menyadari bahwa ada cinta yang sedang menunggunya. Cinta
itu dipilih, aku memilihnya karena hanya dia yang mampu membuatku seperti ini.
Menjadi semangat ke sekolah. Cengkeraman tangannya pagi tadi seakan membuat
jantungku bertambah dalam setiap ketukannya. Nafasku tak dapat ku atur, satu
kata yang ingin terucap, dan itu adalah bahagia.
***
Aku memasuki kantin sekolah, suara bising mulai terdengar.
Aku mendapati kak Denting dan kak Dena sedang berbicara di belakang kantin
sekolah. Urat kepoku pun seketika keluar dari peradabannya. Aku menyandarkan
telingaku di balik dinding, suaranya tak begitu jelas, namun kak Dena menangis.
Sebagai perempuan aku tak tega melihat perempuan disakiti oleh lelaki. Aku
menghampiri mereka di belakang kantin.
“kak Denting ngapain kak Dena?” jawabku seperti penyidik
kasus tikus berdasi di gedung KPK.
“kamu gak usah ikut campur, ini urusan kami berdua. Dan kamu
Dena, semuanya sudah cukup jelas. Lebih baik aku yang pergi” ucap kak Denting
sambil menunjuk ke arahku dan kak Dena.
Aku semakin bingung dengan mereka, kak Denting pergi dan kak
Dena pun ikut-ikutan pergi meninggalkanku.
“percuma aku ada di sini, kehadiranku tak menjadi jalan
keluar untuk mereka berdua” aku juga ikut beranjak pergi.
***
Jam sekolah sudah selesai, riuh suara siswa di sekolah ini
semakin memeriahkannya, ini adalah surganya siswa SMA, mendengar bunyi bel
seperti mendengar nama sendiri disebut dalam undian berhadiah motor roda dua
“ya iyalah roda dua, kalau roda tiga namanya bentor.” Tawaku dalam hati.
Aku mengendarai sepeda motorku, motor warisan Bang Wendi
yang berwarna merah tua. Namun aku merasakan ada yang aneh di bannya. Aku pun
turun dan memeriksanya.
“astaga Tuhan, bannya bocor, bengkelnya juga masih jauh.” Berontakku
dalam hati.
“kamu perlu bantuan?” suara ini sepertinya tak asing lagi,
ternyata itu kak Denting.
“iya kak, ban ku bocor dan aku perlu tenaga untuk mendorongnya.”
“ya sudah, aku bantu.” Kak Denting turun dari motornya dan
mengambil alih motorku sementara aku mengendarai motornya kea rah bengkel.
Banyak sisi positif yang ku nilai dari kak Denting, selain dia adalah sosok
yang penuh dengan semangat, dia juga orang tulus dalam membantu orang. Hal ini
semakin menambah decak kagumku padanya. Aku sudah sampai di bengkel, sementara
kak Denting belum tertangkap oleh fokus mataku. Aku menunggunya dengan sebotoln
penambah cairan yang ku genggam.
“ini buat kakak” kataku sambil menyodorkannya minuman
setelah dia sampai di bengkel.
“oh iya, makasih.”
“ini motornya kenapa dek” Tanya montir itu padaku, ini sama
saja menghancurkan momen terindah dalam hidupku, belum puas ku tatap wajah kak
Denting, tiba-tiba suaranya membuat kacau semuanya.
“itu pak, bannya bocor” jawabku
“kalau ini besok aja motornya diambil soalnya semua orang
lagi antri” jelasnya.
“terus saya pulang naik apa dong , Pak?”
“nanti kamu pulang sama aku saja.” Kata kak Denting.
“tapi kak, apa tidak merepotkan? Kalau kak Dena lihat bisa
mati aku ini kak”
“masalahnya kamu keberatan gak aku antar pulang?”
“ya udah kak, bener yah gak apa-apa?”
“iya” jawab kak Denting dengan mernyodorkan helm ke arahku.
***
Semenjak hari itu, kak Denting dan aku semakin akrab.
Paginya sebelum ke sekolah kak Denting sudah menjemputku di depan rumah. Aku
kaget dan aku baru sadar ternyata motorku masih ada di bengkel dan kak Denting
sudah berjanji untuk menolongku hingga
masalah motorku selesai, dan mungkin ini bagian dari janjinya.
“ayo cepat , nanti kita terlambat” teriak kak Denting di
halaman rumah. Aku hanya tersenyum dan berlari ke arahnya.
Aku sudah berhasil membuat teman sekelasku iri denganku,
termasuk Desi sahabatku itu.
“kok bisa sih kamu akrab dengan kak Denting?”
“itu takdir des” jawabku sambil berlari ke arah kelas.
Hari demi hari berlalu, aku dan kak Denting seperti layaknya
teman yang saling akrab satu sama lain, tak ada sekat di antara kita. Hingga
pada suatu hari kak Denting mengajakku untuk makan sate depan kompleks. Aku tak
punya kata tidak di dalam kamusku kalau soal ajakan makan yang ditawarkan
olehnya. Seperti layaknya wanita pada umumnya, aku berdandan sebelum kak
Denting datang, aku hampir saja menggunakan gaun, untung saja aku tersadar
bahwa ini bukan acara makan di pesta kerajaan, ini hanya makan sate di depan
kompleks.
“tintongg..tintong” suara bel rumah berbunyi
“iya tunggu kak” jawabku
Aku keluar dari
rumah, di teras rumah sudah ada kak Denting menunggu dengan sandal jepitnya.
Walaupun semuanya terasa biasa saja, namun bagiku ini sudah seperti hal yang
sangat luar biasa. Tanganku ditariknya menuju motor yang terparkir rapi di
depan rumahku. Dia memacu kendaraannya menuju tempat dinner, lebih tepatnya penjual sate di depan kompleks.
“kak, kak Dena bagaimana kabarnya?” ucapku basa-basi
padanya.
“sudah putus.” Jawabnya tegas.
“kapan kak?” tanyaku lagi
“waktu kamu ada di belakang kantin”
“oh jadi itu maksudnya, kenapa kak Dena menangis”
“kenapa diputusin?” jawabku dengan level kepo tertinggi
“dia selingkuh, puas ! kamu ini ibunya ngidam apa waktu
lahir? Cerewet banget.” Kata kak Denting, hidung ku pun dicubitnya hingga
merah.
Aku tak habis pikir apa yang membuat kak Dena tega menduakan
kak Denting, sosok yang hampir sempurna dengan kapasitas ganteng yang melewati
ambang batas ini tega diselingkuhin oleh kak Dena. Namun ini nampaknya adalah
kabar baik untukku, aku bisa mewujudkan cintaku agar tak bertepuk sebelah
tangan lagi. Aku tak ingin egois, cinta juga tak bisa dipaksakan antar hati
manusia. Biarkan cinta yang memilih mana yang patut cinta perjuangkan.
***
Kokok ayam menjadi alarm setia setiap paginya, angin
sepoi-sepoi dari ventilasi rumah menambah kemalasanku untuk beranjak dari
tempat tidur. Hari minggu adalah hari untuk pelajar, aku mengecek sms di
handphone. Dan ku dapati nama yang selalu ku tunggu dalam setiap harinya, Kak
denting !
“minggu sore aku tunggu kamu di lapangan futsal sekolah.”
Tulis kak Denting di smsnya.
Aku kegirangan hingga aku tak sadar jika spray tempat
tidurku telah merosot ke bawah. Cinta tak lagi bertepi, semuanya telah kembali
keperaduan. Mentari minggu menambah keceriaan, tak ada lagi semilir duka dan
kecewa. Tak ada lagi tangis yang terpecah karena cinta.
***
Sore ini begitu bersahabat, sebentar lagi warna langit akan menjadi
tiga, sunset di ufuk barat mulai terpandang, paronama senja kali ini
benar-benar mengundang kagum, ku harap tak ada kecewa yang Sang penguasa
tawarkan hari ini. Aku memacu motorku ke arah sekolah dengan semangat. Berharap
kak Denting menepati janjinya, aku penasaran dengan maksudnya untuk mengajakku
ke lapangan.
***
Setengah jam sudah berlalu, aku melihat jarum pendek jamku
tanganku sudah segaris dengan jarum panjangnya. Pukul enam sore, kak Denting
tak kunjung datang. Mungkin karena hujan gerimis itu, ataukah dia hanya
mempermainkanku tentang pertemuan ini. Aku sudah lama menunggu, jika dia tak
kunjung datang aku akan pulang. Cinta akan pulang jika dia tak mendapat balasan
dari yang dicintanya, mungkin cintaku telah salah pilih. Aku cukup bersabar dalam
menunggunya. Ku coba untuk menelponnya, namun tak ada satupun panggilanku yang
terjawab olehnya. Jika hati sudah dikecewakan, apakah cinta masih tetap harus
menunggu?
Malam sudah menyapa, suara jangkrik telah berirama. Mendayu
dalam melodi menyambut malam. Bau tanah karena hujan masih tercium hingga
menusuk masuk ke hidungku. Fokus mataku tak pernah berhasil menangkap bayang
kak Denting.
“aku ini bodoh, bisa saja kak Denting menemui kembali kak
Dena dan memperbaiki hubungannya. Bukannya malah menyuruhku datang kesini
menunggunya” jawabku sambil meniup a
jariku agar hangat itu tercipta.
Kak denting memaksaku untuk berpikir keras, ternyata bukan
kak Denting yang pantas ku nobatkan sebagai cinta, cukup sampai disini
perjuanganku.
***
Hari Senin menyapa, setumpuk pekerjaan rumah sudah siap dikumpulkan. Aku sepertinya sudah flu karena
ulah kak Denting semalam.
“Cinta..Cinta..” suara kak Denting menghentikan langkahku ke
kelas.
“apa kak?” jawabku sinis.
“soal semalam aku minta maaf Cin. Dena menelponku, dia sedang
sakit.”
“iya kak, aku ngerti. Duluan yah” aku melempar senyum
Pernyataan kak Denting membiarkanku menjatuhkan air mata di
depannya. Rasa kecewaku mulai berkecamuk. Aku benci dengan menunggu, aku benci
dengan rayuan lelaki, aku benci dengan janji.
“tapi Cinta..” kak Denting menarik tanganku.
“ada yang ingin aku
katakan padamu, malam itu aku ingin menyatakan perasaanku padamu, tapi
tiba-tiba Dena menelponku dan waktu itu juga handphoneku tak sengaja
ketinggalan di rumah sehabis Dena menelpon . Aku sudah tak ada apa-apa lagi
dengan Dena, percayalah !”
“seharusnya kakak lebih tegas dalam hal seperti ini, tak
sadarkah kakak sudah membiarkan cinta menunggu hingga malam. Dengan harapan
kakak akan datang tepat waktu namun nyatanya.”
Jawabku
“kamu jangan marah, masa hanya hal sekecil ini kamu marah
sih Cin?
“apa kakak bilang? Kecil? Kakak jangan sekali-kali
meremehkan hal kecil , karena hal sekecil apapun itu bisa mengajarkan kita
banyak tentang cinta. Harusnya kakak lebih memperhatikan itu.” Tuturku
“intinya, aku minta jawaban kamu sekarang Cinta !”
“aku kecewa dengan kakak , satu pesanku ‘ jangan biarkan
cinta yang lain menunggu !’ “ ucapku sambil berlari menuju kelas.
Kak Denting mengajariku banyak hal, mungkin aku tak cinta
tapi hanya sebatas kagumku. Kak Dena lebih membutuhkan kak Denting dibanding
aku. Cinta akan selalu datang tepat waktu, bukan saat dimana kita perlu. Bukan
tidak mungkin kita sibuk mengejar cinta yang tak Tuhan ijinkan untuk kita, kita
terlalu egois untuk itu. Cinta bukan keegoisan, namun lebih kepada saling
mengerti dan memberi harapan yang pasti, agar Cinta tak lagi menunggu lebih lama.
cinta ada bukan untuk ditunggu,
bukan untuk kau biarkan meneteskan air mata,
bukan juga untuk bertahan pada harapan palsu,
tapi cinta ada karena dia berharap menjadi cinta yang selalu kau nanti