Sabtu, 04 Januari 2014

Jombloku sayang Jombloku Malang




Aku masih berlindung di bawah kolong langit, langit mendung yang menawarkan dingin tak berhangat. Sudah lama rasanya aku hidup dalam kesendirian, sejak dia pergi meninggalkanku karena alasan yang cukup jelas, karena aku terlalu protektif terhadapnya. Aku menganggap ini sangat tak adil, perhatianku dianggap sebagai benalu yang perlahan mengusik ketenangan hidupnya. Entahlah, bagiku itu hanya cerita lama. Gerimis yang perlahan menjelma menjadi hujan lebat membuatku berteduh di bawah halte. Aku hanya terdiam duduk menunggu angkutan umum untuk pulang ke rumah. Dari jarak tak begitu jauh, aku melihat laki-laki bertubuh tegak dengan kumis tipisnya mengarah ke tempat dudukku. Sontak aku langsung memberinya ruang di sampingku untuk duduk. Dari jauh dia lambaikan tangannya sambil tersenyum. Aku juga membalas senyumnya dengan senyum terindahku.
“kamu sudah lama menunggu?” kata lelaki itu sambil mengusap wajahnya yang ditumpuki oleh air hujan.
“nggak, aku juga baru saja sampai di sini.” Jawab seorang perempuan di belakangku.
aku berbalik arah, “sial, ternyata dari tadi pandangan lelaki itu tak tertuju padaku, tapi pada perempuan yang ada di belakangku” kesalku dalam hati. Entah mengapa semenjak putus, tingkat ke-Pd-an ku kepada lawan jenis semakin bertambah, “apa mungkin ini karena pengaruh tak tahan jomblo?” tanyaku pada selembar kertas bertulis lowongan kerja yang ku genggam.
“pip..pipp” suara angkot bercat biru muda itu mulai mendekati halte secara perlahan, lajunya semakin lambat dan berhenti tepat di hadapanku. Aku langsung saja naik ke angkot itu.
Aku semakin jenuh dengan status kesendirianku, awalnya aku merasa bebas dengan statusku yang baru ini. Tapi seiring berjalannya waktu, aku semakin tak tahan. Belunggu dalam diri semakin mengikat, aku juga ingin kembali merasakan mendapat perhatian lebih dari pacar. Namun sekarang aku hanya bisa diam menyaksikan kebahagian sederhana yang temanku pertontonkan ibarat FTV.
 “auuuu..sakit”  teriakku dalam angkot. Angkot ini tiba-tiba saja berhenti. Kepalaku berhasil tercium oleh pinggiran pintu angkot. Tiba-tiba saja seorang lelaki muda, berkemeja biru tua duduk di sampingku tanpa permisi. Aku merasakan getaran yang membuatku salah tingkah. Sapu tanganku jatuh tepat di bawah kakinya. Lelaki itu menatapku lalu mengambil sapu tangan yang ada di kakinya. Kemudian secara perlahan dia sodorkan ke arahku. Aku hanya tersenyum sambil berkata “makasih yah”. “iya sama-sama.” Balas lelaki itu. Ini benar-benar di luar dugaanku, aku merasa suaranya melemahkan sendi lututku seketika. Aku sudah lama tak merasakan rasa deg-degan seperti ini.
“bang, kiri bang !” kataku !
aku berjalan turun dari angkot, sebelum turun aku sempatkan untuk memberikan senyum termanis kepada lelaki itu. Kejadian hari ini sangatlah luar biasa. Bunga yang layu kembali mekar. Seperti itulah yang ku rasakan. Keesokan harinya aku bertemu lagi dengan lelaki itu dalam satu angkot. Dia menyapaku “hai, kamu lagi.”. ii..yaaa” aku hanya tersenyum. Kami bercengkrama layaknya seseorang yang sudah sangat akrab. Perlahan tapi pasti, dia mulai menunjukkan sikap rasa sukanya padaku. Pin BBku menjadi saksinya, aku di invitenya. Sejak hari itu pria yang bernama Yoga benar-benar menjelma menjadi romeo dalam hidupku. Menawarkan kebahagiaan yang sangat ku dambakan dari dulu, entah mengapa aku merasa menjadi sosok yang sempurna jika berada di dekatnya, Mas Yogaku. Aku mengenalkannya dengan Ibu, awalnya mas Yoga menolak, tapi karena desakanku akhirnya mas Yoga mengatakan iya.
“ayo masuk mas, gak usah sungkan. Anggap aja rumah sendiri tapi jangan dijual yah” uangkapku dengan nada bercanda.
“ini siapa Gina?” Tanya mama kepadaku.
“ini Yoga, mah. Gebetan  aku.”
“oh, baru gebetan.  Yang benar saja usia kalian sangat berbeda jauh."
“iya mah, dia guru honor. Aku suka sama dia. Sejak kehadirannya aku merasa ada yang berbeda dariku. Mas yoga berhasil membuat semuanya menjadi jauh lebih berarti.
“mama gak setuju Gin, kamu bentar lagi mau ujian. Mama Cuma ingin kamu fokus untuk itu. Tak ada pacar-pacaran. Selesaikan sekolahmu dulu.” Kata mama.
“tapikan mah.”
“gak ada tapi-tapian. Yoga kamu bisa pulang sekarang”
“mamah kok kasar gitu?”
“kamu masuk kamar, sekarang !” ucap mama dengan nada yang lantang.
Aku merasa mama tak adil dalam hal ini, karena alasan ujian dia membiarkanku kehilangan mas Yoga. Sejak insiden itu, kontak BBManku di hapus oleh mas Yoga. “Ku pikir mas Yoga sudah terlanjur kecewa padaku.” Tangisku meluap tak ada henti karena itu.


tak layakkah anak kecil merasakan rasa sebesar rasa cinta?
apakah hanya orang dewasa yang bisa?
aku pun ingin merasakannya kembali.

0 komentar:

Posting Komentar