Kamis, 16 Januari 2014

Jangan Biarkan Cinta Menunggu !


Suara kokok ayam dari luar rumah sukses membangunkanku dari mimpi yang seakan tak ingin ku tahu ujungnya. Senin pagi, aku bangun terlambat karena semalam aku menghabiskan waktu di depan komputer untuk menyelesaikan tugas akhir semester. Aku ke sekolah dengan kondisi yang serba mendadak, baju putih dan rok abu-abu yang belum disetrika, sepatu yang belum di semir. Perut ku pun lupa ku beri jatah makan pagi.
“semoga saja keberuntungan berpihak padaku hari ini.” Ucapku setelah sampai di parkiran motor sekolah.
Aku berjalan menyusuri koridor dekat ruangan guru, mengendap-ngendap masuk layaknya orang yang sedang mencari sesuatu. Upacara sekolah sudah dimulai, aku bingung harus ke arah mana agar bisa masuk ke arah barisan.
“mau kemana kamu?” seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku kaget dengan tegurannya. Tanpa berbalik badahn aku menjawab tanpa melihatnya.
“ii…nii Pak, mau. Mau ke toilet Pak.” Jawabku dengan nada yang gugup. Entah harus ku atur bagaimana lagi suaraku ini, dari nada do re mi fa so la si dan seakan tak ingin kembali ke do lagi. Saking gugupnya aku.
“apa katamu, Bapak? Kumis pun aku tak punya, jangan seenaknya panggil bapak-bapak kamu ini !”
“eh, maaf kak Den. Aku pikir kakak itu pak satpam sekolah.” Jawabku setelah membalikkan badan ke hadapannya.
“kamu terlambat juga yah?” tanyanya.
“iya kak, aku mau masuk ke barisan tapi bingung caranya bagaimana.”
“halah kamu ini, sini ikut aku !” dia menarik-tanganku.
Entah mengapa ada perasaan yang berbunga-bunga di hatiku, serasa hati ini sudah seperti taman yang di penuhi oleh warna bunga. Duniaku teralihkan kepada matanya. Dia Denting, kakak kelasku. Seorang cowok yang hobinya menghabiskan waktu di lapangan kecil di sekolah untuk bermain bola. Aku merasa terpikat pertama kali saat melihatnya bermain bola pada saat jam istirahat sekolah. Auranya begitu memikat. Banyak teman sekelasku yang suka padanya. Namun semuanya terpatahkan ketika aku tahu kalau kak Denting ini sudah milik kak Dena, kakak kelasku juga. Entah apa yang ku rasakan saat ini, cemburu pun aku tak bisa, dia bukan siapa-siapa ku. Tiba-tiba bunyi bel sekolah menyadarkan aku akan lamunan di barisan upacara ini.
“Cin, ayo masuk kelas ibu Jina sudah di ambang pintu kantor” panggil sahabatku yang bernama Desi.
“iya, kamu duluan aja. Aku mau ke kantin beli minuman dulu” jawabku
“ok, duluah yah, dah !”
“dah” sambil mengangkat lima jariku.
Kadang kala jatuh cinta tapi sembunyi-sembunyi itu tak ada habisnya. Menjelma sebagai seorang layaknya detektif mencari-cari setiap jejaknya di setiap sudut sekolah. Dan hanya bisa merangkulnya lewat langit biru, membiarkan hujan membasuh wajahnya dengan lembut, merangkulnya dalam doa dengan maksud agar dia menyadari bahwa ada cinta yang sedang menunggunya. Cinta itu dipilih, aku memilihnya karena hanya dia yang mampu membuatku seperti ini. Menjadi semangat ke sekolah. Cengkeraman tangannya pagi tadi seakan membuat jantungku bertambah dalam setiap ketukannya. Nafasku tak dapat ku atur, satu kata yang ingin terucap, dan itu adalah bahagia.
***
Aku memasuki kantin sekolah, suara bising mulai terdengar. Aku mendapati kak Denting dan kak Dena sedang berbicara di belakang kantin sekolah. Urat kepoku pun seketika keluar dari peradabannya. Aku menyandarkan telingaku di balik dinding, suaranya tak begitu jelas, namun kak Dena menangis. Sebagai perempuan aku tak tega melihat perempuan disakiti oleh lelaki. Aku menghampiri mereka di belakang kantin.
“kak Denting ngapain kak Dena?” jawabku seperti penyidik kasus tikus berdasi di gedung KPK.
“kamu gak usah ikut campur, ini urusan kami berdua. Dan kamu Dena, semuanya sudah cukup jelas. Lebih baik aku yang pergi” ucap kak Denting sambil menunjuk ke arahku dan kak Dena.
Aku semakin bingung dengan mereka, kak Denting pergi dan kak Dena pun ikut-ikutan pergi meninggalkanku.
“percuma aku ada di sini, kehadiranku tak menjadi jalan keluar untuk mereka berdua” aku juga ikut beranjak pergi.
***
Jam sekolah sudah selesai, riuh suara siswa di sekolah ini semakin memeriahkannya, ini adalah surganya siswa SMA, mendengar bunyi bel seperti mendengar nama sendiri disebut dalam undian berhadiah motor roda dua “ya iyalah roda dua, kalau roda tiga namanya bentor.”  Tawaku dalam hati.
Aku mengendarai sepeda motorku, motor warisan Bang Wendi yang berwarna merah tua. Namun aku merasakan ada yang aneh di bannya. Aku pun turun dan memeriksanya.
“astaga Tuhan, bannya bocor, bengkelnya juga masih jauh.” Berontakku dalam hati.
“kamu perlu bantuan?” suara ini sepertinya tak asing lagi, ternyata itu kak Denting.
“iya kak, ban ku bocor dan aku perlu tenaga untuk mendorongnya.”
“ya sudah, aku bantu.” Kak Denting turun dari motornya dan mengambil alih motorku sementara aku mengendarai motornya kea rah bengkel. Banyak sisi positif yang ku nilai dari kak Denting, selain dia adalah sosok yang penuh dengan semangat, dia juga orang tulus dalam membantu orang. Hal ini semakin menambah decak kagumku padanya. Aku sudah sampai di bengkel, sementara kak Denting belum tertangkap oleh fokus mataku. Aku menunggunya dengan sebotoln penambah cairan yang ku genggam.
“ini buat kakak” kataku sambil menyodorkannya minuman setelah dia sampai di bengkel.
“oh iya, makasih.”
“ini motornya kenapa dek” Tanya montir itu padaku, ini sama saja menghancurkan momen terindah dalam hidupku, belum puas ku tatap wajah kak Denting, tiba-tiba suaranya membuat kacau semuanya.
“itu pak, bannya bocor” jawabku
“kalau ini besok aja motornya diambil soalnya semua orang lagi antri” jelasnya.
“terus saya pulang naik apa dong , Pak?”
“nanti kamu pulang sama aku saja.” Kata kak Denting.
“tapi kak, apa tidak merepotkan? Kalau kak Dena lihat bisa mati aku ini kak”
“masalahnya kamu keberatan gak aku antar pulang?”
“ya udah kak, bener yah gak apa-apa?”
“iya” jawab kak Denting dengan mernyodorkan helm ke arahku.
***
Semenjak hari itu, kak Denting dan aku semakin akrab. Paginya sebelum ke sekolah kak Denting sudah menjemputku di depan rumah. Aku kaget dan aku baru sadar ternyata motorku masih ada di bengkel dan kak Denting sudah berjanji  untuk menolongku hingga masalah motorku selesai, dan mungkin ini bagian dari janjinya.
“ayo cepat , nanti kita terlambat” teriak kak Denting di halaman rumah. Aku hanya tersenyum dan berlari ke arahnya.
Aku sudah berhasil membuat teman sekelasku iri denganku, termasuk Desi sahabatku itu.
“kok bisa sih kamu akrab dengan kak Denting?”
“itu takdir des” jawabku sambil berlari ke arah kelas.
Hari demi hari berlalu, aku dan kak Denting seperti layaknya teman yang saling akrab satu sama lain, tak ada sekat di antara kita. Hingga pada suatu hari kak Denting mengajakku untuk makan sate depan kompleks. Aku tak punya kata tidak di dalam kamusku kalau soal ajakan makan yang ditawarkan olehnya. Seperti layaknya wanita pada umumnya, aku berdandan sebelum kak Denting datang, aku hampir saja menggunakan gaun, untung saja aku tersadar bahwa ini bukan acara makan di pesta kerajaan, ini hanya makan sate di depan kompleks.
“tintongg..tintong” suara bel rumah berbunyi
“iya tunggu kak” jawabku
Aku keluar  dari rumah, di teras rumah sudah ada kak Denting menunggu dengan sandal jepitnya. Walaupun semuanya terasa biasa saja, namun bagiku ini sudah seperti hal yang sangat luar biasa. Tanganku ditariknya menuju motor yang terparkir rapi di depan rumahku. Dia memacu kendaraannya menuju tempat dinner, lebih tepatnya penjual sate di depan kompleks.
“kak, kak Dena bagaimana kabarnya?” ucapku basa-basi padanya.
“sudah putus.” Jawabnya tegas.
“kapan kak?” tanyaku lagi
“waktu kamu ada di belakang kantin”
“oh jadi itu maksudnya, kenapa kak Dena menangis”
“kenapa diputusin?” jawabku dengan level kepo tertinggi
“dia selingkuh, puas ! kamu ini ibunya ngidam apa waktu lahir? Cerewet banget.” Kata kak Denting, hidung ku pun dicubitnya hingga merah.
Aku tak habis pikir apa yang membuat kak Dena tega menduakan kak Denting, sosok yang hampir sempurna dengan kapasitas ganteng yang melewati ambang batas ini tega diselingkuhin oleh kak Dena. Namun ini nampaknya adalah kabar baik untukku, aku bisa mewujudkan cintaku agar tak bertepuk sebelah tangan lagi. Aku tak ingin egois, cinta juga tak bisa dipaksakan antar hati manusia. Biarkan cinta yang memilih mana yang patut cinta perjuangkan.
***
Kokok ayam menjadi alarm setia setiap paginya, angin sepoi-sepoi dari ventilasi rumah menambah kemalasanku untuk beranjak dari tempat tidur. Hari minggu adalah hari untuk pelajar, aku mengecek sms di handphone. Dan ku dapati nama yang selalu ku tunggu dalam setiap harinya, Kak denting !
“minggu sore aku tunggu kamu di lapangan futsal sekolah.” Tulis kak Denting di smsnya.
Aku kegirangan hingga aku tak sadar jika spray tempat tidurku telah merosot ke bawah. Cinta tak lagi bertepi, semuanya telah kembali keperaduan. Mentari minggu menambah keceriaan, tak ada lagi semilir duka dan kecewa. Tak ada lagi tangis yang terpecah karena cinta.
***
Sore ini begitu bersahabat, sebentar lagi warna langit akan menjadi tiga, sunset di ufuk barat mulai terpandang, paronama senja kali ini benar-benar mengundang kagum, ku harap tak ada kecewa yang Sang penguasa tawarkan hari ini. Aku memacu motorku ke arah sekolah dengan semangat. Berharap kak Denting menepati janjinya, aku penasaran dengan maksudnya untuk mengajakku ke lapangan.
***
Setengah jam sudah berlalu, aku melihat jarum pendek jamku tanganku sudah segaris dengan jarum panjangnya. Pukul enam sore, kak Denting tak kunjung datang. Mungkin karena hujan gerimis itu, ataukah dia hanya mempermainkanku tentang pertemuan ini. Aku sudah lama menunggu, jika dia tak kunjung datang aku akan pulang. Cinta akan pulang jika dia tak mendapat balasan dari yang dicintanya, mungkin cintaku telah salah pilih. Aku cukup bersabar dalam menunggunya. Ku coba untuk menelponnya, namun tak ada satupun panggilanku yang terjawab olehnya. Jika hati sudah dikecewakan, apakah cinta masih tetap harus menunggu?
Malam sudah menyapa, suara jangkrik telah berirama. Mendayu dalam melodi menyambut malam. Bau tanah karena hujan masih tercium hingga menusuk masuk ke hidungku. Fokus mataku tak pernah berhasil menangkap bayang kak Denting.
“aku ini bodoh, bisa saja kak Denting menemui kembali kak Dena dan memperbaiki hubungannya. Bukannya malah menyuruhku datang kesini menunggunya” jawabku sambil meniup  a jariku agar hangat itu tercipta.
Kak denting memaksaku untuk berpikir keras, ternyata bukan kak Denting yang pantas ku nobatkan sebagai cinta, cukup sampai disini perjuanganku.
***
Hari Senin menyapa, setumpuk pekerjaan rumah sudah siap  dikumpulkan. Aku sepertinya sudah flu karena ulah kak Denting semalam.
“Cinta..Cinta..” suara kak Denting menghentikan langkahku ke kelas.
“apa kak?” jawabku sinis.
“soal semalam aku minta maaf Cin. Dena menelponku, dia sedang sakit.”
“iya kak, aku ngerti. Duluan yah” aku melempar senyum
Pernyataan kak Denting membiarkanku menjatuhkan air mata di depannya. Rasa kecewaku mulai berkecamuk. Aku benci dengan menunggu, aku benci dengan rayuan lelaki, aku benci dengan janji.
“tapi Cinta..” kak Denting menarik tanganku.
“ada yang ingin aku  katakan padamu, malam itu aku ingin menyatakan perasaanku padamu, tapi tiba-tiba Dena menelponku dan waktu itu juga handphoneku tak sengaja ketinggalan di rumah sehabis Dena menelpon . Aku sudah tak ada apa-apa lagi dengan Dena, percayalah !”  
“seharusnya kakak lebih tegas dalam hal seperti ini, tak sadarkah kakak sudah membiarkan cinta menunggu hingga malam. Dengan harapan kakak akan datang tepat waktu namun nyatanya.”  Jawabku
“kamu jangan marah, masa hanya hal sekecil ini kamu marah sih Cin?
“apa kakak bilang? Kecil? Kakak jangan sekali-kali meremehkan hal kecil , karena hal sekecil apapun itu bisa mengajarkan kita banyak tentang cinta. Harusnya kakak lebih memperhatikan itu.”  Tuturku
“intinya, aku minta jawaban kamu sekarang Cinta !”
“aku kecewa dengan kakak , satu pesanku ‘ jangan biarkan cinta yang lain menunggu !’ “ ucapku sambil berlari menuju kelas.

Kak Denting mengajariku banyak hal, mungkin aku tak cinta tapi hanya sebatas kagumku. Kak Dena lebih membutuhkan kak Denting dibanding aku. Cinta akan selalu datang tepat waktu, bukan saat dimana kita perlu. Bukan tidak mungkin kita sibuk mengejar cinta yang tak Tuhan ijinkan untuk kita, kita terlalu egois untuk itu. Cinta bukan keegoisan, namun lebih kepada saling mengerti dan memberi harapan yang pasti, agar Cinta tak lagi menunggu lebih lama.

cinta ada bukan untuk ditunggu,
bukan untuk kau biarkan meneteskan air mata,
bukan juga untuk bertahan pada harapan palsu,
tapi cinta ada karena dia berharap menjadi cinta yang selalu kau nanti

0 komentar:

Posting Komentar