“aku hanya menjadi perantaramu untuk sahabatku” ucapnya
dengan enteng.
“apa katamu? Jadi Rio yang mencintaiku? Bukan kamu?” aku
bertanya dengan gamblangnya.
“tentu bukan aku, ibarat sebuah sumur dan timba, aku
hanyalah katrol diantaranya.”
Perlahan tapi pasti, senyummu di batas kota seakan
memperjelas langkah hati, ku kira kau telah menjadikanku dermaga hatimu, aku
hampir saja terporosot masuk dalam lubang harapan palsu. Kau membawaku ke
puncak kejayaan, lalu menjatuhkanku perlahan seperti histeria di ancol itu. Dan
sekarang tiba-tiba kau menyapa memberi kejelasan. Apakah kau seperti Gajah Madha
dalam kerajaan itu yang memberikan kejayaan tapi posisinya sebagai perantara? Kau berhasil menjadikan seluruh hatiku bersemi
dalam satu musim dan membuatnya hancur dalam satu musim jua. Sekarang Hayam Wuruk
itu biasa ku panggil Rio. Temanmu yang ingin kau sandingkan denganku, ku pikir
itu kamu, ternyata Tuhan punya kehendak lain. Segala sesuatunya telah ku
pasrahkan, ku biarkan buliran air mata mengalir di sungai derita yang kau
ciptakan. Bermain bersama ikan kecil yang tak berdosa. Aku hanya bisa memeluk
derita, karenamu yang tak kunjung memberiku cinta, Gajah Madhaku. Kau malah berbalik
menawarkan cinta bersama Hayam Wuruk yang terpaksa ku cinta karena bayanganmu
yang selalu hinggap pada dirinya. Kamu bukan dia !
untuk cinta yang selalu salah sasaran
hingga hati turut merasakan buaian
beransur menjelma menjadi kekecewaan !
hingga hati turut merasakan buaian
beransur menjelma menjadi kekecewaan !
0 komentar:
Posting Komentar