Sabtu, 16 November 2013

Aku dan 22 Bulan yang Lalu





aku untuk kamu, kamu untuk aku
namun semua takkan mungkin,
iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu, kita yang tak sama
Haruskah aku lantas pergi,
meski cinta takkan bisa pergi
(marcel-peri cintaku)
        Suara hembusan angin yang seakan terus memanggil namamu, menyelimutiku dengan embun di pagi hari yang memaksaku untuk melupakan semuanya. Perlahan aku berlari untuk meninggalkan semuanya, segala cinta dan harapan untuk menjadi kekakasihmu. Hal ini yang selalu ku lakukan semenjak 22 bulan yang lalu. Bulan yang sangat membuat segala sendi ini melemah seketika.
aku punya harapan tentang segalanya, tepat 19 januari 2012 segalanya telah berakhir, mencapai titik puncak dengan baik-baik dan penuh tangisan, mungkin inilah yang kamu inginkan. 22 bulan yang lalu aku banyak belajar tentang arti cinta dalam lingkup perbedaan, bukan karena kita tak seadat tapi karena Tuhan kita tak merestui, kita bagaikan sepasang roda depan dan belakang, meski selalu membutuhkan satu sama lain namun toh mereka takkan bisa berdampingan. 22 bulan yang lalu, ini sudah menjadi rutinitasku. Menulis segala tentangmu yang selalu berhasil membuat sebagian ingatanku lumpuh seketika. Aku bisa menyebutmu cinta pertama dan masih berharap menjadi cinta terakhirku. Namun segala cinta dan harapku hanya bisa ku sebut sebagai khayalan. Aku masih mencintaimu, setiap saat dan waktu. Aku masih belum bisa melepaskan tiga huruf yang terangkai menjadi sebuah nama itu, tak usah ku sebutkan karena bagiku dia telah mati dalam nyataku. aku selalu berharap menjadi titik terendah di dalam hidupmu, aku ingin menjadikanmu air kehidupanku, dimana kamu akan mengalir ke tempat tertinggi dan toh akan bermuara ke tempat terendah itu. Aku sudah banyak membuang peluang untuk berpindah hati, bukannya aku menolak semuanya, bukannya aku menganggap kamu baik darinya, tidak ! aku hanya perlu waktu untuk mengumpulkan kepingan hatiku yang telah berhasil kamu patahkan secara perlahan. Percuma kamu selalu berkata cinta ataupun sayang jika hingga sekarang kamu tak kunjung menemuiku dan berkata itu di hadapanku, apakah itu yang disebut pecundang? Ku rasa demikian.  Aku pernah menulis buka tentangmu dan itu berhasil kamu baca sebelum buku itu aku bakar, aku juga tak tahu kenpaa buku itu bisa ada padamu, di dalamnya terdapat barisan bait puisi dan goresan penaku yang menggambarkan tentang dirimu. Tepat 22 bulan yang lalu, aku telah membuang air mataku dengan percuma untukmu. Inilah bodohnya aku, selalu berharap yang tak mungkin menjadi nyata. Aku paham itu. Kabar darimu hanya ada setahun sekali, apakah itu bisa ku sebut cinta? Aku mengerti kamu yang terkadang egois dalam menyikapi semuanya. Terkadang akulah yang salah dalam hal ini. Aku tak pernah menangis jika kamu sadar kamulah yang menjadi alasanku untuk menangis. Setetes air mataku pun tak pernah kamu basuh, 22 bulan telah berlalu, aku tak pernah merasa jenuh tentang semua ini, meski di setiap detiknya kamu seakan membuatku sulit untuk menghembuskan nafas. Apakah karena cinta kita yang terlalu indah sehingga aku tak bisa mengenal arti melupakan? Tepat 22 bulan, aku masih bertahan. Bukan karena aku terlalu mengharapkanmu namun karena aku menunggumu memperjuangkanku. Selamat memasuki bulan ke-22 Tuan, tepat kau putuskan untuk mengakhiri segalanya tanpa kejelasan.

Dari wanita yang selalu berharap kau perjuangkan
Entah itu dalam doa ataupun dalam nyata,
22 bulan dan ternyata rasa ini masih ada.

0 komentar:

Posting Komentar