Sabtu, 09 November 2013

Cinta Dalam Lingkaran Perbedaan







“ada surat untukmu.”
“untukku? Dari siapa?”
“dari Raihan.”
“dia mengirimkanku surat? Apakah semalam dia datang ke rumahmu?” kataku sambil mengangkat sebelah alisku.
“tidak, semalam dia hanya menelfonku.”
“lalu suratnya kamu dapat dari mana?” aku pun semakin bingung.
“dia menelfon untukmu, suratnya ia baca lalu ku tuliskan dalam secarik kertas.”
“oh, seperti itu. Kenapa dia nggak nelfon ke nomor hapeku saja?
“kamu tahu Raihan itu seperti apa, jangan kamu persulit lagi, nyali anak itu memang sebatas sampai disitu saja” aku terdiam, tatapan mata Risma begitu tajam seakan membuatku takut untuk melanjutkan percakapanku dengannya. Situasi ini sering terjadi jika ku bahas tentang Raihan, cerita tentangnya takkan pernah berujung.
Hari ini matahari cerah menawarkan kehangatannya, aku menunggu di ufuk timur untuk merasakan hangat mentari pagi. Aku menghela nafas terdalamku lalu ku hembuskan perlahan  hingga melebur dengan udara pagi ini, surat dari Raihan masih belum ku baca, sampai saat ini aku masih menyisakan tanya tentangnya, apa yang membuatnya takut untuk menemuiku untuk memperjelas semuanya. Bahkan untuk menghubungiku saja ia takkan pernah mau, aku tahu nyalimu begitu dangkal, “dasar pengecut” ucapku lirih dalam hati. Tapi aku mencintai si pengecut itu, aku berbalik mengenang kata-kata Risma dua bulan silam “dia tak memperjuangkanmu, karena kalian berbeda”, aku hanya bisa terdiam mendengar ungkapan Risma. Aku tahu raihan dan aku sangatlah berbeda, dia setia melipat tanganya di gereja setiap minggunya, sementara aku masih tetap menjaga kesetiaan janjiku kepada Tuhanku untuk tetap sujud di setiap lima waktu dalam hariku. Cinta berbeda, itulah kisahku dengan Raihan. Tak ada yang tahu mengapa hati ini bisa jatuh kepadanya, cinta pertama yang membuatku salah tingkah di usia remaja.
Aku berbalik mengingat surat itu, “apakah ini harus ku baca?” tanyaku dalam lamunan, aku mengibaskan rambutku kesana kemari untuk menghilangkan gugupku. “Selamat jalan, aku pergi.” Kata ini yang berhasil di tangkap oleh lensa mataku, semuanya terasa mengejutkan, meskipun status kami tak jelas, namun rasanya ini sangatlah tak adil.
* * *

Sudah berjam-jam aku meneteskan air mata kesedihanku, melihat hujan di luar sana semakin deras, semua ini menambah pilu hati, tak ada yang mengerti ini selain aku dan Tuhanku, tak pernah terlintas di pikiranku bahwa cinta pertamaku bukanlah tempatku untuk melabuhkan hatiku, buliran air mata ini tak bisa ku bendung terlalu lama, kelopak mataku seolah menolak semuanya, aku semakin terlarut dalam sedih, ku sandarkan sebelah wajahku pada bantal berwarna hijau rumput itu, surat terakhir darinya itu benar-benar membunuh warna pelangi yang ada di hadapanku.
 “akan ada pelangi setelah hujan, akan ada bahagia setelah kesedihan” kata ini yang selalu ku dengar dalam flem cengeng di stasion televisi favorit adik bungsuku.
Dengan lembut usapan jari ibu tiba-tiba mengagetkanku yang sedang menikmati kesedihan ini, aku bingung mau ku sembunyikan kemana air mata ini, semuanya sudah terlanjur ibu lihat. Ibu menggenggam kepalan kedua tanganku seolah sedang menenangkan sedikit sedihku ini.
“ibu..” ucapku terbata-bata
“menangislah sayang, jika semuanya bisa membuatmu tenang” ibu berkata sambil mengusap rambutku dan berusaha merapikannya.
“i...buuu..” tangisku tumpah ruah membanjiri bantal berwarna hijau itu.
“tenangkan dirimu, sekarang beritahu ibu siapa laki-laki yang berani-beraninya membuat air mata anak ibu jatuh sebanyak ini?” dengan senyum yang seakan menguatkanku , ibu berkata demikian.
“tidak bu, tidak ada yang menyakitiku. Mungkin hanya aku yang terlalu melebih-lebihkan perasaanku pada sosok yang tak bisa menghargai atau bahkan memperjuangkanku sedikitpun” jawabku sambil membersihkan aliran air mataku yang membekas di pipi menggunakan tissue tipis itu.
“kuatlah sayang, kamu Raya anak ibu yang paling kuat. Cinta itu indah sayang, kamu jangan sesedih ini dalam memaknai cinta.” Kata ibu
“iya bu, aku kuat, aku pasti bisa” ucapku dengan semangat yang goyah, kata-kata ibu tadi laksana asupan energi semangat untukku.
Bagaimana bisa aku melupakan Raihan, walaupun kami tak pernah berjumpa dalam nyata tapi entah mengapa cintanya mampu menembus dinding hati ini, 20 bulan yang lalu aku mengenalnya dari Risma, semenjak itu aku dan Raihan berkomunikasi melalui hape Risma, tak ada yang istimewa saat itu, aku merasa Raihan tak berarti. Namun entah mengapa seiring berjalannya waktu, dari musim hujan ke musim kemarau, dari masa dimana aku tak mengenal cinta hingga tiba sekarang aku di sakiti oleh cinta yang ku pikir sejati itu. Raihan, nama yang membuatku jatuh cinta pada perpisahan pertama, bukan pada pandangan pertama. aneh memang jika semuanya di telaah begitu saja, kami dua insan yang berbeda di satukan dalam sebuah rasa yang sama, sebut saja rasa itu cinta. Perbedaan seakan menjadi duri untukku, jika cinta di ciptakan untuk menyatukan mengapa harus ada sekat diantara dua insan yang berbeda seperti kami. Tidak..aku tak ingin menyalahkan Tuhan, bagiku Tuhan terlalu baik menjatuhkan hatiku pada sosok yang sangat sempurna dalam khyalanku tapi tidak dalam nyataku.
Gerimis diluar sana jatuh perlahan, asap jalanan mulai menyusup masuk di lapisan ozon. Semuanya telah pergi meninggalkanku dengan tangisan, aku harus berbuat apa? Ini salahku sendiri, mengapa membiarkan rasa ini terlalu jauh.
“selamat jalan, aku pergi.” Kata ini benar-benar mengiris perih hatiku.
“tapi kenapa han?, kamu tak ada niat sedikitpun untuk memperjuangkanku.” Aku bertanya dalam ruang hampa.
Isi surat dari Raihan, membuat sendiku melemah, rasanya badanku ingin luluh sedikit demi sedikit. Jatuh cinta pada orang lain? Apakah aku sanggup? Aku tak percaya bisa melewati semua ini tanpa semangat yang setiap bulannya dia titipkan melalui pesan singkat di hape Risma.
“Apakah ada wanita lain yang kamu cintai selain aku han?” pertanyaan bodoh yang ku lontarkan.
“perbedaankah itu?” tanyaku sekali lagi.
Kali ini aku terdiam, aku memang salah mencintai anak dari seorang pendeta yang beragama katolik itu, keputusanku untuk membiarkan semuanya jatuh pada hati Raihan adalah salah, keputusan bodoh. Aku harus menyembuhkan luka ini sendiri, senja kali ini tak ada maknanya lagi buatku,semuanya terasa suram dan mencekam sanubariku.
 “selamat jalan pria kelahiran Sengkang” ucapku sambil menutup diariku.
Aku masih disini, berpijak diatas kota yang menumbuhkan cinta kita, Makassar. Kota yang membuatku merasakan cinta pertama yang menyedihkan. Jujur saja aku ingin berlari dari kota ini untuk melupakanmu, namun aku bingung akan ku langkahkan kemana kedua telapak kakiku ini.
***

2 tahun berlalu, aku ikhlas melepasmu bersama yang lain. “Raihan sudah punya gebetan baru, kamu kapan raya?” ungkap Risma dengan ejekan terdahsyatnya.
“kapan-kapan saja, aku masih betah dengan kesendirian” jawabku dengan tenang, berusaha menyembunyikan perasaanku.
“sendiri? Dasar jomblo akut” Risma berlari sambil mengejekku.
“eh, apa katamu?” aku mengejar Risma menuju ruang tengah rumahnya.
Aku masih disini, berpijak di atas kota daeng, kota yang pernah mendapat penghargaan adipura.
Dua tahun yang lalu, aku berdiri di dekat sungai ini, membuang segala barang yang menyangkut dirimu, cincin itu juga ku buang. Cincin yang sengaja ku pesan dan ku ukir nama kita berdua, Raihan dan Raya. Namun semuanya kau tolak tanpa perasaan.  Dua tahun yang lalu, Tuhanku mengganti Raihan dengan sesuatu yang sangat berharga, kesibukan. Dua tahun yang lalu aku menyibukkan diriku dengan rutinitas perkuliahanku, itu semua ku lakukan dengan rasa yang sangat optimis bahwa ku akan melupakan Raihan.
***
Rabu itu, pengumuman beasiswaku telah terpampang di atas papan pengumuman. Aku berhasil lolos menjadi mahasiswa berprestasi dan mendapatkan beasiswa S2 ke Paris, aku senang akan hal itu, tapi berat rasanya meninggalkan kota daeng menuju kota penuh romansa itu. Dulu aku pernah bermimpi memegang kamera di tangan kiriku, dan memegang tangan Raihan di tangan kananku, kita bergandengan. Namun itu hanyalah mimpiku.
“selamat yah Raya, perjuangan kamu berujung indah” suara Risma mengagetkanku, Risma memelukku dari belakang.
“makasih sayang, ini semua berkat dukungan kamu juga” aku membalikkan badan dan membalas rangkulan hangat sahabat karibku itu.
“terus kapan kamu akan berangkat ke sana?”
“secepatnya, aku akan meninggal segala kenangan pedih di kota ini” jawabku dengan mata berbinar.
“kamu masih mengingatnya?”
“siapa?”
“raihan !”
“t...ii.daaak, aku sudah melupakannya” setetes air mataku mulai terjatuh.
“aku pergi dulu Risma, ada banyak hal yang harus ku selesaikan” aku menghindarinya agar air mataku tidak tertumpah di depannya, aku tak ingin risma merasa sedih.
Paris, kota idamanku sejak SMA. Aku tak menyangka sebentar lagi aku akan menginjaknya dan melihat indahnya menara eiffel di musim gugur. Aku tak sabar itu.
***

Seminggu telah berlalu pasca pengumuman itu, aku menginjakkan kakiku di tempat pesawat akan membawaku jauh dari Raihan. “Selamat datang di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin” kata yang kupandangi pertama kali ketika aku telah tiba disana. Aku menatap kedua orang tuaku dengan haru yang ku harap apa yang ku lakukan ini bisa membuat mereka bangga.
“risma mana?” tanyaku pada ayah dan ibu.
“ibu tak tahu, memangnya Risma mau kesini?”
“iya bu, risma janji mau datang membawakan ku hadiah terakhir sebelum aku pergi ke Paris”, mataku sambil memandangi pintu masuk bandara dan mencari batang hidung Risma.
Aku mulai frustasi mencarinya, ku putuskan untuk masuk ke ruang tunggu tanpa berpamitan dengannya, ketika aku melangkahkan kaki..
.”Raya, tunggu dulu” teriakan suara dari belakang badanku,
“itu Risma” kataku sambil membalikkan badan.
Aku terkejut melihat sosok yang bersama Risma dan berlari ke arahku.
“Raihan” aku memandang foto berukuran 3R yang menggambarkan wajahnya
“itu Raihan” ucapku sambil meyakinkan hatiku.
“aku tak tahu apa yang ku lakukan ini benar atau tidak, bisa membuatmu bahagia atau tidak, namun ku rasa kamu harus melihat sosok pria yang sangat kamu cintai, ini Raihan ya’, orang selalu ada dalam setiap doamu” ucap Risma sambil menarik tangan Raihan.
“ini Raihan?” kataku dengan nada terkejut.Ku lihat raihan hanya tertunduk, dia tak berani menatap mataku sekalipun. Sebegitu tak berartinyakah aku dimata raihan?
Aku mendekati sosok Raihan, entah mengapa seketika air mataku terjatuh tetes demi tetesnya, aku teringat dua tahun silam aku menagisi Raihan seperti sekarang.
“kamu jahat han, kamu jahat telah membuka luka di hatiku dan sekarang kamu datang membuka luka hati yang telah lama, kamu jahat han” kataku sambil menagis, dan memukul dada raihan.
Tiba-tiba Raihan memelukku dan berkata “kamu berhak untuk memakiku semaumu ya’, kamu berhak akan hal itu, aku memang pecundang yang tak tahu diri, tapi apakah aku salah jika ingin melihat cintaku pergi untuk terakhir kalinya?, aku tak menyangka kota ini akan kamu tinggalkan, aku tak menyangka akan hal itu.” Mata raihan berbinar-binar seolah di dalamnya tersimpan kepedihan yang sama denganku.

“kamu tak tahu raya’, aku juga sama denganmu. Menyimpan segala sedih ini karena perbedaan. Tuhan tak adil pada kita ya’, yang lain bisa menyatu kenapa kita tidak?” kata raihan dengan rangkulan yang semakin erat.
“kamu yang mengabaikan semuanya raihan, kamu yang tak pernah memperjuangkan aku. Kemana kamu dua tahun ini? Menghubungiku saja kamu tak pernah. Apakah itu bisa ku sebut cinta?”
Raihan diam seribu bahasa ,“kenapa diam han?, jawab aku”
“aku yang salah Raya, sekarang semuanya telah ku pasrahkan. Apa daya, sampai sekarang aku masih berstatus pria bergama Katolik sedangkan kamu wanita beragama Islam, kita tak pantas bersanding. Biarlah kamu dan segalanya tentangmu tersimpan rapi di sudut hatiku paling dalam, aku ikhlas melepasmu jatuh pada pelukan lelaki lain yang berstatus sama denganmu, aku ikhlas.” Ucap raihan penuh haru.
Suara ibu mengagetkanku, “pesawat akan berangkat raya” teriak ibu dari kejauhan.
“iya bu” jawabku.
Aku menghapus air mataku yang melembabkan pipiku dan menghancurkan make up yang teriasi di wajahku, aku pergi dari kota ini, entah kapan aku kan kembali. Takkan ku bawa cinta raihan kesana, cukup raihan menjadi cinta dalam kota yang ku simpan sebagai pelajaran cintaku selanjutnya.
Aku berlari menuju pintu masuk. “RAYA...maafkan aku telah mencintaimu” raihan berteriak sekali lagi. Aku hanya membalasnya dengan senyum terakhirku untuknya. Setidaknya Tuhan telah membayar rasa penasaranku selama ini akan sosok Raihan, Terima kasih Tuhan. Aku merasa lebih tenang meninggalkan kota ini. Caramu mempertemukanku dengan Raihan sangatlah tepat Tuhan, aku mensyukuri hal itu.“selamat datang kota paris, aku datang kesana dengan hati yang utuh tanpa bayangan Raihan lagi.” Ucapku terakhir kalinya. Seketika itupun pesawat membawa raga dan jiwaku pergi jauh menuju ke negeri penuh cinta, Paris.

untuk cinta yang tak jelas,
menawarkan simponi kehidupan baru
yang takkan mungkin melerai perbedaan.

0 komentar:

Posting Komentar