Sabtu, 16 November 2013

Jatuh Cinta Diam-Diam




Suara sepoi angin malam seakan membawaku bermuara di tempat yang penuh dengan ketenangan, tempat yang baru aku tempati sekitar seminggu yang lalu setelah pesawat membawa diriku ke wilayah yang terkenal dengan angin mamiri. Aku beranjak dari Palu ke Makassar untuk melanjutkan tingkatan pendidikanku, aku berhasil menjadi mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar angkatan 2013. Semuanya terasa sangatlah berbeda, tinggal sendiri di rumah kos tanpa masakan ibu dan teguran ayah yang biasa membuatku menyerah kini tak ada lagi, mereka masih menetap di Palu, tempat yang membuatku mendapatkan cinta pertama di bangku putih abu-abu.

“Shena, kamu gak ngampus?” ucap ibu kos sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku segera beranjak dari lamunanku untuk membuka pintu kamar yang elah ibu ketuk sejak tadi.
“iya bu, aku ngampus pukul 09.00 kok bu.” Jawabku disertai senyum.
“oh begitu, kalau gitu ibu pamit dulu yah, kamu baik-baik disini, jangan sampai telat.” Kata ibu kos.
“siap bu !” jawabku dengan lantang.
aku cukup diperhatikan di kosan ini, selain karena aku mahasiwa baru mungkin karena aku yang paling jauh dari orang tua diantara teman-teman yang lainnya.

***
Sudah pukul 08.30, aku pun bergegas mandi dan segera berangkat di perkuliahan, mata kuliah hari ini tidak begitu berat, semuanya tentang bahasa.
“aku pamit kuliah dulu kak.” Teriakku ke arah kamar kak Nina.
“iya Shen, hati-hati.” Kak Nina membalas teriakan ku dari balik pintu kamarnya.
kak Nina adalah kakak senior yang sejurusan denganku, jurusan pendidikan bahasa Indonesia. Dia baik dan sangatlah ramah dengan teman kos lainnya.aku meninggalkan kak Nina yang masih sibuk dengan tugas kuliahnya dan segera bergegas ke kampus. Jarak kampus dan kosanku tak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit untuk sampai ke kampus. Sampai sekarang aku masih tak menyangka aku berhasil lulus masuk kuliah dengan jalur undangan, jalur yang menjadi idaman setiap calon mahasiswa. Aku termasuk orang beruntung dan patut bersyukur. Aku telah jauh meninggalkan kota Palu demi menuntut pendidikan di kota daeng.
“hai, Vi.” Teriakku dari belakang Vivi teman sekampusku.
“iya, Shena.”
“hari ini kita belajar di ruangan berapa?”
“DG 102”
“Bahasa Arab yah?”
“iya.” Jawab Vivi yang disertai senyum sambil melangkah ke arah ruangan DG 102.
“kok dosennya belum datang?” tanyaku pada teman di sebelahku setelah aku sampai di ruangan itu.
“gak tau juga, mungkin di jalan dia dapat macet.” Jawabnya. Aku hanya mengangguk, pertanda aku mengerti dengan apa yang dia ucapkan.
satu jam telah berlalu, dosen mata kuliah bahasa Arab ini tak juga datang. Aku hanya mempergunakan sejam itu untuk mengkhayalkan ayah dan ibu yang sekarang ada di Palu, sedang apa mereka dan bagaimana keadaannya. Tiba-tiba perhatianku terpaku pada pria berkemeja biru tua yang memakai celana levis agak kebiru mudaan itu, pria itu berjalan melewati koridor kampus, arah koridor dengan tempat dudukku sangatlah strategis, dia menarik perhatianku dengan senyumnya. Aku terpesona pada pandangan pertama. Dia seniorku, ku dengar namanya Febian, mahasiswa yang angkatannya beda setahun denganku. Febian, lelaki yang berhasil membuat rasa penasaranku bermuara pada rasa kagum kepadanya, aku mengagumi senyumnya sejak di koridor kampus. Sejak hari itu, aku berusaha mencari tahu semua tentang kak febian.
“nama lengkapnya siapa yah?” ucapku sambil berusaha mengetik namanya di kotak pencarian facebook.
“Muhammad Febian, yah aku menemukannya.” Ucapku kegirangan di kamar kos.
aku menambahkan akun facebooknya di daftar pertemananku, aku  mulai melihat statusnya di kronologi akunnya.
“payah, semuanya tentang bola.” Ucapku sambil menghembuskan nafas seketika.
“Shena, kamu sudah makan.” ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku bergegas membukakannya pintu, ternyata kak Nina.
“eh kak Nina, masuk kak.” Kataku sembari mempersilahkannya masuk.
“iya Shen, makasih. Aku hanya mau mengajak kamu makan.”
“oh, iya kak Nina, makasih. Tapi aku masih kenyang.” Jawabku dengan senyum yang agak malu-malu.
“baiklah, aku makan duluan yah.” Jawab kak Nina yang baik itu.

***
Seminggu telah berlalu pasca peristiwa yang menghujam jantung, namun kak Febian masih saja terpatri tepat di hatiku. Aku sendiri tak mengerti dengan hal ini, perlahan tapi pasti kak Febian berhasil menjadi pangeran yang berdomisili di hatiku. Bahagianya wanita yang menjadi kekasih darinya, rambutnya yang seakan mengingatkanku pada seseorang di masa lalu, senyumnya yang membuat sendi ini melemah seketika, dan pandangannya yang laksana panah yang tepat sasaran menembus hati. Tak ada yang bisa menggambarkan itu semua.
“mana kak Febian yah?” mataku mondar-mandir kesana kemari mencari senyum yang membuatku jath hati seminggu yang lalu.
“kamu nyari siapa?” ucap Vivi yang menepuk pundakku dari belakang.
“nyari dosen, kok belum datang yah?” aku mengalihkan pandanganku seketika.
“oh, katanya dosen itu gak datang.”
“siapa bilang?”
“ketua tingkat kita, tadi dia habis nelfon dosennya.”
“oh begitu, makasih infonya Vi.” Kataku.
dua minggu sudah dosen ini tak masuk mengajar, aku juga terkadang bosan dibuat menunggu seperti ini, konsekuensi jadi mahasiswa memang seperti ini. aku membereskan semua buku-buku yang ada diatas meja, dan memasukkannya kembal ke dalam tas.
“kak Febian !”teriakku dalam hati. Aku tak berani menyapanya, mungkin hanya aku yang mengenalnya sedangkan dia tidak. Aku melihat senyumnya lagi setelah seminggu berlalu begitu saja. Senyum yang membuat arah selatan dan utara seakan berubah kearah timur dan barat.

***

“Febian..Febian..Febian” ucapku sambil mencari akun twitternya.
“ini bukan yah?” aku bertanya pada diriku sendiri.
“beneran ini akunnya” aku segera mengklik tombol mengikuti pada layar notebook milikku.
aku melihat twitnya dengan akun yang sepertinya aku merasa tak asing dengan nama itu, Nina nama akunnya, “apakah itu kak Nina?” tanyaku dalam hati.
“ku rasa tidak, akun itu tak menampilkan foto aslinya. Ku pikir itu bukanlah kak Nina yang ku kenal.”tuturku sambil berusaha meyakinkan diriku sendiri.
aku meninggalkan twitter kak Febian dan segera menuju warung makan dekat kosan untuk membeli lauk.
“aku pamit kak Nina, aku mau ke warung depan.” Teriakku dari luar kamar. Namun tak ada jawaban dari kak Nina. Aku memutuskan untuk pergi saat itu juga, namun di depan pintu aku melihat kak Nina dengan kak Febian.
“apa ini yang ku lihat sekarang?” tanyaku dengan harapan yang satu per satu rapuh. Aku berusaha tegar untuk melangkahkan kaki melewati mereka berdua.
“Shena !” kak Nina teriak dari balik badanku.
“iya kak” aku menunduk dan membalikkan badanku ke arah kak Nina.
“kenalin temanku, Febian.” Ucap kak Nina sambil memegang tanganku menuju tangan kak Febian.
“aku Febian” tutur kak Febian dengan lembut, aku mendengar suaranya. Suara yang membuat di rundung tanya sejak seminggu yang lalu. Dia hanya teman kak Nina.
“aku Shena, kak.” Jawabku.
“aku pacarnya Nina, dek Bukan temanya” jawab kak Febian dengan PDnya.
“apa? Pacar? Tadi katanya teman.” Berontakku dalam hati.
“oiya kak” aku membalasnya senyum.
“aku pamit kak Nina, aku mau ke warung depan.” Kataku dengan nada yang agak berbeda dari sebelumnya.
“hati-hati yah dek.” Ucap kak Nina.
aku beranjak meninggalkan pasangan sejoli ini, memang kak Nina jauh lebih dulu megenal Kak Febian dari pada aku, ini membuatku kecewa. Mengapa aku mengetahui semuanya setelah aku telah jatuh cinta. Aku merasa hatiku telah berubah bentuk menjadi kepingan yang perlahan hancur sehancur-hancurnya. Kak Febian adalah sosok yang membuat aku merasakan cinta di tempat kuliah. Aku mencintainya dalam diam yang tak seorang pun tahu akan hal itu.
“Tak ada yang bisa ku lakukan saat ini selain mendoakan Kak Nina dan Kak febian bahagia.” Ucapku sambil meneteskan air mata.


   dari perempuan yang mencintaimu dalam diam,
   yang diamnya tak kunjung kau jamah,
   dan kau buat hatinya hancur tanpa sengaja.

0 komentar:

Posting Komentar